Sisi selatan Gunung Agung terdapat sebuah desa kecil yang sangat asri. Desa itu adalah Desa Adat Geriana Kauh yang terletak di Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali.
Di Desa Adat Geriana Kauh terdapat sebuah tarian yaitu Sanghyang Dedari. Tarian Sanghyang Dedari sendiri merupakan sebuah tarian sakral masyarakat Bali yang erat kaitannya dengan tradisi agrikultur Bali. Tari Sanghyang Dedari berfungsi sebagai tarian “bersih desa”. Yaitu suatu ritual yang dapat mengusir musibah dan malapetaka yang menimpa desa.
Sanghyang Dedari ditarikan oleh seorang anak perempuan yang belum pubertas (menstruasi) yang terpilih. Di Desa Adat Geriana Kauh Tari Sanghyang Dedari dilakukan ketika padi sudah mulai berbuah, ritual ini di gelar agar tanaman padi terhindar dari malapetaka dan mengharap hasil panen yang melimpah. Biasanya tarian ini di lakukan setiap satu tahun sekali tepatnya pada bulan April.
Menurut penjelasan dari Rina sebagai penari Sanghyang ia mengatakan bahwa ia tidak merasakan apa-apa dan dia hanya melihat kegelapan. Tidak hanya itu, saat menaiki lilit linting yang terbuat dari sebatang bambu. Namun, Rina tidak melihat itu sebatang bambu melainkan sebuah tangga yang berwarna putih yang tinggi.
Sanghyang Dedari tidak hanya ditarikan di perempatan saja. Namun Sanghyang Dedari juga di tarikan di pura yaitu Pura Pejenengan. Ketika penari berlari menuju pura itu, salah satu penari Sanghyang yaitu Rina, mengatakan, “Saat saya menuju pura Pejenengan saya seperti menginjakkan kaki di aliran air yang deras”. Tidak hanya itu, Rina juga melihat awan yang putih dan langit yang amat biru di dalam pura tersebut.
Dengan keberadaan tari sakral Sanghyang Dedari Desa Adat Geriana Kauh dapat membangun sebuah museum yaitu Museum Giri Amertha. Adanya museum ini yang terletak di bawah Gunung Agung yang jaraknya kurang lebih 9 km dari gunung agung, maka dari itu diambilah nama museum menjadi Museum Giri Amertha yang memiliki arti, Giri artinya gunung sedangkan Amertha artinya kehidupan.
Sejarah berdirinya Museum Giri Amertha awalnya merupakan ide dari seorang peneliti dari Universitas Indonesia (UI) yang bernama Saras Dewi pada tahun 2016 lalu. Ia melakukan penelitian tentang Sanghyang Dedari.
Tak hanya memberikan ide, Saras Dewi juga membantu memfasilitasi untuk pembangunan museum tersebut. Tujuan pembangunan museum itu adalah untuk melestarikan tarian Sanghyang Dedari. Museum Sanghyang Dedari akhirnya diresmikan pada tahun 2019. Seluruh warga desa Geriana Kauh sangat antusias dengan adanya pembangunan museum Giri Amertha.
Sanghyang Dedari tidak hanya ditarikan di perempatan saja, nama Sanghyang juga ditarikan di Pura Pejenengan. Ketika penari berlari menuju Pura Pejenengan salah satu penari Sanghyang yaitu Rina mengatakan saat ia berlari ke Pura Pejenengan. Ia seperti menginjakkan kaki disebuah aliran air yang deras. Tidak hanya itu, Rina juga melihat awan yang putih dan langit yang biru di dalam pura tersebut.
Tarian Sanghyang Dedari sellalu diiringi dengan Gending atau nyanyian. Saat dilaksanakan tarian Sanghyang Dedari para penduduk desa akan melakukan gending Sanghyang Dedari untuk mengiringi tarian para Dedari yang hadir dalam tubuh penari.
Gending Sanghyang Dedari diwariskan secara turun temurun melalui trdisi lisan saat tarian Sanghyang Dedari mulai dilaksanakan kembali pada akhir tahun 1990-an warga desa kesulitan menghafal Gending Sanghyang Dedari karena tidak adanya catatan tertulis.
Untuk melestarikan Gending Sanghyang Dedari warga Geriana Kauh menyadur gending Sanghyang Dedari kedalam lontar dan aksara latin.
situs mahjong