Mpu Jaya Prema Ananda membawa kesegaran dalam penyampaian ajaran-ajaran Hindu saat ini. Melalui akun @mpujayaprema, pendeta Hindu ini memberikan penjelasan atau darma wacana dan menjawab pertanyaan umat tentang Hindu maupun adat Bali melalui Twitter. Belum banyak pendeta Hindu menggunakan social media sebagai alat untuk berdarma wacana.
Sebelum menjadi pendeta, Mpu Jaya Prema Ananda adalah wartawan TEMPO dengan nama Putu Setia. Menurut ajaran Hindu Bali, nama Putu Setia tak boleh dia gunakan lagi setelah menjadi pendeta. Sejak 1975 hingga 2006, Putu Setia bekerja di majalah terkemuka tersebut di Bali, Yogyakarta, kemudian Jakarta. Sebelum di TEMPO, Mpu Jaya Prema pernah bekerja di Bali Post dan Harian Angkatan Bersenjata Edisi Nusa Tenggara.
Bapak dua anak ini juga salah satu pendiri Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) bersama almarhum Gedong Bagoes Oka dan Wayan Sudirta, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Bali. Melalui organisasi ini, Mpu Jaya Prema memperjuangkan kepentingan umat Hindu secara nasional. Kini, melalui social media, Mpu Jaya Prema kini terus menyampaikan ajaran-ajaran Hindu kepada banyak orang dengan bahasa yang lugas dan jelas.
Mpu Jaya Prema sekarang tinggal di tanah kelahirannya, Desa Pujungan, Kecamatan Pupuan, Tabanan, sekitar 80 km di utara Denpasar. Sesekali dia ke Denpasar untuk mengurus media Hindu Raditya. Saat Manis Galungan awal September lalu, saya bersama dua teman dan anak istri teman berkunjung ke rumah Mpu Jaya Prema di Denpasar yang juga kantor Majalah Raditya.
Selama sekitar 2 jam kami ngobrol santai tentang banyak isu, khususnya Bali, Hindu, media, dan jejaring sosial. Berikut obrolan kami ramai-ramai waktu itu.
Kenapa akhirnya berjejaring sosial?
Karena komunikasi saja. Sebelum jadi pandita saya sudah berjejaring sosial. Dulu nama pertama kali Jero Setia ketika masih jadi bawati sebelum jadi pandita. Saya pernah pakai nama Putu Setia PSE, itu kode nama di TEMPO. Orang TEMPO tahu semua itu. Tapi setelah jadi pandita ya bikin akun baru. Padahal nama itu masih ada karena saya tak bisa bunuh Facebook.
Dulu saya pakai www.mpujayaprema.blogspot.com. Kemudian teman di Jakarta bantu untuk bikin mpujayaprema.com. Saya ingin hapus (blog di Blogspot) tapi tidak bisa. Blogspot itu masih dibuka orang makanya saya mau matikan biar yang dot com saja yang dibuka.
Jadi mulai berjejaring sosial sudah sejak lama?
Sudah. Tapi setelah pensiun dari TEMPO sejak 2006, saya umur 55 tahun. Waktu itu belum ada Facebook. Saya masih main di milis, seperti Hindu Dharma. Itu milis luar biasa sampai bisa bikin buku.
Apa yang membuat alat komunikasi ini berbeda?
Kalau milis bisa ngomong sepuasnya dan tidak terganggu karakter. Twitter sebenarnya bagus kalau saya tidak dibatasi oleh posisi sebagai pendeta. Kadang-kadang saya pengen juga bisa nyelutuk seenaknya tapi kan saya bisa dimarahi umat (Hindu). Pendeta itu kan tawanan. Kita menjalani sebagai orang yang ditawan. Ada mobil tapi tidak boleh menyetir. Kalau di Jakarta dulu makannya Hoka-hoka Bento, Pizza Hut. Sekarang tidak boleh jalan-jalan ke mal. Tidak boleh makan binatang berkaki empat, termasuk kambing.
Masih mengamati atau menulis di media?
Tidak. Ceritanya agak panjang. Ketika saya dari orang biasa terus menjadi sulinggih itu kan magang. Saya nulis pakai nama Ida Bawati terus sama Bali Post ditanya kenapa pakai nama itu. Saya bilang karena tidak boleh sama umat. Saya tidak enak, mereka tidak enak. Akhirnya kolom itu dihapus setelah saya menulis sejak tahun 2000 sampai 2006 tiap minggu. (Menulis di Bali Post) itu prestasi luar biasa. Tidak pernah putus. Kalau sekarang di Koran Tempo kan terputus kalau, misalnya, sakit. Pas nulis di Bali Post setiap Sabtu malah tidak pernah sakit padahal tinggal di Jakarta.
Sebagai sulinggih apa saja yang tak boleh dikomentari?
Boleh komentar apa saja asal kata-katanya sopan.
Bagaimana proses untuk menjadi pandita?
Ada banyak jenis pemangku. Kalau pemangku mengempon pura itu biasanya keturunan atau dipilih warga. Kalau saya pemangku sebagai proses menjadi pendeta. Saya tidak mengemong pura. Pemangku yang mau melanjutkan menjadi pendeta harus mencari nabe (guru). Kalau diterima maka belajar dengan beliau tentang kepribadian, ilmu agama, dan segala macam.
Kadang-kadang ada yang ikut pasraman (semacam pesantren di Jawa). Ada pula yang hanya di griya (rumah pandita). Tapi tidak semua nabe punya pasraman. Kalau nabe saya punya pasraman jadi bisa kumpul dengan beberapa orang meskipun tidak formal seperti pesantren. Setelah dianggap cukup bagus, maka pemangku menjadi bawati setingkat di atas pemangku. Ada upacara seda raga da mati sebelum menjadi pendeta. Setelah itu mulai ada batasan-batasan, seperti tak boleh pakai celana panjang, ke mal, dan semacamnya. Aturan ini menurut Parisadha Hindu Darma Indonesia (PHDI). Banyak aturan tapi per kategori umum. Misalnya pendeta harus bisa menjadi guru untuk umat, yang berarti bisa menjawab kalau ditanya dan memberi contoh baik. Berusaha mengekang segala nafsu itu penjabarannya kan tidak boleh ke mal, hura-hura, dan seterusnya.
Ketika jadi sulinggih (nama lain dari pendeta), nama harus diganti pakai sertifikat tertulis. Ada yang ditempel di dinding agar orang yang berkunjung bisa tahu. Kalau saya kan simpan saja. Yang mengesahkan sertifikat Parisada dan ikatan-ikatan klan. Pendeta itu kan macam-macam di Bali tergantung sorohnya. Pendeta itu nama generik. Kalau gelarnya menurut soroh masing-masing. Kalau di soroh Ida Bagus, namanya pedanda. Kalau di Pasek pakai Pandita Mpu. Kalau Bujangga pakai istilah Rsi. Kalau dari Dalem pakai Begawan. Padahal itu semua sama level dan pendidikannya.
Tiap soroh punya istilah masing-masing?
Iya. Tapi setelah jadi pendeta, disarankan oleh parisada, tak boleh membeda-bedakan umat. Meskipun saya Pasek, saya tak boleh menolak Ida Bagus. Orang dari soroh Pasek biasa minta ke pedanda karena jumlah pedanda memang banyak. Dari 1.295 pendeta di Bali, jumlah mpu pandita hanya ada 138 sedangkan pedanda 500an lebih.
Kalau nabe semacam apa?
Itu orang yang sudah pandita. Setelah tiga tahun sebagai pendeta dinggap punya rekam jejak yang baik, maka dia bisa jadi nabe. Saya juga sudah jadi nabe sehingga boleh mengangkat anak (murid). Dia masih bertugas sebagai pedanda tapi ada tambahan tanggung jawab.
Tapi itu kan di Bali. Kalau di luar Bali sebutannya apa?
Macam-macam, tergantung daerahnya. Di Banyuwangi ada yang pakai istilah pandita mpu. Yang ada di Karangrejo, dia pakai Romo Agung. Jadi tergantung maunya. Tapi kebanyakan ada pandita agar berbeda dengan Romo di Jawa.
Ketika jadi pendeta itu tertarik atau ditarik?
Itu karena macam-macam. Ada yang karena panggilan oleh Di Atas, ada yang kepingin saja. Kalau saya karena tuntutan keluarga. Bapak saya dulu harusnya jadi pemangku tapi menolak karena dia suka judi. Karena itu konon keluarga kami dikutuk oleh Betara Kawitan sehingga hidup kami morat-marit. Saya waktu kecil melarat sekali. Jadi loper koran, tukang listrik, dan macam-macam.
Tiap kali ada bencana di desa atau saat odalan, orang-orang di kampung saya akan bilang bahwa itu terjadi karena keluarga saya tidak mau jadi pemangku. Terus ketika saya ditanya mau apa tidak jadi pemangku, ya sudah saya jawab saja saya mau. Setelah saya mau kok ya kehidupan kami membaik. Saya mau itu setelah tersiksa dengan kemiskinan segala macam. Maunya itu pada tingkat pemangku saja, bukan pendeta. Setelah saya bilang mau kok rasanya ekonomi lebih bagus.
Terus kok bisa jadi wartawan?
Sejak SMP saya sudah menulis cerpen dan puisi di Bali Post. Ketika sekolah di STM, saya juga menulis di Bali Post. Saya punya guru di STM yang tidak bisa mengajar. Setiap mengajar, kerjanya hanya membaca terus murid disuruh menulis. Saya pura-pura menulis padahal saya menulis cerpen. Hahaha..
Saya juga membentuk kesenian drama gong. Pemain putrinya siswa sekolah lain. Dari sana saya rajin membikin puisi dan kenal sama orang Bali Post. Saya bergaul dan belajar menulis berita. Kemudian saya jadi wartawan justru di koran Angkatan Bersenjata Edisi Nusra. Saya belajar nulis di Bali Post dicoret-coret sama editor karena dianggap jelek. Tapi saya bawa ke koran Angkatan Bersenjata ternyata dimuat utuh. Akhirnya saya pindah apalagi di Bali Post juga tidak ada ikatan apa pun.
Keluar dari Angkatan Bersenjata Nusra saya sempat bekerja di Bali Post lagi. Oleh Bali Post saya dikirim ke Jakarta mengikuti program pelatihan jurnalistik LP3ES, organisasi yang menerbitkan majalah Prisma. Selama tiga bulan di sana saya magang sebulan di TEMPO. Begitu pulang ke Bali saya disuruh jadi koresponden di Bali sejak 1975 sambil kerja di Bali Post.
Bagaimana membandingkan kualitas media saat itu dengan sekarang?
Dari semangat kerja lebih gesit. Karena ada tantangan. Karena tidak ada telepon harus ke lapangan. Kalau sekarang kan tinggal telepon saja meskipun belum tentu benar. Sekarang wartawan dimanja. Lagipula sekarang antar wartawan kan tidak ada persaingan. Kalau dulu ketat sekali. Wartawan TEMPO tidak boleh bertanya di jumpa pers agar tidak diketahui media lain. Kalau sekarang kan tidak karena ada televisi dan online sehingga ingin cepat-cepat.
Itu terjadi di Bali juga?
Di mana-mana. Kasus Bali Post versus Pastika kan karena wartawannya tidak di lapangan.
Bagaimana Mpu melihat kasus Bali Post vs Pastika?
Makanya saya sudah hampir setahun tidak baca Bali Post dan saya anjurkan teman-teman tidak baca Bali Post. Ada sebagian yang masih baca tapi banyak yang sudah meninggalkan Bali Post.
Alasannya apa?Pertama sebagai sanksi, kedua membodoh-bodohi. Ketiga memalukan. Contohnya ada orang yang setiap hari punya uang Rp 1,5 juta maka bisa masuk koran. Itu untuk membayar advertensi yang berkedok berita. Jadi dengan uang katakanlah Rp 40 juta per bulan orang bisa menobatkan diri sebagai raja di koran atau jadi pengamat atau jadi apa saja, meskipun orang mulai tahu. Pertama sebagai sanksi, kedua membodoh-bodohi. Ketiga memalukan. Contohnya ada orang yang setiap hari punya uang Rp 1,5 juta maka bisa masuk koran. Itu untuk membayar advertensi yang berkedok berita. Jadi dengan uang katakanlah Rp 40 juta per bulan orang bisa menobatkan diri sebagai raja di koran atau jadi pengamat atau jadi apa saja, meskipun orang mulai tahu.
Mpu juga mendirikan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia?
Saya mendirikan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia bersama Bu Gedong (Bagoes Oka) dan Wayan Sudirta. Kami lebih banyak berjuang di pusat, mewakili umat Hindu Nusantara, tak hanya Bali. Misalnya kami memperjuangkan agar umat Hindu diperbolehkan beribadah di Candi Prambanan (Yogyakarta) karena status Prambanan sebagai cagar budaya. Setelah itu umat Hindu boleh sembahyang di sana.
Apakah para Mpu bisa terlibat mengawasi kebijakan di Bali?
Bisa saja karena sering diundang Gubernur Bali. Susahnya kan banyak orang belum tentu bisa menerima perubahan radikal. Penyederhanaan beragama itu harus disesuaikan dengan keadaan. Misalnya, di di Buleleng sekarang mau dikembangkan agar orang ngaben langsung diusung saja tanpa wadah (keranda). Itu kan lebih utama. Kalau tanpa wadah kan juga lebih seram. Buat apa bikin besar-besar untuk kemudian juga dibakar. Kalau di Puri Ubud layak besar-besar begitu karena dijual untuk pariwisata.
Berarti beragama bisa dibuat sederhana?
Oh sangat sederhana. Kalau saya sembahyang pagi tidak pernah bikin banten. Ada bunga itu sudah persembahyangan paling komplit.
Itu salah satu yang Mpu kampanyekan?
Iya. Sebenarnya Hindu jauh lebih sederhana dibandingkan agama lain. Cuma banyak orang suka repot-repot.
Sulinggih itu ada yang jadi sulinggih untuk bisnis. Ciri-cirinya dia menjual banten. Kalau di tempat saya tak boleh jual banten. Biasanya kami suruh dia sendiri untuk bikin. Kalau tetap tidak bisa, kami sarankan untuk membeli di tempat lain.
Kalau sulinggih tidak membuat banten itu ada aturannya?
Itu etika saja. Pendeta kan tidak boleh berbisnis. Lha kalau kita menjual banten bagaimana pun juga akhirnya ya bisnis. Pasti kita hitung-hitung berapa harga kelapa, telur, janur, dan seterusnya. Itu sudah berpikir bisnis. Tapi ya banyak juga pendeta yang memberikan harga untuk bantennya.
Kalau memuput itu mendapat honor?
Iya. Tapi itu tergantung yang memberi. Kadang malah sampai rugi untuk biaya perjalanan. Tapi mungkin di tempat lain bisa dapat lebih. Kita tak boleh meminta. Terserah kemampuan umat. Ada yang menganggap Rp 50.000 sudah banyak karena dibandingkan dengan upah buruh.
Ada kesan darma wacana oleh pendeta tidak terlalu menarik seperti agama lain?
Karena pendeta memang tidak dididik untuk ngomong di tempat lain. Parahnya lagi kalau mau masuk koran harus bayar. Itu kan lucu. Ustad masuk TV itu dibayar, tapi pendeta harus bayar biar masuk televisi di Bali.
Sekarang menggunakan Twitter itu bagian dari darma wacana?
Iya. Untuk pencerahan kan dianjurkan untuk menggunakan semua media yang ada. Kalau tak bisa di TV ya di media lain, seperti Facebook dan Twitter. Kalau di Twitter malas karena harus cari pengikut dan dibatasi jumlah karakter.
Saya tak bisa ngawur-ngawur karena pakai nama Mpu. Kalau terlalu sering menjawab juga nanti dibilang cerewet. Makanya saya tak jawab pertanyaan-pertanyaan yang umum sekali.
Apa positifnya dharma wacana di Twitter?
Ada semacam kepuasan karena ternyata hal-hal elementer pun banyak yang belum tahu. Kadang merasa tersentuh ketika ada respon terhadap twit saya. Saya puas. Ternyata ada yang mengikuti. [b]
Astungkara …. Mpu Jaya Prema Ananda menjadi ‘agent of change’ ……. ?!
Sebelum newata, Ida Pedanda Gede Oka Punia Atmaja Pidada (saat walaka Drs Ida Bagus Oka Punia Atmaja) berupaya melakukan perubahan, namun sepertinya pada masa itu, beliau “tersisihkan”.
Seiring dengan semakin komplek nya ‘kehidupan ekonomi’, mudah-mudahan pula dengan 1.294 pendeta lainnya, semakin banyak yang menjadi ‘agent of change’ ….
salut dengan Mpu Jaya Prema…Cocok nih dengan style anak muda yg haus akan Hindu
Terimakasih… Saya salut. Selain Dharma Wacana lewat SocMed, giatkanlah aktivitas2 nyata untuk membantu krama2 Hindu atau krama2 yang berlandaskan Hindu sehingga tidak didahului oleh para pendakwah & misionaris, sehingga meninggalkan Hindu karena Hindu tidak bisa berkompetisi. Tuntunlah kami semua termasuk para atheis namun percaya berbuat baik akan berdampak baik pula. Sangat disayangkan jika semua hal2 yang baik dari Hindu di klaim di sana sini…
Terimakasih… saya salut sekali.
Selain Dharma Wacana lewat SocMed, saya pikir perlu digiatkan aktivitas2 nyata untuk membantu umat / krama2 Hindu atau krama2 yang berlandaskan Hindu sehingga tidak didahului oleh para pendakwah & misionaris, sehingga meninggalkan Hindu karena Hindu tidak bisa berkompetisi (Takut menjadi Murtad, tapi sangat banyak yang memuji dikala menjadi Mualaf).
Tuntunlah kami semua termasuk para atheis namun percaya berbuat baik akan berdampak baik pula. Sangat disayangkan jika semua hal2 yang baik dari Hindu di klaim di sana sini…
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om
untuk menjadi seorang sulinggih apa harus diawali dri mnjdi seorang pemangku, bawati dlu, atau ap langsung bleh mnelaksanakan pe dwijatian…..mohn ptunjuk idha mpu
swastiasu rahajeng semeng mpu jaya prema ananda,
untuk proses mesedek umat hindu apa bisa di tolak apa tidak menurut ajaran hindu?????
suksema,
om shanti,shanti,shanti,om