Oleh Luh De Suriyani
Aksi dan Strategi Melawan HIV dan AIDS di Bali.
Ratusan anak muda di Bali bekerja full time memberikan dukungan bagi mereka yang terpapar narkoba atau HIV/AIDS. Ada yang bekerja dengan pengguna narkoba suntik, pekerja seks, anak buah kapal, ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV, anak-anak korban AIDS, dan ribuan orang lainnya yang terdampak HIV dan AIDS. Lalu bagaimana dengan dukungan pemerintah?
Catatan penting babak penanggulangan HIV dan AIDS di Bali diputuskan di ruang DPRD Bali pada akhir Maret 2006 lalu. Pimpinan sidang sekaligus Ketua DPRD Bali IBP Wesnawa membubuhkan tanda tangannya di halaman terakhir Perda, lalu mengetuk palu sidang tanda disahkan.
Salah satu aktor penting di balik penetapan Perda ini adalah Ibu Jero, perempuan setengah baya yang kini hidup melawan HIV dalam tubuhnya. Ibu Jero menjadi narasumber kunci, potret hidup epidemi HIV di Bali yang makin meluas di depan anggota DPRD Bali.
Setiap kali testimoni Bu Jero menggunakan Bahasa Bali. Ucapannya pun terpatah-patah. Dia masih mengaku tidak paham HIV atau AIDS. Bu Jero hanya patuh minum obat antiretroviral (ARV) yang menghambat pertumbuhan HIV dalam tubuh. Jenis obatnya pun sampai kini ia tak ingat. Yang dia tahu dan selalu membuatnya emosi adalah tiap kali bercerita soal kepedihannya terinfeksi HIV dari suaminya.
“Sing dadi bedikan, ngalih cewek gen gaene. Mulih ngaba penyakit,” ujarnya kesal pada almarhum suaminya. Sang suami tidak sempat mendapat pengobatan karena tidak tahu telah terinfeksi akibat perilaku berganti-ganti pasangan.
Peristiwa Bu Jero juga terulang pada ratusan perempuan lain di Bali. Apalagi kini makin banyak perempuan positif HIV yang hamil dan harus mendapat terapi agar HIV tidak menular ke anaknya nanti.
Karena itu salah satu isi Perda Penanggulangan AIDS adalah supervisi ketat di lokasi transaksi seks. Ledakan HIV dari hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan sebagian besar bersumber dari lokasi jual beli seks ini.
Menurut data Dinas Kesehatan Bali, akhir November 2007 lalu jumlah kasus HIV dan AIDS di Bali melonjak menjadi 1.782 kasus. Sebagian dari jumlah itu diidap oleh anak muda berusia 20-29 tahun (920 orang), dan 44 remaja berusia 14-19 tahun.
Sebanyak 53% orang tertular melalui hubungan seks laki-laki dan perempuan (heteroseksual). Sekitar 34% terinfeksi karena penggunaan narkoba suntik. Padahal sebelumnya kasus tertinggi selalu akibat penggunaan narkoba suntik. Dua puluh anak-anak dan bayi terinfeksi HIV tertular dari ibunya.
Supervisi ketat lokasi transaksi seks yang sebelumnya dipelintir media menjadi program lokalisasi ini sejatinya bukan hal baru di Bali. Sejumlah kelompok masyarakat dan LSM telah memulai program ini di beberapa lokasi transaksi seks di Bali.
Misalnya Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) dan Puskesmas Gerokgak membuat klinik kesehatan di lokasi transaksi seks sekitar itu. Setiap pekerja seks dan pelanggannya diberikan pelayanan pemeriksaan kesehatan rutin, pengobatan, dan konseling.
Hasilnya, jumlah mereka yang kena infeksi menular seksual (IMS) ataupun HIV diketahui dan diberikan pengobatan lebih dini. Agar tidak menulari pasangan atau keluarganya di rumah. Inilah yang coba didesakkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bali yang dipimpin Kesuma Kelakan ini.
Selain Perda, kita berharap pada peran anak muda yang bekerja sebagai petugas penjangkau untuk mendampingi orang terinfeksi HIV yang selama ini tersembunyi. Salah satunya, I Gusti Ngurah Wahyunda. Pria berputra satu ini menjadi salah satu yang berpengaruh dalam komunitas penaggulangan HIV/AIDS di kalangan injecting drug users (IDU) atau penasun. Wahyu mulai melakukan penjangkauan sekitar tahun 2003.
Wahyu dan kawan-kawannya di Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) merancang pendekatan agar mereka terhindar dari HIV/AIDS. Salah satunya dengan program pertukaran jarum suntik (NEP). Mengkampanyekan pemakaian jarum suntik steril dengan tidak berbagi jarum bagi IDU aktif, memberikan informasi dan akses pemeriksaan kesehatan, pemusnahan jarum, dan memberikan pilihan program pemulihan yang ada, jika mereka menghendakinya.
Sementara sekitar 100 kilometer dari Denpasar ada Kadek Carna Wirtha dengan kelompok dukungan Suryakantha, Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI). Pekerjaannya adalah menyalurkan bantuan bagi orang yang terdampak HIV/AIDS di Buleleng. Sedikitnya 15 anak yatim atau yatim piatu korban HIV/AIDS yang merenggut orang tua mereka harus didampinginya. Menyalurkan bantuan obat bagi yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha) di desa-desa, dan memastikan anak-anak itu hidup sehat dan tak terabaikan.
Wahyu dan Kadek tak sendiri. Masih ada anak muda lainnya yang juga berada di jalur itu, membuka akses bagi yang terinfeksi untuk mendapat perawatan, dan mencegah agar tak makin banyak yang terdampak HIV. Agar tak makin banyak Bu Jero-Bu Jero lain yang harus jadi korban.
Dear Luh De Suriyani
Saya terkesan dengan tulisan anda. Inilah sisi lain kehidupan pulau dewata kita. Apakah saya bisa mendapatkan informasi rinci lebih lanjut tentang korban-korban seperti ibu jero dalam tulisan anda. Mohon jika bersedia, saya tunggu email anda.
terima kasih.
dewi-
halo bu dewi,
mohon maaf, saya baru baca komen ibu. banyak sekali perempuan dan anak-anaknya yang sekarang jadi korban HIV. ada sejumlah lembaga yang mendamingi atau beri bantuan, misalnya yayasan cipta usadha indonesia (YCUI) dan spirit paramacitta. kedua lembaga bisa dibrowsing, kantornya di denpasar. suksma.
penyakit HIV bagaikan Gunung Es yang lama kelamaan pasti akan mencair! kalau tidak salah dengar dari seorang dokter di bali sekarang ini ada jutaan orang mengidap HIV! wow