Oleh Luh De Suriyani
Hadiah Sastera Rancagé 2009 untuk sastera Bali kali ini dianugerahkan pada I Nyoman Tusthi Éddy (Kumpulan sajak “Somah”) dan I Nengah Tinggen, (jasanya pada perkembangan bahasa dan sastera Bali).
Dua sastrawan lawas asal Buleleng dan Karangasem ini tampil terbaik di antara sejumlah karya anak muda Bali lainnya seperti I Gusti Ayu Putu Mahindu Déwi Purbarini, 31 tahun, dengan kumpulan puisi Taji (Taji) dan Ni Kadék Widiasih, 24.
Tusthi Éddy dan Tinggen berhak untuk menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2009, berupa piagam dan uang Rp. 5 juta. Rancage adalah penghargaan sastra tahunan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage yang kini diberikan untuk kali ke-21 bagi penulis Indonesia dalam bahasa ibu, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.
Nengah Tinggen sejak tahun 1971, menyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali. Sejak itu dia menulis berbagai buku tentang Bali, sebagian besar dalam bahasa Bali. Dia telah menerbitkan lebih dari 40 judul buku termasuk tentang éjaan bahasa Bali, buku kidung dan gaguritan dan buku-buku cerita.
Karyanya banyak digunakan sebagai penunjang pelajaran bahasa dan sastera Bali di sekolah-sekolah. Kini bekerja sebagai guru bahasa dan sastera Bali di SPGN Singaraja dan menjadi dosén luar biasa di STKIP Agama Hindu Singaraja.
Sementara Tusthi Eddy dikenal sangat produktif menulis sejumlah karya sastra dalam Bahasa Bali maupun Indonesia, seperti sajak, prosa, dan esai.
Pada tahun pertama, hadiah “Rancagé” hanya diberikan kepada sasterawan yang menerbitkan buku unggulan. Tetapi sejak tahun kedua, hadiah untuk karya itu didampingi oléh hadiah untuk jasa, yang diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibunya.
Kumpulan puisi Somah (Suami/Isteri) karya Nyoman Tusthi Éddy dinilai tampil memikat karena keterpaduan yang kuat antara téma, pengucapan dan gaya bahasa. Téma yang diangkat sangat beragam, mulai dari hubungan suami isteri, toko serba ada, korupsi, uang, jam, kulinér, taksi dan pesisir Bali dalam kontéks perkembangan pariwisata. Hampir separo berupa sajak péndék, hanya terdiri dari satu bait, mengambil bentuk syair dan pantun. Dengan puisi péndék itu Nyoman Tusthi Éddy mampu membentangkan gagasan yang cukup luas, memikat dan menyentuh serta utuh.
Perkembangan sastera Bali tahun 2008 menurut Darma Putra cukup menggembirakan, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Meski masih sedikit, ada peningkatan produksi buku yakni sembilan judul pada 2008, sementara tahun 2007 hanya lima judul. Secara khusus ia mengapresiasi karya perempuan Bali yang mulai ramai tahun ini.
“Karya satrawan perempuan Bali saat ini memberikan pérspéktif baru dalam perkembangan téma sastera Bali modéren. Masalah kesetaraan génder dan pengalaman hidup manusia dari pérspéktif perempuan mulai muncul. Sayangnya kemampuan ketiganya dalam menggarap téma dan mengembangkan éstétika belum mantap,” ujar I Nyoman Darma Putra, salah seorang juri, menilai nominator lain seperti AA Sagung Mas Ruscitadéwi, Purbarini, dan Widiasih.
Namun, bagi Tusthi Eddy, perkembangan sastera dan produksi buku sangat lambat di Bali. “Sampai sekarang kami kesulitan mencari penerbit. Saya pesimis pada masa depan sastera Bali kalau terus begini,” keluhnya.
Tusthi mengaku belum menggunakan internet untuk memasarkan karyanya. Ia berharap ada pihak yang membantu sastrawan dalam hal ini.
Pada 1989, Rancage diberikan hanya kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Namun sejak 1997 mulai memberikan penghargaan pada sastra daerah lain. Setiap tahun Yayasan Kebudayaan “Rancagé” mengeluarkan 6 hadiah untuk tiga bahasa ibu, yaitu Bali, Jawa dan Sunda. Di samping itu kadang-kadang memberikan Hadiah “Samsudi” buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak unggulan dalam bahasa Sunda.
Tahun ini, “Rancagé” 2009 untuk karya dalam bahasa Sunda adalah Serat Panineungan, Kumpulan sajak Étti RS (terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung) dan Nano S, untuk jasanya dalam bidang karawitan Sunda tradisi.
Sedangkan yang terpilih sebagai karya sastera Jawa adalah Trah, karya Atas S. Danusubroto (terbitan Penerbit Narasi, Yogyakarta) dan Sunarko Budiman di bidang jasa.
“Setelah selama 20 tahun pemberian Hadiah “Rancagé” selalu mendapat tempat dalam pérs, namun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun daérah,” ujar Ajip Rosidi, Ketua yayasan Kebudayaan Rancage. Penerbitan buku bahasa ibu dianggap bukan usaha yang menjanjikan secara komersil. [b]
Artikel ini dipublikasikan di The Jakarta Post