Sebelas perupa Bali menghadirkan karya di Negeri Kanguru akhir tahun lalu.
Selain kematangan teknik, mereka juga membawa gagasan untuk mempertanyakan kembali mengenai identitas seni rupa Bali yang telah dikonstruksi dalam politik etis Belanda pada 1920an yang disebut Baliseering.
Politik etis Belanda ini merupakan upaya kolonialiasi terhadap masyarakat Bali. Caranya dengan mengambil peran-peran kekuasaan untuk mengembangkan dan mengeksploitasi kebudayaan Bali serta mengisolasinya dari pengaruh luar etnis Bali.
Pameran perupa Bali di Australia mengusung tajuk Crossing: Beyond Baliseering. Sebanyak 22 karya telah dipamerkan dan menjadi titik acuan bagi seni rupa Bali untuk melompati batas-batas Balinisasi. Pameran di galeri Fortyfivedownstairs, Melbourne, ini dipersembahkan oleh Project 11 dan didukung Multicultural Arts Victoria, Pemerintah Negara bagian Victoria, Australia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Melbourne Australia, dan maskapai Garuda Indonesia.
Pameran ini menjadi momentum penting di penghujung tahun 2016. Wacana dan karya yang dihadirkan tidak hanya menjadi formulasi antara kultur Bali dan tawaran visual di luar konvensional. Tidak menampilkan idiom tradisi sebagai fokus visual yang kerap kali sulit diinterpretasikan oleh penikmat seni yang awam terhadap budaya Bali.
Pameran ini juga menghadirkan pemetaan mengenai sejarah dan akar seni rupa Bali yang masih memberikan dampak dan ekses-ekses baik secara sosio kultural dan kode visual para seniman Bali.
Selama ini, Bali dianggap tidak mempunyai seni rupa kontemporer. Minimnya jumlah artspace dan galeri yang representatif untuk memamerkan karya-karya kontemporer menjadi persoalan kecil yang kerap kali diperbincangkan.
Padahal, banyak faktor yang menyebabkan seni rupa Bali dipandang berada di luar konstelasi seni rupa kontemporer Indonesia. Misalnya citra Bali yang sangat turistik sehingga berpengaruh pada praktik seni rupa yang bertumpu pada arus pasar. Karya-karya yang hadir dalam ruang komersial pun kerap menghadirkan keindahan alam dan imaji kehidupan masyarakat Bali yang disambut dengan laris manis.
Seperti tidak bisa beranjak dari eforia masa lalu, praktik seni rupa Bali masih dinaungi pemujaan terhadap keindahan yang melenakan dan tanpa esensi. Tidak hanya kemolekan alam yang menjadi sumber inspirasi dan daya tarik orang asing datang ke Bali. Eksotika perempuan Bali juga mengalami komodifikasi melalui kartu pos, foto ataupun video dokumenter yang menampilkan tubuh perempuan Bali setengah terbuka.
Sehingga, tidak bisa dipungkiri jika Bali benar-benar menjadi representasi surga bagi para pendatang.
Bali diisolasi layaknya akuarium dengan memperkuat feodalisme dan otonomi raja-raja kecil di dalamnya. Tujuannya untuk menekan gerakan nasionalisme dan pengaruh Islam yang sangat dinamis di Indonesia. Struktur sosial Bali yang diwarnai dengan sistem kasta pun semakin membuat masyarakat Bali lebih tertutup. Dengan mengatasnamakan sakralitas, masyarakat kelas bawah (jaba) menjadi kelas pekerja melalui pelaksanaan ritual dan segala bentuk perayaan dan kesenian demi kepuasan orang-orang kolonial.
Tak dinyana, Clifford Geertz dalam bukunya Negara Teater (1906) menjangkarkan analisisnya mengenai habitus orang Bali yang selayaknya pemain teater, mementaskan simbol-simbol sakral dan upacara sebagai napas utama kehidupannya. Masyarakat Bali kelas bawah kerap melaksanakan peran sosial dan ritual tanpa memahami esensi dan filsafatnya. Sebab, akses filsafat dan pengetahuan dikuasai oleh kaum atas dan para brahmana.
Maka membaca potensi seni rupa kontemporer Bali, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari ekses-ekses Balinisasi yang membuat praktek seni rupa di Bali dicap stagnan dan tidak bisa berkembang. Para pelukis Bali dianggap hanya bisa melukis dengan kemampuan teknis yang mumpuni namun tidak memberikan dinamika kebudayaan yang signifikan.
Cikal Bakal
Bali sesungguhnya merupakan sejarah cikal bakal seni rupa di Indonesia. Terbukti dengan adanya kunjungan-kunjungan pelukis Jawa yang ingin merasakan sendiri atmosfer kesenian di Bali seperti Hendra Gunawan, Affandi, Nashar, dkk. Namun, sungguh harus dimaklumi, akibat kolonialisasi ini, para pelukis Bali sulit mengungkapkan gagasan dan mepresentasikan realita sosial dalam karya-karya lukis mereka.
Pada era revolusi, pelukis Nyoman Ngendon hadir dengan tema-tema perjuangan sebagai bentuk perlawanan terhadap Belanda. Namun, ia lekas gugur dalam peperangan sebelum menghasilkan lebih banyak pengaruh kebudayaan melalui lukisan-lukisannya.
Barangkali mesti menunggu seabad lebih untuk memantik gerakan-gerakan senirupa di Bali. Meskipun hanya sekadar letupan membara lalu kian meredup karena benturan wacana dan kondisi pasar, tetapi usaha para perupa Bali untuk merombak kembali identitas kerupaan mereka sungguh patut diapresiasi.
Dalam pameran Crossing: Beyond Baliseering, perupa Wayan Upadana, Budi Agung Kuswara dan Kemal Ezedine menghadirkan keotentikan Bali melalui idiom barong, rangda, dan perempuan Bali tempo dulu.
Perupa Wayan Upadana mempertanyakan posisi orang Bali yang terjebak dalam transisi antara tradisi dan modern. Seperti dalam karya trimatranya berjudul “Si Gendut Pencari Tuhan”. Sebuah patung bertubuh gemuk, berkepala barong duduk dalam posisi meditatif. Cukup menyiratkan pertanyaan-pertanyaan kontemplatifnya sebagai orang Bali. Mengenai kekayaan alam melimpah, dipersembahkan dengan penuh gegap gempita dalam setiap upacara, perayaan, dan ritual dengan segala kompleksitas prosesinya. Namun, lagi-lagi semua itu dilaksanakan oleh orang Bali tanpa memahami apa esensinya, apa tujuan spiritualnya, bahkan cenderung bisa menghabiskan biaya yang cukup besar.
Budi Agung Kuswara dan Kemal Ezedine menghadirkan sosok perempuan Bali tempo dulu sebagai representasi identitas Bali yang dieksploitasi Belanda melalui politik etisnya. Sama-sama menghadirkan posisi orang Bali yang berada di bawah invansi kolonial. Tidak hanya secara teritori, namun menginfeksi lebih jauh lagi hingga ke mentalitas masyarakatnya. Mentalitas inlander.
Selain itu, I Made Aswino Aji dan Slinat hadir dengan instalasi cukup frontal. Mereka menggambarkan asimilasi kebudayaan barat yang mengakibatkan hilangnya identitas orang Bali. Suatu peralihan dari sakral menuju profan. Dari yang berpusat kepada harmoni alam kini beralih kepada yang industrial. Karya-karya mereka sangat bernas menghadirkan realita kehidupan yang dihadapi masyarakat Bali saat ini.
Masih nalam napas street art M. Yoesoef Olla menghadirkan karya seri “Let’s Play Series #1-3” : 3 panel lukisan di atas kulit yang merespon isu-isu global dan politik melalui ikon pop culture. Kondisi sosial yang karut marut ia ungkapkan melalui figur-figur simbolik. Masing-masing membentuk relasi sebab akibat namun menjadi utuh dalam setiap panelnya.
Kemudian Art of Whatever dalam instalasi sofa berukuran 3 meter, “Everyday is Sunday” seperti sebuah parodi bagi masyarakat yang terjebak arus industri. Instalasi sofa tersebut mengajak pemirsa untuk duduk dan santai sejenak, melupakan jam-jam kesibukan mereka.
Menggugat Maskulinitas
Berbeda halnya dengan Citra Sasmita, Natisa Jones, I Made Suarimbawa ‘Dalbo’ dan Valasara. Kami menampilkan narasi tubuh, persoalan identitas kebudayaan masuk ke dalam wilayah yang lebih privat–sulit terdeteksi namun begitu krusial mempengaruhi sistem sosial masyarakat.
Saya sendiri menghadirkan lukisan tubuh perempuan yang ditumbuhi kaktus. Judulnya “Ab Initio, Ab Aeterno (Yang Bermula, Yang Tanpa Akhir)”. Sosok perempuan dalam lukisan memotong satu persatu kaktus tersebut. Kaktus merupakan simbolisasi dari phallus atau maskulinitas yang telah secara alamiah menyertai perkembangan kehidupan manusia.
Bagi saya patriarki merupakan permasalahan yang sulit dicari ujung pangkalnya. Termasuk dalam hal pendidikan bahasa daerah yang salah dipahami sebagai bahasa ibu serta bahasa simbolik yang dipakai dalam lingkungan sosial yang kerap kali mensubordinasi perempuan.
Hal yang saling berkaitan juga tercermin dalam karya Natisa Jones. Karya ini mempertanyakan tentang identitas personal seseorang dengan relasi di luar dirinya serta bagaimana emosi dan psikologi antar relasi tersebut saling mempengaruhi. Hal itu tersirat dalam garis-garis ekspresionis yang membentuk figur tidak utuh. Ketidakutuhan figur tersebut justru menjadi kekuatan dan gagasannya mengenai si sosok liyan.
Kemudian I Made Suarimbawa ‘Dalbo’, “Narasi Menunggu Kelahiran” yang berkaitan dengan peran penting perempuan untuk melanjutkan keturunan. Terakhir adalah Valasara, perupa yang telah menerabas batas dua dimensi dalam karya-karyanya dan menjadikannya tiga dimensi melalui teknik emboss dan deboss. Sebuah upaya estetik yang memberikan perspektif baru mengenai penggunaan medium dalam seni rupa.
Pameran Crossing: Beyond Baliseering berlangsung pada 6 – 17 Desember 2016. Meski periode pameran ini cukup singkat, namun tanggapan luar biasa telah diterima para seniman. Para penikmat seni dan audience dari Melbourne yang selama ini terbiasa dengan seni kontemporer Indonesia yang hanya bertumpu pada seni kontemporer Jogja, Bandung dan Jakarta, ternyata cukup terkejut dan terpukau dengan potensi seniman Bali.
“Kami bangga pameran seni rupa kontemporer Indonesia dipresentasikan di Melbourne,” ungkap Mara Sison, kurator pameran Crossing: Beyond Baliseering.
Menurut Mara Sison, Melbourne adalah sebuah kota multikultural, kota yang tidak asing lagi dengan seni kontemporer dari Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Memamerkan karya seniman yang berbasis di Bali adalah langkah berikutnya.
“Ini hanya awal karena kami bertujuan untuk terus mendukung seniman pendatang baru yang berusaha untuk mendobrak batas-batas seni dan persepsi yang telah ada dan mempertanyakan kembali mengenai norma-norma sosial dan budaya,” ujarnya. [b]