
“Ada adat yang masih bisa dipelihara, ada juga yang sebaiknya tidak kita lanjutkan.”
Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Novel ini tidak berkisah tentang kehidupan romansa remaja yang membuat hati tergelitik, melainkan menuturkan kisah pedih seorang perempuan yang membuat hati tercabik-cabik. Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam merupakan sebuah novel karya Dian Purnomo dengan latar Sumba, sebuah pulau di Indonesia yang masyarakatnya terkenal kental dengan adat dan budayanya. Memang tidak ada yang salah dengan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan budaya, tetapi apa jadinya ketika adat dan budaya menjadi bagian kelam dari masyarakatnya?
Diangkat dari kisah nyata perempuan Sumba, novel ini bercerita tentang tradisi kawin tangkap atau yang dikenal dengan yappa mawine. Seperti namanya, kawin tangkap merupakan sebuah tradisi calon suami menculik calon istrinya. Pada umumnya, telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak mengenai hal tersebut.
Namun, berbeda halnya dengan yang dialami Magi Diela, sosok perempuan yang akan membuat hati pembaca tersayat perlahan. Magi diculik dan dipaksa menikah tanpa sepengetahuannya dengan laki-laki tua bangka nan mata keranjang yang sudah mengincarnya sedari dulu, Leba Ali. Hal yang lebih menyakitkan adalah Ama Bobo, ayah Magi, mendukung pernikahan paksa tersebut.
Novel ini menuju klimaksnya ketika Magi sudah kehilangan harga dirinya akibat diperlakukan bak binatang oleh Leba Ali. Perempuan itu bahkan telah melaporkan Leba Ali pada polisi, tetapi usahanya sia-sia karena mereka lebih berpihak pada tua bangka itu. Keputusasaan menyelimuti dirinya sampai-sampai tanpa keraguan ia menggigit pergelangan tangannya hingga denyut nadinya menjadi lemah.
Kebangkitan Magi dari usaha bunuh diri menjadikannya seorang perempuan yang diselimuti dendam. Sampai pada akhirnya ia memberanikan diri menuliskan kisahnya diam-diam di media sosial sembari menyusun rencana untuk lari dari rumah Leba Ali. Saat itulah Magi mendapatkan pertolongan dari Gema Perempuan, Lembaga Swadyaya Masyarakat (LSM) yang melindungi hak-hak perempuan.
Bergandengan bersama Gema Perempuan seolah menjadi titik awal dari perjuangan Magi. Perempuan itu lari dari tanah kelahirannya dan merelakan impiannya membangun Sumba yang diimpikannya. Bersama Mama Mina dan orang-orang dari Gema Perempuan, Magi memulai perjuangannya sembari berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Naasnya, apa yang diperjuangkannya seolah tidak ada artinya di mata penduduk sekitar, bahkan di mata orang tuanya. Magi malah dianggap sebagai orang yang tidak menghargai tradisi dan berlaku seenaknya, padahal yang ia lakukan hanyalah melindungi harga dirinya. Namun, ia selalu berusaha untuk menutup telinga dan meyakini bahwa yang dilakukannya adalah hal yang benar.
Berlatar daerah Sumba, novel ini turut menggunakan Bahasa Sumba dalam beberapa dialognya, seolah membuat pembaca merasa lebih dekat dengan latar cerita. Sayangnya, beberapa kata yang menggunakan Bahasa Sumba tidak memiliki catatan kaki, sehingga pembaca perlu mencari artinya terlebih dahulu, seperti kata sa dan su yang sering digunakan pada dialog.
Selain itu, mengingat novel ini mengangkat isu pelecehan dan kekerasan seksual, ada trigger warning yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk membaca. Penggambaran ketika Magi disetubuhi secara paksa dan berusaha bunuh diri dengan menggigit pergelangan tangannya mungkin dapat membangkitkan trauma. Pikirkan dan putuskan matang-matang sebelum membaca novel ini.
Dian Purnomo berhasil menjelaskan latar cerita dengan penyajian visual adat Sumba yang detail. Dalam beberapa bab, penulis menampilkan foto-foto di beberapa halaman yang sedikit membantu imajinasi pembaca, seperti bentuk rumah masyarakat Sumba hingga suasana pernikahan adat di sana.
Poin tambah lain, penulis benar-benar menaruh dedikasi dan waktunya pada novel ini. Setiap kisah dan bab merupakan hasil dari observasi dan wawancara dari beberapa narasumber yang mengalami kawin tangkap. Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam akan membuat pembaca melihat sisi lain dari masyarakat adat yang mungkin di luarnya terlihat aman, tentram, dan damai. Namun, ternyata di dalamnya mengandung kisah pilu yang selama ini tidak banyak tersuarakan.
Adat-adat yang sifatnya patriarki dan merugikan perempuan nyatanya masih ada hingga saat ini. Bukan hanya di Sumba, beberapa daerah juga memiliki sistem pernikahan yang merugikan perempuan, salah satunya masyarakat Bali. Meski bukan budaya tertulis, masyarakat Bali seolah melegalkan budaya sing beling sing nganten, tidak hamil tidak menikah. Budaya ini muncul karena normalisasi seks pranikah, ketika perempuan dipandang sebagai alat penghasil keterunan.
Kisah Magi Diela dapat menjadi refleksi banyaknya perempuan di luar sana yang masih berjuang demi harga dirinya. Adat dan budaya tidak seharusnya merampas hak dan mimpi perempuan. Ketika adat dan budaya malah merampas hak individu, maka sudah semestinya adat dan budaya tersebut ditinggalkan.
uc3mun.anudi.org sangkarbet sangkarbet sangkarbet