Pengelolaan sampah di suatu desa sangatlah penting.
Dia harus menjadi prioritas utama karena pengelolaan sampah adalah cermin dari bagaimana lingkungan dan kesehatan masyarakat desa tersebut. Apalagi jika desa tersebut merupakan obyek pariwisata terkenal.
Salah satunya Desa Tulamben, tempat pariwisata unggulan Kabupaten Karangasem. Tulamben adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali.
Desa ini salah satu tempat rekreasi penyelaman yang terkenal di Bali, terutama di sekitar lokasi karam kapal USAT Liberty. Kapal angkut tentara angkatan darat Amerika Serikat ini tenggelam setelah ditorpedo oleh kapal selam Jepang pada 1942.
Tulamben dihuni oleh 2.613 kepala keluarga. Terdapat 41 hotel di sepanjang pantai yang mampu memperbaki masalah ekonomi sosial seperti berkurangnya pengangguran.
Namun, Tulamben juga menghasilkan sampah yang cukup melimpah.
Setiap keluarga di Tulamben menghasilkan sampah sekitar 5 kg per hari. Adapun hotel menghasilkan kira-kira 10 kg sampah per harinya. Jika dijumlahkan, Tulamben mampu menghasilkan sampah sebanyak 13.615 kg per hari.
Angka tersebut cukup besar dalam menghasilkan sampah di suatu desa. Hal ini perlu dianggap serius bagi seluruh pihak yang terkait dalam aktivitas kepariwisataan di Desa Tulamben.
Untuk megatasi hal tersebut, Desa Pekraman Tulamben telah memiliki pusat tempat pengumpulan sampah sejak 2010. Namun, dalam pelaksanaannya, sampah hanya dikumpulkan sendiri oleh warga. Pihak hotel lalu membakarnya.
Tidak semua warga membuang sampah di tempat pembungan sampah yang dikelola desa pekraman. Mereka lebih memilih membuang sampah di kebun mereka dan membakarnya.
Pada 2011, sampah dikelola oleh Banjar Adat Tulamben. Kemudian pada 2013 dibuatkan kantor serta tempat pengelolaan sampah. Pada 2014 baru terbentuk tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).
TPST beranggotakan 5 orang personel yaitu 1 sopir dan 4 pemilah. Kelengkapan pengeolaan sampah berupa 1 mobil pengangkut, 1 motor pengangkut, 1 mesin pencacah, 1 mesin pengayakan, 2 artco dan beberapa cangkul.
Namun, kondisi pelengkapan tersebut dalam keadaan buruk. Berumur sangat tua, seperti mobil pikap. Ada pula yang rusak seperti mesin pembuatan pupuk dari sampah organik. Pemerintah selama ini belum ada upaya untuk menambah perlengkapan tersebut.
TPST juga menawarkan jasa pengangkutan sampah kepada setiap kepala keluarga dan pemilik usaha di bidang pariwisata. Namun, dari sekian banyak kepala keluarga di banjar Dinas Tulamben hanya 30 kepala keluarga yang berlangganan jasa pengangkutan sampah rumahan ini.
Biaya langganan untuk rumah tangga sebesar Rp 20 ribu. Sedangkan untuk hotel restaurant sebesar Rp 100 sampai 200 ribu per bulan.
Tidak hanya di daerah Banjar Dinas Tulamben, jasa pengangkutan sampah juga meluas ke sekitar Banjar Tulamben dengan harga sebesar Rp 50 ribu. Jasa penggangkutan sampah dimulai dari pukul 08:00 WITA hingga selesai.
Perbedaan yang saya rasakan sejak adanya TPST adalah adanya sistem pemilahan sampah organik dan non-organik. Sayangnya, pemilahan sampah berjalan kurang maksimal. Plastik hanya dapat dipilah secara baik hanya 25 persen. Daun hanya sekitar 25 persen untuk dijadikan pupuk.
Sisanya hanya dibakar dan dikumpulkan karena nantiya akan ada hewan ternak yang memakannya seperti sapi. “Jadi, secara tidak langsung meringankan beban peternak sapi,” kata I Nyoman Swastika, pengelola administrasi TPST Tulamben.
Dengan adanya jasa dan pemilahan sampah ini, warga desa dan pemilik usaha sangat merasa terbantu dalam mengelola sampah. Semoga TPST di Desa Tulamben dapat membuat nama desa menjadi lebih maju ketimbang desa lain di Kecamatan Kubu.
Semoga warga dapat memilah sampah dan bertanggung jawab akan kebersihan sampah. [b]