Oleh Anton Muhajir
United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memang digelar di Nusa Dua, Bali. Namun, masyarakat Bali hanya jadi penonton. Tidak banyak yang bisa disuarakan masyarakat Bali dalam konferensi yang dihadiri sekitar 10.000 orang dari 180 negara itu. “Karena itu kita perlu merebut perhatian dalam konferensi itu,” kata Ngurah Karyadi, salah satu aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali.
Sejumlah aktivis LSM kemudian bertemu. Secara simultan mereka berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan agar suara Bali terdengar, tidak hanya sekadar tempat bertemunya berbagai kepentingan. Dari situ, muncullah ide LSM-LSM dari berbagai latar belakang itu untuk membentuk kolaborasi.
Kolaborasi itu dimulai dari diskusi tentang perubahan iklim yang diadakan Walhi Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Bali Organic Association (BOA), dan Yayasan Wisnu Oktober lalu. Salah satu usul yang terus didiskusikan adalah upaya untuk mengangkat local genius Bali dalam konferensi di Nusa Dua tersebut sebagai antisipasi pemanasan global.
Kearifan lokal Bali yang dianggap bisa mengurangi pemanasan global itu misalnya konsep Tri Hita Karana dan hari Nyepi di dalamnya. “Nyepi terbukti bisa mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Direktur Walhi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti.
Upaya memasukkan Nyepi sebagai salah satu agenda pebicaraan di UNFCCC dilakukan melalui jalur formal. Beberapa LSM yang bisa masuk dalam perundingan itu telah dilobi untuk membahas usulan tersebut. Salah satunya adalah Third World Network (TWN) yang mempunyai satu sesi khusus di konferensi tersebut.
Hira Jhamtani, aktivis TWN yang juga bergabung dalam Kolaborasi LSM untuk Perubahan Iklim menyampaikan usulan itu pada Side Event UNFCCC di Grand Hyatt Nusa Dua Senin (3/12). Menurut Hira, secara matematis Nyepi di Bali bisa menurunkan emisi hingga 20 ribu ton.
Data itu diperoleh dari perhitungan berikut. Pada tahun 2005 di Bali ada terdapat sekitar 1.008.000 sepeda motor. Jika diasumsikan 1 sepeda motor mengkonsumsi 4 liter bensin sehari, berarti bensin yang digunakan adalah 4.032.000 liter. Jika pembakaran satu liter bensin menghasilkan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan 9.676.800 kg CO2. Diperkirakan ada 200.000 mobil rata-rata mengkonsumsi 10 liter bensin, jadi 2 juta liter bensin seluruhnya. Artinya emisi yang dikeluarkan adalah 4,8 juta kg CO2.
Selain itu, sekitar 80 pesawat terbang beroperasi setiap hari di bandara Ngurah Rai Bali, dan mengkonsumsi bahan bakar avtur 1600 kiloliter. Dengan asumsi bahwa 1 liter avtur melepaskan 2,4 kg CO2, maka emisi yang dihasilkan adalah 3,840 ton CO2.
Jadi pelepasan karbon dari mobil, sepeda motor dan avtur pesawat di Bali per hari sekitar 17.316 ton CO2. ”Ini perkiraan terendah sehingga diperkirakan minimum penghematan emisi adalah 20 ribu ton. Itu belum termasuk penghematan emisi dari kapal-kapal feri di dua pelabuhan penyeberangan, dan penggunaan energi untuk industri serta pembangkit listrik,” lanjut Hira.
Selain jalur resmi, upaya mengangkat Nyepi sebagai hari internasional mengurangi emisi juga dilakukan melalui jalur informal. “Salah satunya adalah parade budaya ini,” ujar Aik, panggilan akrab Sri Widhiyanti.
Agar lebih besar gaungnya, kolaborasi kemudian diperlebar dengan melibatkan lebih banyak LSM. Parade itu akan menampilkan berbagai bentuk kesenian dari tradisional hingga rock and roll.
Dalam acara sehari penuh ini akan dibacakan Deklarasi Masyarakat Sipil Bali yang salah satunya menawarkan agar Hari Raya Nyepi bisa digunakan sebagai momen internasional untuk mengistirahatkan bumi.
Selain deklarasi, acara yang rencananya akan dihadiri 1000 orang dari berbagai latar belakang seperti buruh, tani, nelayan, aktivis LSM, mahasiswa, dan masyarakat lain itu juga diisi berbagai bentuk kesenian.
Ada kesenian tradisional Bali seperti joget bumbung dan bondres. Ada pula band-band seperti Naviculla, Ed Eddy & Resedivis, Joni Agung, Nanoe Biroe, Balawan, dan lain-lain yang mewakili berbagai aliran musik dari rock, pop, jazz, hingga reggae.
Tidak hanya kesenian lokal Bali. Sejumlah seniman dari berbagai daerah di Indonesia pun akan hadir. Bahkan ada pula penampilan khusus dari Indian Cultural Center di Bali.
Parade itu semakin lengkap karena akan diikuti pula dengan Pasar Rakyat yang akan diisi berbagai produk murah yang dihasilka berbagai kelompok masyarakat.
“Parade ini sekaligus sebagai tempat alternatif bagi seluruh kelompok sipil di Bali yang ingin berkontribusi pada isu perubahan iklim,” kata Aik.
Di luar isu Nyepi, Parade Budaya juga menampilkan sejumlah kegiatan yang relevan dengan isu lingkungan. Misalnya Pasar Rakyat sebagai upaya untuk memperkenalkan produk lokal. “Makin banyak orang menggunakan produk lokal, maka akan makin sedikit ketergantungan kita pada negara maju penghasil emisi terbesar di bumi,” kata Komang Adi, dari Yayasan Mitra Bali yang mengurusi pameran tersebut.
SAYA RASA TIDAK BISA NYEPI DILAKUKAN BERSAMA SEBAB …. NYEPI KITA MENGIKUTI KALENDER BERBEDA DENGAN KALENDER UMUM. MISALNYA: NYEPI TIDAK SELALU JATUH TANGGAL 13 MARET TIAP TAHUNNYA.
DAN KALAU EMOSI MASING2 KERAS KEPALA. MAKA MOMEN UNTUK NYEPI TIDAK MUNGKIN BISA TERLAKSANA. UNTUNGNYA DI BALI BISA. SUNGGUH LUAR BIASA RASA TOLERANSI SEPERTI INI. APA MUNGKIN DI LAIN TEMPAT BISA?. LET ME SEE…
Nyepi bersama hanya salah satu alternatif yang coba ditawarkan masyarakat Bali untuk bumi. Kalau misalnya dinilai banyak kelemahan, ya gpp. Tapi semoga UNFCCC bisa merumuskan cara terbaik mencegah bertambah tingginya air laut.
Semoga Tuhan melindungi kita semua..
#indonesiaku
Nyepi yang ditawarkan mungkin bukan murni Nyepi yang berlaku di Bali (Hindu), tetapi konsep Nyepi itu sendiri. Jadi mungkin setiap negara memilih sendiri kapan dilaksanakan “Hari Sepi Nasional” tersebut.
wah, gimana tu dik Ton. Kalaupun Nyepi dilakukan secara internasional, 24 jam dalam setahun, dijamin deh gak bakal memperbaiki apa – apa deh. Karena bobot emisi gas rumah kaca yang ada sekarang hanya mungkin dibersihkan dengan jeda selama setidaknya satu abad. Orang Islam aja yang puasa 30 hari sebulan, gak bisa merubah mental korup peabatnya. apalagi mengharapkan perbaikan bumi dengan jeda 24 jam dalam setahun. apa yang bisa diheningkan? paling – paling nyepi tahun depan hanya bisa mengurangi -1 persen emisi gas yang ditimbulkan oleh kegiatan Konferensi Lingkungan di Nusa Dua saja. Itupun kalau gak ditambah aktivitas dan event – even lain. tapi bolehlah, lsm kita makin religius aja sekarang hahaha….mungkin ini pengaruh latar belakang KMHDI di kalangan WALHI ya…?(hahaha lagi)
Kak Riki ada usul nih, gimana kalau diusulkan pengalihan energi massa. Menurut Kak Riki ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, energi massa yang biasa terbuang di Semawang, Santa Fe, dan tempat hiburan lain dialihkan untuk melakukan aksi massa ke lembaga hukum agar tukang rampok hutan bisa ditangkap semuanya. Kedua, energi pecalang dan massa adat yang besar untuk menutup jalan raya itu dialihkan untuk melakukan demo internasional, menuntut pemerintah – pemerintah dunia (terutama Indonesia) agar segera mengeluarkan kebijakan penyelamatan lingkungan yang kongkrit dan tidak basa – basi. Ketiga, semangat Ajeg Bali ditransformasikan ke dalam semangat Lingkungan. Jadi pemilihan Putri Ajeg Bali bisa diganti dengan pemilihan Putri Lingkungan Hidup Ajeg Lingkungan. Jalan untuk melakukan ini adalah dengan mengusulkan Arya Weda Karna sebagai ketua WALHI….kakkakakakkak…
global warming sebagai lahan bagi banyak orang,what is the next one.kenapa tidak dicari jalan keluar untuk system kanalisasi didenpasar,itu adalah masalah sehari hari bagi banyak penduduk bali,apalagi saat musim hujan.Daripada mengkwatirkan permasahan yang begitu global.dirikan LSM yang memang ada gunanya untuk kepentingan pulau bali dulu sebelum ke permasalahan global.