Sha Ine Febriyanti tampil beda saat membawakan monolog berjudul ‘Wakil Rakyat yang Terhormat’.
Monolog tersebut adalah salah satu dari dua monolog yang dipentaskan dalam acara Pentas 2 Monolog. Pentas diadakan pada 12 November 2014 di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Gianyar.
Ini pertama kalinya Ine membawakan sebuah monolog politik yang bertemakan paradoks seorang wakil rakyat. Selain Ine, Didon Kajeng juga berhasil memukau penonton, membawakan monolog lainnya yang bertajuk ‘Orang Gila’.
Ine Febriyanti dan Didon Kajeng memilih sendiri naskah dari Buku Monolog Politik, karya Putu Fajar Arcana. Monolog ‘Orang Gila’ disutradarai oleh Afif Mahfudz, sedangkan monolog ‘Wakil Rakyat yang Terhormat’ disutradarai oleh Putu Fajar Arcana.
Monolog ‘Wakil Rakyat yang Terhormat’, kata Ine, adalah gambaran kemunafikan yang melanda para pejabat di negeri ini. Medium topeng yang sangat dominan, merupakan simbol yang kuat untuk menyuarakan betapa banyak orang yang mengenakan topeng dalam kesehariannya.
Buku Monolog Politik berisi 5 naskah monolog yang ditulis dalam rentang waktu lima tahun, merupakan cermatan sang penulis melihat kondisi politik dan hukum di sini, di negara penuh santun.
Putu Fajar Arcana mengaku menulis monolog ini secara khusus untuk mencermati centang-perenang kondisi politik dan hukum di tengah kasus dan isu korupsi, kolusi, kongkalikong pengusaha, birokrat dan politisi, serta hipokrisi yang melanda para pejabat negara.
Tema besar dalam buku ini, menyoroti sifat-sifat munafik dan rakus, yang banyak diidap justru oleh priyayi politik negeri ini. Hal yang sangat spesifik dan karenanya unik, tokoh-tokoh hitam dalam buku ini melakukan orasi politik untukmembenarkan segala perilaku “menyimpang”. Tetapi alih-alih menuju pada perbaikan sikap dan sifat, semakin ada upaya membela diri, para tokoh dalam monolog ini justru semakin memperlihatkan kebejatan moral mereka.
Bahkan kecenderungan membolak-balik fakta menjadi fitnah yang keji, sudah ditulis dalam lakon monolog ini jauh sebelum hal itu terjadi saat ini. “Sifat-sifat seperti itu bisa terjadi kapan saja. Sejak dulu dalam cerita-cerita klasik juga, fitnah itu jadi satu cara menyingkirkan lawan politik. Kita tidak boleh berhenti melawannya,” kata Putu Fajar Arcana yang akrab disapa Can.
Bahkan belakangan, paparnya, keterbelahan yang terjadi di kursi parlemen semakin membuktikan bahwa para priyayi politik itu telah mempertontonkan karakter buruk di hadapan rakyat. “Tontonan itu semakin meyakinkan kita bahwa parlemen kita adalah kumpulan para priyayi yang haus kekuasaan,” ujarnya