Oleh Anton Muhajir
Ramadhan sudah berjalan seminggu lebih. Saya jadi ingat tulisan tentang Ramadhan di Desa Pegayaman, Bali. Tulisan ini dimuat majalah GATRA edisi khusus Lebaran tahun lalu. Tidak ada perubahan selain umur dan kelas Azmi. Saya yakin tidak akan banyak berbeda kondisi saat ini dengan kondisi setahun lalu. Jadi ya saya posting lagi di sini. Sekadar gambaran bagaimana Ramadhan di Bali.
—
Malam jadi siang saat Ramadhan di Pegayaman Bali. Tarawih mulai pukul 10 malam. Maulid Nabi jadi hari raya favorit. Ada tahapan seperti umat Hindu Bali.
Ramadhan bagi Azmi bukan hanya bulan untuk berpuasa. Bocah bernama lengkap Nengah Ikhwanul Azmi, 11 tahun, itu juga seperti membalik hari. “Kalau malam jadi kayak siang,” kata murid kelas V SD 3 Pegayaman, Buleleng, Bali tersebut. Biasanya dia sudah terlelap pukul sembilan malam. Tapi tidak pada saat Ramadhan, termasuk kali ini.
Selesai berbuka dan sholat Maghrib, anak bungsu dari dua bersaudara itu meninggalkan rumah. Dia berkumpul dengan teman-temannya di jalan utama desa. Bersama tiga teman, dia berkeliling dari satu pedagang ke pedagang. Kadang dia beli makanan kecil seperti tempe atau tahu goreng. Namun lebih sering justru dia hanya jalan-jalan. “Yang penting dapat nyenggol,” kata Azmi diikuti derai tawa dua temannya.
Senggolan salah satu ciri khas puasa di desa Pegayaman, kecamatan Sukasada, Buleleng, sekitar 120 km utara Denpasar. Penduduk desa di bagian utara Bali ini hampir semuanya muslim. Padahal Bali terkenal sebagai pusat agama Hindu. Dari sekitar 5001 penduduk Pegayaman, 4460 beragama Islam. Sisanya Hindu. Senggolan adalah istilah untuk pasar mendadak di desa ini saat Ramadhan.
Sejak setelah berbuka, pasar ini akan buka hingga sahur tiba. Lokasinya tak hanya di satu tempat tapi hampir di tiap perempatan desa berhawa sejuk ini. Karena itu hampir seluruh warga bisa menikmati Senggolan yang hanya diadakan saat Ramadhan ini.
Senggolan hanya salah satu bentuk perubahan aktivitas di Pegayaman. Pekerjaan lain pun mengikuti irama Ramadhan. Nengah Panji Islam, 38 tahun, misalnya. Sekretaris desa Pegayaman ini lebih banyak mengerjakan administrasi saat malam. “Kalau siang ya sekadar datang di kantor desa,” katanya. Meski kantor desa buka mengikuti jam kantor biasa, sangat jarang ada warga yang datang. Warga memilih datang ke rumah Panji, sekitar 100 meter dari kantor desa.
Panji, apalagi Azmi, tidak tahu sejak kapan tradisi malam jadi siang itu dilakukan di desa mereka. Sejak lahir, mereka sudah melakukannya begitu saja. “Mungkin sebagai praktik ayat Al-Quran yang mengatakan agar umat Islam menghidupkan malam saat Ramadhan,” kata Ketut Asghor Ali, tokoh agama setempat.
Sepanjang malam saat Ramadhan, kegiatan memang seperti tak berhenti di Pegayaman. Saat Isya’ tiba, ibu-ibu memulai tarawih. Semuanya perempuan. Tak satu pun ada laki-laki di masjid Jami’ Safinatussalam, satu-satunya masjid di desa tersebut. “Bapaknya di rumah. Biar ada yang jaga,” kata Panji. Selesai ibu-ibu tarawih hingga sekitar pukul 10 malam, giliran bapak-bapak yang ke masjid untuk Isya’ dan Tarawih.
Usai tarawih, bapak-bapak melanjutkan tadarusan hingga tiba waktu Sahur. Tiap hari minimal tiga juz, bergantian. Mereka yang tak tadarus di masjid, memilih baca Al-Quran di rumah masing-masing atau di pesantren tak jauh dari rumahnya. Pesantren di desa ini adalah nama lain dari musholla atau langgar. Ada 23 pesantren tersebar di lima dusun di Pegayaman. Tak heran, suara orang mengaji bersahutan saat malam hari hingga Sahur tiba. Tadarus hanya diselingi sholawat setelah sholat serta tarqim menjelang Sahur.
Menurut Asghor, ada kebiasaan unik warga setempat yang kini mulai hilang. Sebelumnya umat Islam setempat saling berkunjung saat tadarusan. Selesai baca satu halaman, mereka pindah ke tempat lain. Pemilik rumah harus menyediakan kue bagi pengunjung. Menurut Guru Ketut, panggilan Asghor, ini penyebab makin sedikitnya orang yang melakukan kebiasaan itu. “Karena malas mengeluarkan uang untuk beli kue mungkin,” ujarnya lalu tertawa.
Banyaknya kegiatan saat malam membuat siang di Pegayaman tak terlalu hidup. Warga lebih banyak beristirahat. Azmi misalnya sepulang sekolah tak pernah main di kebun seperti kebiasaannya. Dia memilih pulang, menuggu Dhuhur lalu tidur hingga menjelang buka. Panji dan Guru Ketut pun demikian. Ketika ditemui menjelang Jumatan awal puasa lalu mata mereka masih sembab karena baru bangun tidur.
Namun, menurut Guru Ketut maupun Panji, kemeriahan malam Ramadhan tetap tak bisa mengalahkan keramaian saat Maulid Nabi, 12 Rabi’ul Awal. Muludan, demikian umat setempat menyebutnya, merupakan hari raya favorit umat Islam Pegayaman. Mereka merayakan Muludan dengan pawai keliling kampung. Ada hadrah, pencak silat, drum band, ogoh-ogoh (patung raksasa), tak ketinggalan sokok (hiasan dari telur atau bunga). Sokok basa terbuat dari bunga sedangkan sokok taluh dari telur.
Sokok, berupa telur atau bunga yang ditusuk bambu dan dihiasi kertas warna menyala, itu diusung keliling kampung kemudian berakhir di masjid. Sampai di masjid ada pembacaan Al-Barzanji, riwayat kelahiran Muhammad. Setelah itu ada khotbah singkat. terakhir, sokok-sokok itu dibagi pada anak-anak yang datang. Saat pembagian sokok bisa seperti saat pembagian apem Gerebegan Suro di Solo atau Yogyakarta. Anak-anak rebutan.
Selain Muludan, umat Islam Pegayaman juga masih melakukan beberapa ritual pada hari tertentu. Antara lain membuat bubur Sura saat Asy-Syura, membersihkan diri pada Rabu teraskhir Safar, membaca Dardali saat Isra’ Mi’raj, dan membaca Yasin saat Sya’ban. Tapi ya itu tadi, tetap tak ada yang mengalahkan kemeriahan Muludan. “Kalau Lebaran tak beli baju baru itu biasa. Tapi kalau Muludan, wajib hukumnya,” kata Panji.
Sebagi desa muslim di Bali, Pegayaman juga melakukan rangkaian upacara ala umat Hindu Bali. Tahapan itu antara lain Penapean, Penyajanan, dan Penampahan. Penapean dilakukan tiga hari menjelang hari raya. Mereka membuat tape dari ketan. Esoknya lanjut Penyajanan, hari membuat jaja (jajan). Biasanya jaja uli yang terbuat dari ketan dan beras. Penampahan, hari memotong hewan, dilakukan sehari tepat menjelang hari raya.
Wajah Bali lainnya di Pegayaman adalah soal nama. Warga setempat biasa menggunakan nama Wayan, Nengah, Komang, dan Ketut. Di Bali, nama-nama itu menunjukkan urutan kelahiran. Demikian pula di Pegayaman. Bedanya nama Bali itu diikuti nama muslim di depannya seperti halnya Ketut Asghor Ali, Nengah Panji Islan, dan Nengah Ikhwanul Azmi itu tadi.
Nama Bali itu sekaligus jadi panggilan mereka sehari-hari. “Karena kami memang orang Bali. Bedanya cuma karena beragam Islam. Itu saja,” ujar Guru Ketut. [b]