• Tanya Jawab
  • Mengenal Kami
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Kontributor
    • Log In
    • Register
    • Edit Profile
Saturday, September 30, 2023
  • Login
  • Register
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong.id
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Perampasan Lahan dan Sistem Kerja di Bawah Kapitalisme

rama paramahamsa by rama paramahamsa
19 August 2023
in Kabar Baru, Opini, Politik
1 0
0
Petani menyemprotkan herbisida kimia untuk membersihkan gulma di lahan pertaniannya. Foto Anton Muhajir

Tulisan ini saya buat ketika warga Dago Elos, Bandung sedang berjuang melawan perampasan lahan yang menghantui mereka. Telah bertahun-tahun warga Dago Elos berjuang melawan keluarga Muller yang mengaku menjadi pemilik resmi tanah di Dago Elos hingga kini. Kejadian semalam, Senin (15/08) cukup membuat emosi saya bergejolak. Gas air mata, dugaan pelecehan seksual, atau kata-kata kasar dari aparat kepolisian benar-benar tidak masuk akal. Tetapi, bagaimanapun, tulisan ini akan menyesuaikan konteksnya, untuk Bali yang rawan.

Tadi siang saya pergi ke Pengosekan Ubud dan bertemu salah seorang seniman di sana. Ia berkata, ”berapapun mereka (perusahaan) membayar pajak atas tanah ke desa, itu namanya tetap menjual tanah kita ke mereka.” Saya hanya mengangguk setuju dan bukankah memang itu yang kerap terjadi di Bali? 

Jika di Elos atau di Wadas bentrokan terjadi karena perampasan sumber penghidupan masyarakat oleh beberapa kelompok atau pemerintah terkait demi sebuah mega proyek, di Bali kondisinya cukup tenang karena para pemilik tanah lebih cenderung menjual tanahnya secara sadar. Setiap tahunnya, 600 hingga 1000 hektar tanah beralih fungsi menjadi akomodasi pariwisata atau industri lainnya di Bali (Bisnis.com, 2022). Lahan-lahan pertanian di Bali hilang dengan dalih modernitas dan menjadi budak pariwisata.

Bayangkan, ratusan bahkan ribuan hektare sawah di Bali hilang dan menjelma industri-industri baru. Hal ini kemudian menjadi masalah. Bukan saja pada sektor lingkungan, tapi pada sektor penghidupan utama masyarakat.

Akumulasi Primitif dan Kapital

tadinya aku pengin bilang

aku butuh rumah

tapi lantas kuganti

dengan kalimat:

setiap orang butuh tanah

ingat: setiap orang!

-Wiji Thukul dalam puisi berjudul Tentang Sebuah Gerakan

Beberapa publik figur atau pemegang jabatan dalam pemerintahan kerap berkata bahwa pembangunan suatu industri akan membantu masyarakat untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Bahwa perusahaan yang telah membangun beton dan baja di atas lahan sawah milik warga akan pula menyediakan ruang pekerjaan bagi warga desa tersebut.

Hal itu kemudian menjadi masalah karena kita hidup di bawah sistem kapitalisme yang menghisap. Ingat kejadian petani Tuban yang tiba-tiba kaya akibat dana ganti rugi dari Pertamina untuk pembebasan lahan yang mereka lakukan di sawah-sawah para petani. Para petani di desa tersebut seketika menjadi kaya dan membawa pulang mobil-mobil mewah. Pembangunan kilang minyak kemudian berlangsung dan tidak berselang lama, para petani kemudian menyesal atas keputusan yang telah mereka ambil karena sumber penghidupan utama mereka telah hilang dan janji pekerjaan tidak kunjung datang. Para petani akhirnya terjatuh pada kondisi tidak menentu, dengan tidak adanya lahan penghidupan, mereka hanya dapat menaruh harapan pada industri untuk dapat mempekerjakan diri mereka. 

Dalam konsep Marxisme klasik, proses ini lebih cocok disebut sebagai akumulasi primitif. Dinamakan primitif karena proses akumulasi ini menjadi gerbang utama akumulasi-akumulasi lainnya dalam sistem kapitalisme. Akumulasi primitif adalah proses menceraikan produsen dengan alat-alat produksi mereka, dalam hal ini adalah tanah. Sehingga, setelah tidak ada lagi tanah untuk digarap, mereka hanya dapat ‘menjual diri’ mereka di industri melalui sistem kerja upahan dan hal ini kemudian menjadi masalah baru.

Kejadian di Bali terjadi hampir mirip dengan konsep akumulasi primitif. Bedanya, dalam proses perceraian produsen dengan alat produksi dilakukan dengan sadar oleh beberapa pemilik lahan. Hal ini dapat terjadi karena satu hal: sawah tersebut tidak digarap oleh sang empunya lahan, sehingga tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi kehidupan sang pemilik lahan. Bisa saja sang empunya lahan telah terlebih dahulu terhisap ke dalam sistem kapitalisme yang menyibukkan mereka sehingga proses penghidupan mereka terpaksa dijalankan melalui hal tersebut. Marx menuliskan bahwa periode ini “ditulis dalam huruf-huruf darah dan api” dalam sejarah (IndoProgress, 2020).

Gambar 2. Ilustrasi surplus value. Sumber: koleksyon-inip.org

Mengapa penyerapan tenaga kerja oleh industri yang telah merampas lahan bermasalah? Karena proses akumulasi kapital yang selalu mereka lakukan melalui pencurian nilai lebih atau surplus value dari para pekerja. Organisasi Sosialis Internasional menjelaskan nilai lebih sebagai berikut: “All workers create more value at work than they receive in wages. The extra surplus value goes in the boss’s pocket as profit.”

Seringkali, para pekerja hanya dibayar untuk dapat hidup sebulan berikutnya. Padahal, keuntungan yang mereka hasilkan jauh daripada itu. Kelebihan nilai produktivitas buruh atas upah yang mereka dapatkan inilah yang dinamakan surplus value oleh Marx. Marx dalam Capital: A Critique of Political Economy (1984)  menjelaskan the rate of surplus value is therefore an expression for the degree of exploitation of labour power by capital. Semakin besar surplus value yang dinikmati oleh para kapitalis, maka semakin besar pula tingkat eksploitasinya. Sebagai contoh, seorang pekerja dapat menghasilkan untung 20.000 bagi kapitalis setiap harinya, namun ia hanya dihargai 10.000 setiap harinya, untuk sekadar dapat bertahan hidup, untuk bekerja di bulan selanjutnya. 

Nilai lebih inilah yang kemudian digunakan oleh para kapitalis untuk melakukan proses akumulasi kapital secara berulang-ulang. Itulah mengapa perampasan lahan atau penjualan lahan akan berdampak buruk bagi diri sendiri karena akan menjerumuskan para pemiliknya ke dalam sistem kapitalisme yang menghisap nilai lebih yang dihasilkan para pekerja. Begitu seterusnya akumulasi kapital berjalan hingga para pekerja mereka muak dan digantikan oleh cadangan pekerja yang berdoa siang dan malam untuk mendapatkan pekerjaan. 

Tags: akumulasi primitifdago eloswadas
ShareTweetSendSend
Anugerah Jurnalisme Warga 2021
rama paramahamsa

rama paramahamsa

Manusia biasa dengan hidup biasa-biasa saja.

Related Posts

No Content Available
Next Post
Festival Cerita Rasa 2023

Festival Cerita Rasa dan Hadiah Galungan untuk Anak-anak

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Melali Melali Melali

Temukan Kami

  • Trending
  • Comments
  • Latest
Cerita Pohon: Dadap, Super Tree yang Terlupakan

Cerita Pohon: Dadap, Super Tree yang Terlupakan

10 September 2023
Berhitung Angka dalam Bahasa Bali

Berhitung Angka dalam Bahasa Bali

5 June 2013
Rencana Pembangunan Hidden City Ubud dan Kerisauan Warga

Rencana Pembangunan Hidden City Ubud dan Kerisauan Warga

5 September 2023
Jangan Terlambat, Lindungi Anak Sekolah dari Kerentanan Bencana di Karangasem

Jangan Terlambat, Lindungi Anak Sekolah dari Kerentanan Bencana di Karangasem

26 July 2023
Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

Membongkar Kesalahpahaman tentang Kasta di Bali

4 June 2012
Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

2
Meneladani Hidup dari Buruh Gendong

Meneladani Hidup dari Buruh Gendong

1
Karut Marut di Jalan Terus Berlanjut

Karut Marut di Jalan Terus Berlanjut

2
Kisah Pohon di Bali: Lateng, Penjaga Hutan

Kisah Pohon di Bali: Lateng, Penjaga Hutan

1
Mengenal Pura Bukit Gumang, Salah Satu Pura Dang Kahyangan Desa Bugbug

Mengenal Pura Bukit Gumang, Salah Satu Pura Dang Kahyangan Desa Bugbug

29 September 2023
Bayang-Bayang Lindi Menghantui Warga di Sekitar TPS Denpasar

Bayang-Bayang Lindi Menghantui Warga di Sekitar TPS Denpasar

29 September 2023
Apakah GWK sudah jadi Landmark Bali?

Apakah GWK sudah jadi Landmark Bali?

28 September 2023
Ruang Apresiasi Film nan Inklusif dari MFW9

Ruang Apresiasi Film nan Inklusif dari MFW9

27 September 2023
Baksos di Panti Asuhan Dharma Jati II

Baksos di Panti Asuhan Dharma Jati II

26 September 2023

Kabar Terbaru

Mengenal Pura Bukit Gumang, Salah Satu Pura Dang Kahyangan Desa Bugbug

Mengenal Pura Bukit Gumang, Salah Satu Pura Dang Kahyangan Desa Bugbug

29 September 2023
Bayang-Bayang Lindi Menghantui Warga di Sekitar TPS Denpasar

Bayang-Bayang Lindi Menghantui Warga di Sekitar TPS Denpasar

29 September 2023
Apakah GWK sudah jadi Landmark Bali?

Apakah GWK sudah jadi Landmark Bali?

28 September 2023
Ruang Apresiasi Film nan Inklusif dari MFW9

Ruang Apresiasi Film nan Inklusif dari MFW9

27 September 2023
BaleBengong.id

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Informasi Tambahan

  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Peringatan
  • Panduan Logo
  • Bagi Beritamu!

Temukan Kami

No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Arsip

© 2020 BaleBengong: Media Warga Berbagi Cerita

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In