![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2021/01/Petani-menyemprotkan-herbisida-kimia-untuk-membersihkan-gulma-di-lahan-pertaniannya.-Foto-Anton-Muhajir-540x360.jpg)
Tulisan ini saya buat ketika warga Dago Elos, Bandung sedang berjuang melawan perampasan lahan yang menghantui mereka. Telah bertahun-tahun warga Dago Elos berjuang melawan keluarga Muller yang mengaku menjadi pemilik resmi tanah di Dago Elos hingga kini. Kejadian semalam, Senin (15/08) cukup membuat emosi saya bergejolak. Gas air mata, dugaan pelecehan seksual, atau kata-kata kasar dari aparat kepolisian benar-benar tidak masuk akal. Tetapi, bagaimanapun, tulisan ini akan menyesuaikan konteksnya, untuk Bali yang rawan.
Tadi siang saya pergi ke Pengosekan Ubud dan bertemu salah seorang seniman di sana. Ia berkata, ”berapapun mereka (perusahaan) membayar pajak atas tanah ke desa, itu namanya tetap menjual tanah kita ke mereka.” Saya hanya mengangguk setuju dan bukankah memang itu yang kerap terjadi di Bali?
Jika di Elos atau di Wadas bentrokan terjadi karena perampasan sumber penghidupan masyarakat oleh beberapa kelompok atau pemerintah terkait demi sebuah mega proyek, di Bali kondisinya cukup tenang karena para pemilik tanah lebih cenderung menjual tanahnya secara sadar. Setiap tahunnya, 600 hingga 1000 hektar tanah beralih fungsi menjadi akomodasi pariwisata atau industri lainnya di Bali (Bisnis.com, 2022). Lahan-lahan pertanian di Bali hilang dengan dalih modernitas dan menjadi budak pariwisata.
Bayangkan, ratusan bahkan ribuan hektare sawah di Bali hilang dan menjelma industri-industri baru. Hal ini kemudian menjadi masalah. Bukan saja pada sektor lingkungan, tapi pada sektor penghidupan utama masyarakat.
Akumulasi Primitif dan Kapital
tadinya aku pengin bilang
aku butuh rumah
tapi lantas kuganti
dengan kalimat:
setiap orang butuh tanah
ingat: setiap orang!
-Wiji Thukul dalam puisi berjudul Tentang Sebuah Gerakan
Beberapa publik figur atau pemegang jabatan dalam pemerintahan kerap berkata bahwa pembangunan suatu industri akan membantu masyarakat untuk lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Bahwa perusahaan yang telah membangun beton dan baja di atas lahan sawah milik warga akan pula menyediakan ruang pekerjaan bagi warga desa tersebut.
Hal itu kemudian menjadi masalah karena kita hidup di bawah sistem kapitalisme yang menghisap. Ingat kejadian petani Tuban yang tiba-tiba kaya akibat dana ganti rugi dari Pertamina untuk pembebasan lahan yang mereka lakukan di sawah-sawah para petani. Para petani di desa tersebut seketika menjadi kaya dan membawa pulang mobil-mobil mewah. Pembangunan kilang minyak kemudian berlangsung dan tidak berselang lama, para petani kemudian menyesal atas keputusan yang telah mereka ambil karena sumber penghidupan utama mereka telah hilang dan janji pekerjaan tidak kunjung datang. Para petani akhirnya terjatuh pada kondisi tidak menentu, dengan tidak adanya lahan penghidupan, mereka hanya dapat menaruh harapan pada industri untuk dapat mempekerjakan diri mereka.
Dalam konsep Marxisme klasik, proses ini lebih cocok disebut sebagai akumulasi primitif. Dinamakan primitif karena proses akumulasi ini menjadi gerbang utama akumulasi-akumulasi lainnya dalam sistem kapitalisme. Akumulasi primitif adalah proses menceraikan produsen dengan alat-alat produksi mereka, dalam hal ini adalah tanah. Sehingga, setelah tidak ada lagi tanah untuk digarap, mereka hanya dapat ‘menjual diri’ mereka di industri melalui sistem kerja upahan dan hal ini kemudian menjadi masalah baru.
Kejadian di Bali terjadi hampir mirip dengan konsep akumulasi primitif. Bedanya, dalam proses perceraian produsen dengan alat produksi dilakukan dengan sadar oleh beberapa pemilik lahan. Hal ini dapat terjadi karena satu hal: sawah tersebut tidak digarap oleh sang empunya lahan, sehingga tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi kehidupan sang pemilik lahan. Bisa saja sang empunya lahan telah terlebih dahulu terhisap ke dalam sistem kapitalisme yang menyibukkan mereka sehingga proses penghidupan mereka terpaksa dijalankan melalui hal tersebut. Marx menuliskan bahwa periode ini “ditulis dalam huruf-huruf darah dan api” dalam sejarah (IndoProgress, 2020).
Mengapa penyerapan tenaga kerja oleh industri yang telah merampas lahan bermasalah? Karena proses akumulasi kapital yang selalu mereka lakukan melalui pencurian nilai lebih atau surplus value dari para pekerja. Organisasi Sosialis Internasional menjelaskan nilai lebih sebagai berikut: “All workers create more value at work than they receive in wages. The extra surplus value goes in the boss’s pocket as profit.”
Seringkali, para pekerja hanya dibayar untuk dapat hidup sebulan berikutnya. Padahal, keuntungan yang mereka hasilkan jauh daripada itu. Kelebihan nilai produktivitas buruh atas upah yang mereka dapatkan inilah yang dinamakan surplus value oleh Marx. Marx dalam Capital: A Critique of Political Economy (1984) menjelaskan the rate of surplus value is therefore an expression for the degree of exploitation of labour power by capital. Semakin besar surplus value yang dinikmati oleh para kapitalis, maka semakin besar pula tingkat eksploitasinya. Sebagai contoh, seorang pekerja dapat menghasilkan untung 20.000 bagi kapitalis setiap harinya, namun ia hanya dihargai 10.000 setiap harinya, untuk sekadar dapat bertahan hidup, untuk bekerja di bulan selanjutnya.
Nilai lebih inilah yang kemudian digunakan oleh para kapitalis untuk melakukan proses akumulasi kapital secara berulang-ulang. Itulah mengapa perampasan lahan atau penjualan lahan akan berdampak buruk bagi diri sendiri karena akan menjerumuskan para pemiliknya ke dalam sistem kapitalisme yang menghisap nilai lebih yang dihasilkan para pekerja. Begitu seterusnya akumulasi kapital berjalan hingga para pekerja mereka muak dan digantikan oleh cadangan pekerja yang berdoa siang dan malam untuk mendapatkan pekerjaan.
situs mahjong