Foto dan teks Luh De Suriyani
Warga Desa Adat Ngis, Kecamatan Penebel, Tabanan merasa lebih aman karena telah menyepakati sejumlah peraturan adat (peraraem) mengenai penanggulangan rabies di lingkungannya.
Ada enam butir kesepakatan tertulis itu yang berlaku sejak 26 Agustus lalu. Pertama, seluruh komponen masyarakat berperan aktif dalam mencegah penularan rabies, melakukan eliminasi anjing liar yang tidak dipelihara, bertanggung jawab pada anjing peliharaan di rumah, dan bersedia menanggung biaya dari kerugian yang muncul jika anjing peliharaan mengigit orang lain.
Selanjutnya warga juga dilarang membawa anjing dari luar desa dalam kondisi wabah serta memantau warga yang tergigit anjing bekerja sama dengan puskesmas setempat.
“Perarem ini disepakati bulat masyarakat setelah ditemukan sampel anjing disini positif rabies,” ujar I Wayan Tamba, salah satu tokoh masyarakat Desa Adat Ngis, Kamis.
Ia menceritakan pada 9-19 Agustus, sedikitnya 13 orang warga digigit anjing. Warga mulai gelisah karena belum pernah menemukan kasus satu anjing mengigit lebih dari tiga orang sekaligus.
Ketika itu, pemerintah belum mempublikasikan ancaman rabies di Tabanan. Lalu pada 25 Agustus Dinas Peternakan setempat mengkonfirmasi sampel anjing dari Ngis positif rabies. Pada hari ini pula Dians Kesehatan setempat baru mempublikasikan korban meninggal pertama karena rabies di Tabanan, yakni I Nyoman Diadnya, dari Desa Subamia.
Warga diminta mempertimbangkan apakah siap anjingnya dieliminasi. “Kami minta ijin dari Tuhan dengan berdoa bersama,” ujar Tamba.
Saat ini, Tamba mengatakan warga Ngis waspada lebih memperhatikan anjing peliharaannya dengan mengikat di rumah, tak lagi meliarkan. Desa setempat menghitung ada 107 ekor anjing di Ngis. Sebagian besar telah dieliminasi karena diliarkan, dan kini hanya tersisa 15 ekor anjing yang telah divaksinasi.
“Sementara warga yang tergigit sudah sehat. Mereka sudah mendapat vaksin anti rabies di Rumah Sakit Sanglah Denpasar,” ujar Tamba yang kini menjadi anggota DPRD Tabanan terpilih.
Rabies memang menjadi hantu di pelosok desa Tabanan. Wilayah lumbung beras padi yang tenang ini mulai memperhatikan anjing-anjing sekitar rumah.
Prosedur eliminasi juga bukah hal yang mudah. “Kami menghormati anjing sebagai mahluk hidup dan teman manusia,” ujar I Made Kertayasa, Perbekel Desa Petiga, Kecamatan Marga, Tabanan.
Beberapa hari sebelum proses eliminasi, warga Petiga mengadakan pakeling atau upacara persembahyangan minta petunjuk pada Tuhan. “Warga dan pengurus desa sembahyang dan menghaturkan sesaji ke Pura Dalem dan Prajapati, sebagai penguasa alam lingkungan,” jelas Kertayasa.
Warga meyakini yang berhak menentukan kematian mahluk hidup adalah Tuhan, demikian juga untuk anjing. “Selain minta ijin pemilik anjing juga pada Tuhan sebagai pemralina (pelebur) kehidupan,” tambahnya.
Proses eliminasi di Desa Petiga telah dimulai awal pekan ini. Eliminasi dilakukan pada anjing yang tak dipelihara atau liar. Selain itu pemberian vaksin juga diberikan pada semua anjing yang akan dipelihara.
Seperti terlihat pada Selasa lalu, prose vaksinasi pada anjing dilakukan di banjar. Bahkan vaksinasi dilakukan ketika warga tengah sibuk mempersiapkan upacara agama di pura dalam arela banjar setempat.
Sejumlah warga menggendong atau membawa anjingnya saat mengenakan pakaian adat dan membawa sesaji. “Saya ingin anjing sehat seperti saya,” ujar Nang Weli, laki-laki 65 tahun.
Kertayasan yang juga dokter hewan ini mengharap pemerintah bekerja cepat memberikan pemahaman pencegahan pertama pada gigitan anjing. Misalnya dengan mencuci luka dengan sabun di atas air mengalir.
“Kalau sudah ada korban tewas, warga cenderung kalap dan membunuh anjing sembarangan. Padahal rabies bisa ditanggulangi,” kata Kertayasa.
http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/02/local-villagers-take-action-prevent-rabies-tabanan.html
wadah komunitas dan interaksi sosiologi yg saya sukai. trims info