
Pasca demonstrasi di Polda Bali pada 30 Agustus 2025, muncul narasi-narasi bernada sentimen suku, agama, dan ras (SARA) di media sosial. Narasi ini tidak hanya muncul dari pengguna media sosial, tetapi juga dari sejumlah pejabat publik.
Dalam wawancaranya dengan media, Gubernur Bali, I Wayan Koster menyampaikan bahwa dari 25 orang yang diamankan selama aksi, hanya tiga di antaranya yang ber-KTP Bali. Komentar bernada sama juga muncul dari Karo Ops Polda Bali, Soelistijono.
“…ada 130 orang yang diamankan dari kemarin sampai dengan pagi dini hari. Kalau kita lihat, data nama itu, memang KTP-nya sebagian besar sudah di Bali, tapi bukan orang Bali yang banyak. Karena kita semua yakin kalau yang asli dari Bali tidak mau membuat kekacauan, keributan di Provinsi Bali,” ujarnya dikutip dari unggahan akun Instagram badungpunyacerita.
Sentimen rasial dan stigmatisasi negatif yang dimunculkan oleh sejumlah masyarakat dan pejabat publik membuat Forum Warga Setara (ForWaras) menyatakan sikap. Dalam jumpa pers yang digelar di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali pada 02 September 2025, ForWaras mengecam pernyataan publik terkait demonstrasi di Bali yang memecah solidaritas warga.
Jumpa pers tersebut dihadiri oleh sejumlah aktivis asal Bali dan penasehat hukum yang mendampingi peserta aksi. Nyoman Mardika, aktivis asal Bali menyampaikan kronologi singkat aksi Bali Tidak Diam.
Mardika menjelaskan bahwa aksi berjalan kondusif hingga pukul 13.00. Indikasi terpancing oleh tindakan provokatif mulai terlihat pukul 13.30. “Saya meyakini itu sifatnya tidak organik. Nah, itu yang mungkin perlu kita coba investigasi lebih dalam lagi. Proses-proses hingga terjadi saling lempar antara massa aksi dan entah dari mana juga ada lemparan dari Polda,” papar Mardika.
Aksi saling lempar tersebut menimbulkan respons dari pihak keamanan. Penangkapan pun terjadi. Awalnya, 28 orang ditangkap dan jumlahnya semakin banyak sampai dengan dini hari.
Proses penangkapan dan pemeriksaan dari Polda Bali menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, selama pemeriksaan, hal pertama yang ditanya oleh aparat polisi adalah ‘dari mana?’. “Pertanyaannya semua sama, asalnya kamu dari mana?” ujar Mardika.
Pertanyaan tersebut menimbulkan keganjalan, baik dari pendamping hukum hingga orang yang ditangkap. “Kenapa harus pertanyaan itu yang diungkapkan?” kata Mardika. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa memang sebagian dari yang tertangkap bukan orang Bali, tetapi tidak seharusnya pertanyaan tersebut dimunculkan. Upaya pembungkaman terhadap kekritisan orang Bali digiring dengan isu-isu rasis.
Kondisi saat ini mengingatkan Ni Nengah Budawati, Direktur LBH Bali Women Crisis Centre (BWCC) terhadap peristiwa People’s Water Forum (PWF). PWF berlangsung pada 20-23 Mei 2024, berbarengan dengan acara skala internasional World Water Forum. Saat itu beberapa orang yang menghadiri PWF, termasuk Budawati, dihalang-halangi oleh pihak tak dikenal.
Peristiwa tersebut menunjukkan Bali tidak harus selalu aman, tidak boleh terjadi kerusuhan, dan lain sebagainya. Budawati menekankan komentar-komentar yang menyatakan bahwa Bali harus aman untuk menjaga pariwisata. “Seberapa sih kemudian masyarakat Bali menikmati hal itu?” tanya Budawati terkait isu-isu Bali harus aman untuk pariwisata.
Agung Alit, aktivis Taman 65, juga menambahkan komentar rasisme ini paling sering ditemukan ketika mahasiswa asal Papua melakukan aksi. “Kalau ada demo mahasiswa Papua pasti dibilang, wah ini demo dauh tukad (seberang sungai, biasanya ditujukan untuk orang luar Bali). Saya mohon untuk pejabat tidak lagi menyampaikan kata-kata seperti mendikotomikan orang luar Bali,” ujar Agung Alit.
Salah satu advokat yang mendampingi peserta aksi, Ni Putu Candra Dewi, menyatakan saat ini masih ada sejumlah HP yang disita dan ditahan oleh Polda Bali. Bukan hanya disita, pihak kepolisian juga melakukan penyedotan data. “Dan hal tersebut merupakan pelanggaran hak atas privasi,” ujar Candra.
Selama memberikan pendampingan hukum, Candra mengaku tidak diberikan akses untuk mengetahui jumlah massa aksi yang ditahan. “Akses pendampingan hukum dibatasi bahkan hingga hari ini,” imbuhnya. Dari pukul 21.00 ia datang ke Polda Bali, hingga pukul 04.00, Candra tidak mengetahui secara pasti jumlah orang yang ditahan.
Dalam proses pemeriksaan oleh kepolisian, Candra menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses pemeriksaan jauh dari kata humanis. Orang-orang yang ditangkap digiring bertelanjang dada, berjongkok, diminta untuk jalan jongkok, dan dibentak.
Situasi yang sama juga disaksikan oleh Firman dari Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus ikut mendampingi peserta aksi. Firman mendapatkan perilaku rasis oleh aparat kepolisian. “Saya ditanyakan secara langsung siapa namanya, dari mana asalnya, kemudian baru saya sebutkan nama, saya langsung ditanya ‘oh anak ke berapa?’. Namun, konteksnya adalah nama Putu, Made, Nyoman, Ketut,” jelas Firman.
Beberapa temannya mengingatkan agar aparat kepolisian tidak melakukan tindakan rasis kepada pendamping hukum maupun orang lain. Selain pendamping hukum, para orang tua yang hendak menemui anaknya juga dipersulit untuk mendapatkan akses ke Polda Bali. “Saat di pos depan Polda ditanyakan Kartu Keluarga (KK) dan KTP-nya. Sebenarnya itu bukan hal yang harus diberikan,” ujar Firman.
Dalam pernyataan sikap ForWaras, pernyataan rasis pejabat publik maupun aparat kepolisian dinilai berbahaya karena membelah masyarakat berdasarkan identitas, mengaburkan substansi tuntutan demokratis, dan melegitimasi represi aparat. Berikut lima pernyataan sikap ForWaras terhadap tindakan rasis pejabat publik dan kondisi yang sedang terjadi saat ini:
- Mengecam tindakan para pejabat publik di Bali yang mengeluarkan pernyataan rasis yang memecah belah, serta mendesak pejabat dan tokoh publik untuk menghentikan praktik diskriminasi dan stigmatisasi terhadap demonstran;
- Mendesak Kompolnas dan Propam POLRI melakukan pemeriksaan terhadap Karo Ops Polda Bali dan jajaran personel kepolisian dalam penanganan aksi demonstrasi, serta menjatuhkan/merekomendasikan sanksi atas tindakan diskriminatif personel yang diperiksa dan pemecatan terhadap Karo Ops Polda Bali atas pernyataannya;
- Meminta Ombudsman RI dan Kantor Perwakilannya melakukan pemeriksaan maladministrasi kepada Gubernur Bali dan Karo Ops Polda Bali atas pernyataan keduanya;
- Pemerintah dan DPR bertanggung jawab terhadap situasi dengan mendengar tuntutan rakyat, jamin hak kebebasan menyampaikan pendapat dari setiap warga negara, dan menghentikan segala bentuk sikap anti kritik dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat;
- Rakyat Bali dan rakyat di seluruh Indonesia harus memperkuat solidaritas untuk melawan rasisme dan segala bentuk politik pecah belah.
Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh 46 pihak yang berasal dari kolektif maupun individu. “Kami percaya bahwa perjuangan rakyat tidak mengenal sekat identitas maupun daerah. Suara rakyat adalah suara keadilan. Melawan rasisme berarti melawan penindasan dalam segala bentuknya,” tutup Mardika dalam pernyataan sikap.

![[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2025/01/KOLOM-MATAN-AI-oleh-I-Ngurah-Suryawan-by-Gus-Dark1-120x86.jpg)








