Jika mau menikmati, jangan lewat dari pukul 9 pagi.
Di atas jam tersebut, kemungkinan besar Anda hanya mendapati warung-warung makan nasi Bali special ayam kampung yang sudah tutup. Petanda penggemar nasi campur citarasa masa lalu ini tak pernah habis.
Setidaknya ada empat warung sederhana menjual menu utama nasi campur Bali dengan olahan ayam kampung di di Jalan Kepundung, Denpasar. Dimulai dari Warung Men Renda, sebelah gereja Katolik berasitektur Bali yang indah.
Saat itu pukul 8.30 WITA. Made Mariani, anak ke-10 alm Men Renda sedang agak santai. Hanya melayani 2-3 pembeli. Perempuan sepuh ini tinggal menghabiskan sisa nasi dan lauk pauk. Jam-jam sibuk sekitar 6-8 pagi sudah terlewati.
Mengenakan kamen dan kemeja lusuh, Mariani terlihat bugar di usia lanjut. Rambutnya dipusung sederhana tapi rapi agar tak ada helai rambut terlepas. Ia dibantu seorang perempuan paruh baya yang membawakan nasi ke meja-meja pelanggan.
Tanpa diminta, segelas teh hangat tawar sudah tersaji. Ini adalah komplimentari di warung-warung nasi masa lalu. Pembeli tak perlu membeli air minum. Sudah diberikan gratis, selain teh ada yang menyuguhkan secang, kulit kayu yang membuat air menjadi merah.
Beberapa menit kemudian sepiring nasi dengan sejumlah lauk menutupi sebagian piring. Isinya, sayur urab, lawar, ayam jejeruk santan, tutu, ayam goreng, kacang, sambal matah, sambal goreng, dan telur pindang. Tiga olahan ayam kampung basah dan kering.
Menu ini akan terasa lebih segar ketika pembeli datang lebih pagi. Lawar yang baru diramu dengan bumbu, urab sayur dengan kelapanya yang wangi. Atau olahan ayam kampung yang hangat.
Mariani sangat cekatan. Tangan-tangannya sangat cepat mengisi piring-piring dengan lauk. Pembeli tak perlu menunggu sampai 5 menit. “Saya masih kuat jualan tapi yang masak orang lain,” katanya.
Ada sejumlah saudaranya yang menjadi koki menyiapkan aneka bumbu dan mengolah ayam kampung. Warung kecil ini menghidupi sejumlah keluarga sejak ia masih kanak.
Warung ini dirintis ibunya, alm Men Renda, yang kini menjadi nama warungnya. Ia adalah generasi kedua. “Rasanya tidak sama karena tergantung tangan pedagangnya,” ia mengingatkan. Namun Mariani sangat mensyukuri warisan ibunya yang membuat keluarga besar hidup.
Sejumlah warung lain yang juga menjual nasi ayam kampung disebutnya masih keluarga. Lokasi warung deret kedua dari warung Men Renda hanya sekitar 50 meter.
Namun mereka tak saling sikut dan takut tersaingi. Masing-masing memiliki pelanggannya sendiri. Ada warung Aditya dan Suari yang menjual menu yang mirip dan lokasinya dalam area sekitar 200 meter saja.
Salah satu teknik masak yang masih dipegang adalah penggunaan kayu bakar. Para koki mengaku tak mau memasak menggunakan bahan bakar lain. Rasa dan aromanya berbeda.
Kedua, penggunaan ayam kampung. Mereka memiliki pemasok tetap yang memastikan ayam sesuai syarat. Pelangganlah yang akan menilai apakah benar menggunakan ayam kampung dalam sepiring nasi seharga Rp 25 ribu ini.
Jadi, tunggu apa lagi? [b]
aduuu, bikin ngiler aja nih, apalgi pas puasa kek gini nafsunya melambai-lampai