Selain melawan stigma, orang dengan gangguang jiwa juga harus berhenti mengasihani diri sendiri.
Beberapa waktu lalu saya menonton berita di televisi tentang kegiatan pasien dalam tahap pemulihan di sebuah panti sosial yang menangani penyakit kejiwaan di Jakarta. Pasien yang melakukan kegiatan kebersihan di Lapangan Monas itu mendapat sorotan media dan disambut baik oleh pemerintah kota yang berencana mempekerjakan mereka sebagai tenaga kebersihan.
Ada terminologi baru bagi para penderita penyakit kejiwaan yakni Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Skizofrenia (ODS). Istilah baru ini muncul sejak disahkannya UU Kesehatan Jiwa pada 2014 silam.
Terminologi ODGJ, ODMK dan ODS menambah daftar istilah yang berkaitan dengan penyakit yang diderita seseorang seperti Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), Orang dengan Bipolar (ODB) dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Istilah-istilah ini dibuat mungkin untuk memperhalus dan untuk menghindari stigma di masyarakat.
Seperti diketahui, stigma bagi penderita penyakit jiwa masih sangat kental. Banyak miskonsepsi akibat minimnya pengetahuan tentang kesehatan jiwa. Penyakit jiwa dianggap sebagai sebuah kutukan, kurang iman, masalah karma, salahang bhatara, dan karena disantet atau diguna-guna.
ODGJ yang relaps (kumat) serta kerap mengamuk karena tak mendapat pengobatan yang baik akhirnya dikurung atau dipasung oleh keluarganya. Ini membuat penyakit yang diderita makin parah karena perasaan tertekan, terkucil dan terbuang yang dirasakan penderita gangguan jiwa. Akibatnya muncul rasa dendam kepada keluarga yang menelantarkannya.
Di sisi lain, terminologi ini akan menjadi sebuah labelling, menjadi “cap” yang malah membebani mental penderita seperti halnya label eks tapol (ET) di masa Orde Baru dulu untuk menyebut orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI dan komunis. Labelling ini bisa bersifat permanen.
Padahal, jika kita perhatikan istilah ini mengacu pada penyakit yang diderita seseorang dalam jangka waktu tertentu. Penderita HIV yang rutin berobat kemungkinan penyakitnya tak berkembang menjadi AIDS, atau ODGJ penyakitnya bisa sembuh jika mendapat penanganan yang tepat.
Terminologi ODGJ memang terdengar lebih halus daripada “sakit jiwa” atau “gila”, istilah yang umum di masyarakat bagi para penderita gangguan jiwa. Istilah yang mungkin terdengar kasar ini menurut saya adalah sebuah shock therapy.
Orang yang mengalami gangguan kejiwaan menjadi sadar bahwa ada yang kurang beres dengan dirinya. Walau kadang memunculkan stigma yakni orang yang menderita gangguan kejiwaan dianggap selamanya sakit dan tak mungkin sembuh. Mereka juga dipandang sebelah mata oleh masyarakat bahkan oleh keluarga sendiri.
Orang yang menderita gangguan kejiwaan secara tak sadar akan melabeli dan memberi identitas baru pada dirinya. Setelah misalnya keluar dari panti atau rumah sakit jiwa dan dinyatakan sembuh label tersebut tetap ada, ia biasanya akan mencari teman yang dianggap memiliki penderitaan sama dengannya. Dia bergabung dengan komunitas yang anggotanya memiliki riwayat penyakit kejiwaan dan tetap membawa label yang secara tidak dia sadari menjadi identitas barunya.
Bergabung dengan sebuah komunitas yang peduli terhadap kesehatan jiwa tak ada salahnya. Mereka bisa bertemu dan mengenal orang yang “senasib” membuat ODGJ tak lagi merasa sendiri dan kesepian. Mereka bisa saling berbagi pengetahuan dan pengalaman. Namun, hendaknya tidak dalam jangka waktu lama sebab pergaulan dapat mempengaruhi jiwa.
Penderita gangguan kejiwaan perlu keluar dari “kotak” untuk menghadapi dunia nyata, menghadapi orang-orang yang mungkin menganggap sebelah mata.
Keluar Kotak
Para pengidap gangguan kejiwaan akan terus merasa sebagai orang sakit walau sebenarnya telah sembuh dan masyarakat telah menerima mereka. Penderita gangguan kejiwaan perlu keluar dari “kotak” untuk menghadapi dunia nyata, menghadapi orang-orang yang mungkin menganggap sebelah mata, atau sebaliknya memahaminya dan menganggap kejadian di masa lalu adalah sebuah proses yang memang harus dijalani.
Dari pengalaman saya bergaul dengan kawan-kawan ODGJ dan ODS di sebuah komunitas pemberdayaan ODGJ di Denpasar, sebagian besar dari mereka menerima perlakuan yang kurang mengenakkan baik dari keluarga atau masyarakat. Sepulang dari perawatan di rumah sakit jiwa mereka merasa kurang dipedulikan. Entah karena amarah dan rasa “dendam” dari keluarga jika teringat perbuatan ODGJ di masa lalu, misalnya mengamuk dan merusak atau berkata-kata kasar dan menyakitkan kepada anggota keluarga lain. Akibatnya, keluarga itu merasa lebih baik membiarkan mereka tetap di rumah sakit jiwa dan tak menyarankan untuk kembali pulang ke rumah.
Namun kebalikannya, jangan sampai penyakit jiwa yang dialami ODGJ dijadikan semacam glorifikasi, merasa bangga dengan penyakit dan menganggap diri spesial dan berbeda dengan orang lain.
Glorifikasi pada ODGJ biasanya bersifat sangat halus dan tak tampak. Awalnya mengasihani diri dan merasa diri paling menderita dan menyampaikannya kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Tujuannya ingin dimengerti dan dikasihani. Namun, sikap ini bisa berkembang menjadi sikap memuliakan penyakit yang diderita dan ada kebanggaan yang dirasakan saat banyak orang yang kasihan dan menunjukan kepedulian pada mereka.
Membebaskan diri dari stigma, labelling dan glorifikasi yang datang dari luar atau dalam diri memang sulit, perlu keberanian dan usaha yang tak kenal lelah. Penerimaan diri juga tak kalah penting, menerima kejadian buruk di masa lalu sebagai cara Tuhan untuk meningkatkan kesadaran kita dan tak menyalahkan orang lain termasuk Tuhan sebagai penyebab nasib buruk yang menimpa menunjukkan kebijaksanaan dan kedewasan sebagai manusia. [b]