Teks dan Foto Ilustrasi Luh De Suriyani
Sejumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dokter, pendamping dan konselor bidang penanggulangan AIDS di Bali berkumpul pada Jumat siang kemarin. Mereka minta Gubernur merevisi program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang mengecualikan HIV/AIDS dalam fasilitas kesehatan gratis yang mulai dilaksanakan per 1 Januari ini.
“Kami tidak menolak JKBM tapi mohon direvisi. Program ini terkesan mendiksriminasikan pengidap HIV yang kini jumlahnya hampir 4000 orang di Bali,” ujar Putu Utami, Direktur Yayasan Bali+, yang melakukan penjangkauan dan pendampingan ODHA di Bali, dalam diskusi di Yayasan Kerti Praja (YKP), Sesetan, Denpasar.
Putu memaparkan bahwa sebagian besar ODHA yang didampingi adalah ibu rumah tangga, bayi, dan anak-anak asli Bali yang tertular HIV. “Tak hanya karena perilaku, tapi mereka yang tak berdosa kini peningkatannya drastis sekali dan membutuhkan akses kesehatan,” tambah Putu yang juga terdampak dari HIV/AIDS ini. Apalagi, kata Putu mereka sebagian besar miskin.
Pelayanan kesehatan sangat penting untuk mereka jika mengalami infeksi oportunistik seperti diare, penyakit kulit, dan lainnya akibat ketahanan tubuh berkurang karena diserang HIV. “Ini penyakit biasa seperti juga diderita orang bukan ODHA, tapi rentan jika kondisi kesehatannya lemah,” jelas Putu yang juga salah satu perempuan aktivis AIDS nasional ini.
Sementara Prof dr Dewa Nyoman Wirawan, pendiri YKP mengaku tak mengerti kenapa HIV/AIDS tak ditanggung. “Apa latar belakangnya? Ini bisa jadi preseden buruk untuk Bali di dunia internasional,” katanya.
Selain itu, program ini juga dinilai bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali No 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS. Misalnya pada Pasal 14 dan 16. Pasal 16 berbunyi Pemerintah Provinsi menyediakan sarana dan prasarana pendukung pengobatan, pengadaan obat anti retro viral, anti infeksi oportunistik, dan ibat infeksi menular seksual (IMS). Ketersediaan sarana dan prasarana harus bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat (ayat 2).
Dalam Surat Edaran soal JKBM, tercantum pelayanan yang tak ditanggung. Misalnya ambulans, transportasi, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, kemoterapi, imunisasi non dasar, kecanduan narkoba, dan pengidap HIV/AIDS. Selain itu juga tak menanggung sakit karena upaya bunuh diri, sirkumsisi, serta cacat bawaan.
Yang berhak mendapat JKBM adalah warga dengan KTP Bali, membawa kartu keluarga dan surat rujukan dari rumah sakit daerah atau puskesmas jika datang ke RS Sanglah Denpasar sebagai pusat rujukan. Selain itu surat dari kepala desa atau lurah bahwa warga tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan lain. JKBM menanggung biaya untuk perawatan kelas terendah di rumah sakit, yakni kelas III.
Menurut Prof Wirawan, kalau biaya premi yang dipakai argumentasi, biaya di ICU toh jauh lebih besar dibanding kemoterapi. Premi untuk sirkumsisi juga amat murah dan sirkumsisi bisa mencegah banyak penyakit seperti kanker dan juga HIV/AIDS.
Kalau perilaku yang dipakai argumentasi, banyak sekali penyakit lain karena perilaku seperti IMS, hepatitis B, C, kanker karena perilaku merokok, diare, dan lainnya.
Dari data RS Sanglah, sekitar 80% ODHA yang dirawat di RS Sanglah tergolong miskin dan menggunakan Jamkesmas, SKTM, atau masuk kategori terlantar. Tahun 2009 hingga akhir September, jumlah Odha yang dirawat inap di Sanglah sebanyak 387 orang dari 937 yang melakukan kunjungan. Dari jumlah itu, 64 Odha meninggal karena datang pada kondisi stadium AIDS akut.
Sementara jumlah ODHA ibu rumah tangga sekitar 150 orang dari berbagai kabupaten di Bali. Sebagian orang tua dengan HIV sudah meninggal sehingga terdapat lebih dari 70 orang anak yatim piatu. Sedikitnya hingga kini tercatat 50 bayi positif HIV, dan sebagiannya sudah meninggal.
ODHA, pendamping, dan dokter berencana melakukan dengan pendapat ke DPRD Bali untuk menyampaikan permohonan revisi ini.
Saya rasa memang tidak perlu diskriminasi yang ada bagi OHDA.
Saya harap semua mendapat hak dan pelayanan yang sama. Jangan sampai ada pengkotak-kotakan… 🙂