Pada tahun 1999 Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization) bersidang umum di Santiago, Chili. Sidang ini menghasilkan kode etik pariwisata internasional. Sejak itu, semua anggota mengakui berpariwisata sebagai salah satu hak asasi manusia.
Indonesia termasuk di dalamnya pada tahun 1975. Dengan menjadi bagian dari organisasi tersebut, Indonesia diwajibkan untuk membuat peraturan khususnya di bidang pariwisata yang mengacu pada kode etik pariwisata internasional ini. Melalui perkembangan zaman, hal-hal yang menjadi bahan eksploitasi jarahan bisnis pariwisata sudah sampai menyentuh hal paling mendasar. Ya hal itu adalah kesehatan.
Medical tourism atau dalam bahasa Indonesia “pariwisata medis” bukan merupakan barang baru di negara-negara maju. Pariwisata ini memberikan dividen yang tidak kecil dan bahkan menjadi andalan negara maju tertentu seperti Singapura.
Alasan melakukan wisata ini banyak. Selain untuk berlibur juga karena lengkapnya fasilitas rumah sakit yang dituju dan murahnya biaya perawatan. Bahkan ada alasan melakukan upaya kesehatan yang ilegal di negara asal namun legal di negara yang dituju. Misalnya aborsi, euthanasia, dan lain-lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejauh mana kita menjajal kemampuan kita untuk bersaing dalam ilmu kesehatan khususnya dalam kemampuan menggaet “tamu asing” untuk berobat ke negara kita?
Tentu saja kita mampu bersaing. Sayangnya bukan sebagai “guide” tamu untuk berobat, melainkan menjadi turis yang berobat ke negara lain. Menurut data Kementerian Kesehatan, lebih dari 600.000 orang Indonesia berobat keluar negeri setiap tahun. Biasanya pergi berobat ke negara maju terdekat seperti Singapura dan Malaysia.
Banyaknya orang Indonesia yang berobat ke luar negeri difasilitasi oleh perusahaan asuransi seperti AXA dan Admedika. Hal ini menyebabkan PDB yang diterima oleh negara dalam bidang kesehatan cukup rendah hanya sekitar 2,7 persen menurut data World Bank pada tahun 2012 dan perkembangannya relatif stagnan. Sangat kecil ketimbang rata-rata PDB kesehatan negara ASEAN sebesar 3,9 persen.
Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengakomodir pariwisata ini, memperparah keadaan pariwisata kesehatan di Indonesia.
Fenomena Masyarakat Ekonomi Asean yang semakin mendekat dan diproyeksikan akan berlaku pada akhir 2015, menjadi tantangan tersendiri bagi negara kita untuk bersaing di bidang pariwisata medis. Dengan adanya MEA maka akan terjadi lalu lintas tenaga kerja medis lintas negara.
Hal ini menjadi peluang sekaligus bumerang terhadap pariwisata medis di negara kita apabila tidak dibuatkan peraturan yang mengatur tentang pariwisata medis ini. Ketersediaan infrastruktur, pendidikan kesehatan, investasi di bidang kesehatan, dan kerja sama yang baik antara pemerintah dan pihak swasta harus terus dikembangkan, agar negara ini bukan menjadi “turis” di negara asing melainkan sebagai “guide” di negara sendiri. [b]