Akhir pekan antara perayaan Galungan dan Kuningan, pada tanggal 5 dan 6 Agustus 2023, Sanggar Bali Tersenyum kembali dengan program Festival Cerita Rasa. Sebagai inisiatif ruang literasi bagi anak-anak sekitar; berkumpul dan mendorong mereka untuk membaca, bercerita, menggambar, mengenal kuliner khas pedesaan hingga membuat kerajinan.
Tahun 2019 merupakan awal Bali Tersenyum mengundang anak-anak datang dan berkegiatan dengan menyediakan buku-buku bacaan dan peralatan menggambar dan mewarnai. Salah satu yang sering datang adalah Dedek, diajak oleh kakaknya Juni. Ketika itu Juni sudah kelas 4 SD sedangkan Dedek belum bersekolah.
Dedek adalah anak yang selalu ceria, aktif dan ceplas-ceplos. Ruang seperti Sanggar ini menjadi alternatif tempatnya bermain, selain interaksi di rumah, di sawah dan sekitar desa bersama teman sebaya. Usia mereka mulai 7 hingga 13 tahun. Mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Walaupun begitu, dalam kesehariannya mereka bermain bersama-sama karena rumah mereka berdekatan.
Saat kabar Festival Cerita Rasa kembali digelar kami sebarkan seminggu sebelumnya, Dedek sangat aktif datang menanyakan apa yang bisa dia lakukan saat festival. Dia juga menjadi penggerak, mengajak teman-teman sepermainannya untuk ikut datang. Ini membuat kami merasa bersemangat juga, karena merasa apa yang kami lakukan di halaman rumah, dapat memantik semangat dan antusiasme. Mungkin mereka hanya menganggap acara ini tempat bermain saja. Namun kita tahu, bahwa ruang-ruang literasi apapun bentuknya sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak-anak.
Pembukaan Festival dan Hadiah Anak-anak
Saat kami masih menyiapkan peralatan dan waktu pembukaan masih beberapa jam lagi, mereka datang beramai-ramai menggunakan sepeda sambil tertawa-tawa riang.
“Pak Dek, jam kudo mulai?” teriak Dedek dari atas sepedanya.
“Jam dua!” jawab kami.
“Men keto kal mulih malu.”
“Dini gen melali, sambila maco buku.” jawab saya mengarahkan mereka ke teras, tempat rak buku disiapkan.
Mereka masih punya serentetan pertanyaan. Apakah boleh ikut menggambar seperti tahun lalu? Bolehkah mengajak teman-teman yang lain? Apakah ada hadiah? Jawaban dari kami adalah ya dan boleh untuk pertanyaan mereka. Karena acara Festival Cerita Rasa adalah hadiah kami untuk mereka.
Acara pun dimulai jam dua siang, dengan pembukaan pameran foto Suryagrafi. Dedek dan teman-temannya duduk di deretan kursi paling depan. Made Birus selaku penggagas Festival Cerita Rasa membuka pameran dan memberikan penjelasan mengenai pameran tersebut. Foto-foto yang dipamerkan merupakan hasil dari program rekam matahari, yang menggunakan metode kamera lubang jarum atau pinhole. Teknik ini mengandalkan prinsip dasar penangkapan cahaya tanpa lensa, menghasilkan gambar-gambar yang unik dan penuh karakter.
Anak-anak diberikan kesempatan pertama memasuki ruang pameran. Mereka mendapat penjelasan bagaimana proses pengambilan foto suryagrafi, dan bagaimana bentuk dan cara kerja kamera lubang jarum. Walau mungkin belum paham benar dengan apa itu suryagrafi atau kamera lubang jarum, Dedek dan teman-temannya menikmati foto-foto yang tertempel di dinding. Mereka berusaha membaca keterangan foto dan mengenali setiap objek foto dan lokasinya. Sepuluh foto yang dipamerkan tersebut diambil di beberapa wilayah Yogyakarta, Jawa Barat dan Bali. Fotografer yang terlibat adalah Nur Hasanah Sawil dari Jawa Barat; Irman Ariadi dari Yogyakarta; Stanis Obeth Hollyfield, Syafiudin Vifick, Ivy Sudjana dan Adyatma, serta Made Suarbawa dari Bali.
Saat para pengunjung festival lain menikmati pameran foto, anak-anak diajak untuk menggambar. Anak-anak berebut mengambil kertas gambar, pensil, penghapus dan krayon. Pak Mang Tirta dari panitia festival memberitahukan, bahwa acara menggambar hari ini dan besok sedikit berbeda. Mereka diberikan contoh gambar yang terpotong-potong, dan untuk membentuk sebuah gambar mereka harus melempar dadu. Cara unik ini awalnya membuat mereka bingung, namun setelah diberitahu caranya mereka dengan antusias mengikuti. Dedek bahkan meminta hingga tiga kertas gambar. Katanya, selain menggambar menggunakan dadu, dia ingin menggambar bebas. Sejenak dia memisahkan diri dari kelompok. Setelah dicari-cari ternyata dia sedang menggambar logo Bali Tersenyum yang ada di tembok. Dia kembali sambil tertawa-tawa dan memperlihatkan hasil gambarnya.
Setelah menggambar usai, anak-anak diarahkan untuk pulang ke rumah masing-masing dan kembali lagi untuk acara sore, yaitu ruang literasi sastra Bali dan menonton film. Maka tinggal kami yang dewasa duduk melingkar dengan kursi plastik biru yang kami pinjam dari inventaris Banjar Berawantangi Taman.
Obrolan orang dewasa hari itu berkisar cerita-cerita dari mereka yang ikut duduk. Pertama kami menggosipkan tentang literasi dan keluh kesah di antaranya, bersama teman-teman senior Yayasan Kertas Budaya Indonesia. Tentu saja kami diarahkan untuk tidak bergosip. Lakukan saja, itu akan membahagiakan. Dari pada menunggu orang lain untuk melakukannya, karena menunggu itu membosankan.
Kemudian cerita kami berpindah ke Bali Utara ketika Kardyan Narayana dan Dian Suryantini bergabung. Sejurus kemudian, obrolan berpindah tentang pariwisata berkelanjutan, pelestarian bambu, terumbu karang, bakau dan sekitarnya, saat teman baru kami Nyoman Gerry dari Sea Community bergabung bersama kami. Ada tukar cerita dan tukar kontak WA agar mereka bisa ngobrol lebih jauh mengenai hal-hal yang menarik bagi mereka masing-masing.
Storytelling di Panggung dan Layar Lebar
Sore hari setelah acara dilanjutkan dengan literasi sastra Bali. Dedek dan teman-temannya duduk di kursi yang telah disediakan dan terlihat ingin tahu. Komang Sutirtayasa alias Pak Mang Tirta, salah satu pengasuh Sanggar Bali Tersenyum muncul membawa gitar dan duduk di panggung. Ia bertanya, apakah ada yang mau menyanyi? Ternyata tawaran ini mengagetkan Dedek dan teman-temannya. Setelah saling tunjuk, akhirnya Dedek dan dua temannya naik ke atas panggung menyanyikan Sekar Rare atau lagu-lagu anak Bali yang bernada ceria. Ada Putri Cening Ayu, Made Cenik, Ketut Garing hingga Meong-meong. Gelak tawa salah nada dan lupa lirik mewarnai aksi panggung ini.
Usai menyanyi, panggung kembali diisi dengan satua Bali. Saya membawakan kisah Be Jeleg Tresna Telaga, yang mengisahkan tiga ekor be jeleg atau ikan gabus yang tidak pernah meninggalkan telaga tempat mereka tinggal, hingga Tuhan mengabulkan doa mereka untuk mengirimkan hujan dan membuat telaga dipenuhi air kembali. Pak Mang Tirta membawakan cerita I Kedis Lanjana, yang mengisahkan bagaimana Lanjana si burung kecil bersiasat menghadapi I Muun si burung besar yang serakah dalam mencari makan, dan menindas burung-burung kecil.
Ruang literasi sastra Bali kemudian dilanjutkan dengan memperkenalkan pupuh yang dibawakan oleh Pak Putu Suaha, seorang pegiat sastra Bali. Pak Putu mengajak dan mengharapkan anak-anak untuk mengenal dan berminat belajar magending Bali mulai dari sekar rare, geguritan, kekidungan hingga kekawin. Pak Putu juga menyanyikan salah satu pupuh.
Malam hari diisi dengan pemutaran. Para penonton datang berbondong-bondong bersama anak dan keluarga mereka. Acara ini adalah yang paling dinanti masyarakat tetangga di sekitar Sanggar. Terpal plastik dibuka di depan layar, sementara kursi-kursi diatur di bagian belakangnya. Tentu saja Dedek dan teman-temannya duduk paling depan, bersantai sambil rebahan. Ada empat judul film pendek yang diputar, yang merupakan program dari Minikino “Indonesia Raja 2023: Yogyakarta & Jawa Tengah”.
Salah satu film berjudul “SERANGAN OEMOEM” paling membuat anak-anak terkesan. Mungkin karena filmnya berupa animasi yang akrab dengan mereka, karakter dalam film itu juga adalah anak-anak. Film ini berkisah tentang usaha anak-anak Yogyakarta yang membujuk Naga Antaboga, untuk membantu Kota Yogyakarta dari bencana serangan monster. Ada satu kata yang disebut oleh sang naga yang mendadak populer disebut-sebut oleh anak-anak, yaitu ‘Emoh’.
Warna-warni Hari Kedua Festival Cerita Rasa 2023
Hari kedua festival, Dedek dan teman-temannya lebih antusias lagi datang. Sanggar Bali Tersenyum benar-benar menjadi tempatnya bermain. Hari kedua memang dimulai sejak jam 10 pagi dan khusus sesi menggambar bagi anak-anak. Yang menjadi catatan dan pertanyaan besar bagi kami, kenapa anak-anak selalu menganggap apa yang mereka gambar “jelek”? Kami menghibur diri dengan mengatakan pada anak-anak bahwa, acara menggambar ini bukan untuk membuat gambar yang bagus atau jelek. Ini adalah acara bersenang-senang, menuangkan apapun yang ingin mereka gambar, warna apapun yang ingin mereka goreskan. Merdeka menggambar!
Di antara anak-anak, hadir juga teman-teman mahasiswa Universitas Udayana yang sedang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tukadaya. Kehadiran mereka memberikan secercah perspektif bagi anak-anak tentang orang Indonesia. Karena mereka berkesempatan berkenalan dengan kakak-kakak dari berbagai daerah. Ada dari Papua, Sumatra, Jawa, Sulawesi dan tentunya Bali.
Sambil menunggu acara selanjutnya yaitu Pentas Cerita, Dedek dan teman-teman serta kakak-kakak mahasiswa menikmati lebura. Jajo (jajan) Lebura, merupakan sisa makanan yang dihasilkan dari persembahan yang diolah kembali dengan cermat. Perpaduan kue kering dari berbagai jenis, pisang, dan kadang ditambahkan gula dan kelapa parut. Tujuannya bukan sekedar untuk mengurangi limbah makanan seperti di zaman modern ini, ngelebur adalah tradisi menikmati anugerah Tuhan.
Pentas Cerita dimulai jam 4 sore. Panggung ini merupakan ruang untuk memberikan kesempatan dan keriaan bagi anak-anak untuk mencoba bercerita atau membaca cerita dalam berbagai bentuk, di depan teman-temannya. Kali ini ada Nanda dan Puspa yang menjadi pembawa acara sekaligus tampil membaca puisi. Nanda yang belum pernah beraksi di depan orang banyak mengatakan tangannya dingin dan gemetar sebelum tampil. Namun semakin sering bolak balik naik turun panggung, rasa dingin itu hilang perlahan. Nanda jadi tambah pede saat ia kemudian membacakan cerita ditemani Puspa yang membacakan puisi. Selain mereka, ada pula Vira, Lina yang sama-sama membacakan dongeng dari buku dongeng karya maestro dongeng Bali, Made Taro.
Pentar Cerita disiapkan sebagai panggung terbuka, yaitu terbuka bagi siapapun yang ingin tampil. Selain ditonton anak-anak dan orang tuanya, hari itu hadir pula mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Mereka adalah Mahasiswa KKN yang sedang menjalankan programnya di SD Negeri 4 Melaya. Kedatangan mereka, juga sekaligus menyerahkan sejumlah buku bacaan, yang menambah koleksi Rumah Baca Bali Tersenyum.
Hari kedua festival ditutup dengan pemutaran film. Kali ini yang diputar adalah enam judul film yang tergabung dalam Indonesia Raja 2023: Bali. Program ini adalah kemasan Bali yang disusun oleh Kardian Narayana dengan tajuk “Bukan Fiksi” yang mengangkat topik kekerasan dan lingkungan.
Salah satu film berjudul @ItsDekRaaa, adalah film produksi Sanggar Bali Tersenyum, yang menampilkan anak-anak Desa Tukadaya, sebagai pemain. Ada juga film lainnya yang merupakan film Animasi berjudul “Anak Anak Milenial” produksi Film Sarad, melibatkan Puspa Dewi, salah satu anak asuh Sanggar Bali Tersenyum sebagai pengisi suaranya.
Kami merasakan bahwa Dedek dan teman-temannya sangat senang mengikuti festival. Bahkan sehari setelahnya, saat kami membongkar layar dan merapikan sarana lain, Dedek datang bersama dua temannya. Kami membekali mereka dengan kertas-kertas puisi, meminta untuk mereka membaca dan menyiapkan diri untuk tampil pada Festival Cerita Rasa 2024. Sampai Jumpa Lagi Semeton.
Artikel ini memberikan gambaran yang inspiratif tentang inisiatif Sanggar Bali Tersenyum dalam mendorong literasi dan kreativitas anak-anak melalui Festival Cerita Rasa. Sanggar ini memberikan ruang bagi anak-anak untuk membaca, bercerita, menggambar, dan merasakan kebudayaan serta kerajinan lokal. Inisiatif ini patut diapresiasi karena memiliki dampak positif pada pertumbuhan dan semangat anak-anak. Terima kasih atas berbagi informasi yang berharga!