Semoga maraknya orang beragama bukanlah pelarian belaka.
Makin sering kita lihat orang Bali berpakaian putih-putih dengan senteng atau kain yang dililitkan di pinggang berwarna poleng (belang) putih-hitam. Ada juga yang berpakaian mencolok dan berbeda dengan penampilan masyarakat pada umumnya. Mereka dengan atribut seperti itu sering dikatakan sebagai orang yang Ngiring.
Banyaknya orang Bali yang Ngiring kemudian ditanggapi dengan pendapat beragam dari berbagai kalangan. Ada yang mengatakan itu sebagai krisis identitas manusia Bali kekinian hingga dianggap sebagai gejala gangguan kejiwaan. Alasannya, mereka yang Ngiring biasanya mengalami waham, keyakinan salah yang secara kokoh dipertahankan walaupun tidak diyakini orang lain dan bertentangan dengan realita normal.
Dulunya para pelaku Ngiring umumnya bekerja sebagai balian atau dasaran. Keberadaan mereka diakui dalam tradisi Hindu di Bali sebagai salah satu golongan pemangku yaitu Pemangku Balian.
Namun, kini nampaknya hal tersebut mengalami pergeseran. Mereka yang Ngiring kini tidak mesti menjadi balian atau dasaran melainkan hanya sebagai penanda bahwa ia sedang mendalami ajaran agama dan spritualitas. Bahkan, bisa jadi hanya semacam gaya hidup baru pencarian jati diri.
Hal itu mengingat kini makin banyak kelompok spiritual di mana anggotanya memiliki kebutuhan sama mencari kedamaian diri dengan melakukan berbagai laku spiritual. Meditasi, yoga, melukat, dan tirta yatra ke berbagai pura yang ada di Bali maupun luar Bali.
Saya melihat fenomena ini sebagai sebuah pemberontakan kultural. Jika zaman dahulu ajaran agama hanya dimonopoli oleh golongan tertentu, kini tidak lagi.
Perkembangan zaman yang ditandai pesatnya kemajuan teknologi membuat orang Bali kini bisa mengakses berbagai informasi termasuk ajaran Hindu yang banyak dijumpai di internet. Ini termasuk hadirnya kelompok-kelompok spiritual yang mempunyai jaringan global seperti Hare Krishna, Sai Study Group, Brahma Kumaris dan lainnya.
Orang dengan mudah bisa berguru, mendalami spiritualitas dan menemukan komunitas yang mampu mengisi kekosongan batin dan kurangnya pengetahuan agama. Ini berlaku juga dalam kelompok-kelompok spiritual lokal di Bali. Orang yang tertarik meditasi, yoga atau menjadi penyembuh mendapat tempat cocok saat bergabung pada pergurauan dan kelompok spiritual yang ada.
Sesuatu yang jarang kita jumpai 20 atau 30 tahun lalu.
Fenomena ini hampir sama dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan 1960-an. Saat itu kaum Hippies yang didominasi anak muda merasa muak dan menyuarakan protes atas terjadinya Perang Vietnam. Mereka mencari jati diri dengan belajar meditasi. Salah satunya dipopulerkan oleh Maharishi Mahesh Yogi, guru spiritual asal India yang juga merupakan panutan kelompok musik The Beatles.
Jika kaum Hippies mendalami spiritualitas untuk mencari jati diri dan menyuarakan protes terhadap perang, di Bali orang-orang yang “Ngiring” mungkin saja mengalami hal sama, pencarian jati diri dan sebuah pemberontakan kultural.
Ini menandakan runtuhnya sebuah hegemoni.
Orang Bali kini mempunyai hak yang sama untuk belajar agama dan mengekspresikan minat mereka akan spiritualitas. Hal yang bagus asalkan tidak merupakan sebuah eskapisme, pelarian. Lari dari masalah dan kenyataan hidup yang dihadapi lalu mendapat pembenar dan larut dalam kelompok yang diikuti.
Di sisi lain, masalah tetap ada dan bahkan semakin pelik. Tentunya semoga bukan ini yang terjadi.
Fenomena “Ngiring” hendaknya disikapi dengan arif dan bijaksana. Semakin banyak orang Bali mencintai dan mendalami ajaran agama tentu makin bagus. Kesadaran akan keseimbangan hidup dimaknai dengan laku spiritual yang diterjemahkan dengan sikap hidup yang penuh kedamaian, cinta kasih dan empati. [b]