“Ada rasa melankolia secara kolektif di antara kita,” kata Cusson Cheng.
Chen, yang berasal dari Hong Kong, salah satu partisipan Emerging Arts Professionals Workshop di Para Site, Hong Kong. Pernyataan itu dia sampaikan saat mempresentasikan proposal pamerannya yang tidak sengaja masih relevan dengan keadaan Hong Kong awal bulan Oktober tahun 2019 itu.
Baru saja memasuki hari ketiga di kota ini rasanya perbincangan demonstrasi yang dikenal telah berbulan-bulan berlanjut itu tidak akan berhenti.
Rasa cemas memang ada terutama saat sampai di negara itu tiga hari sebelumnya pada hari Minggu. Hong Kong yang saya kenal dulu, karena sempat tinggal beberapa tahun di sini, selalu ramai. Riuh. Tidak ada kesepian di antara jalan untuk kendaraan bermotor maupun pejalan kaki.
Namun, Minggu itu beda. Para keluarga maupun teman yang ingin menjemput tidak diizinkan masuk sampai di dalam bandara. Kafe-kafe di dalam seakan tidak ada yang bisa menikmati sambil menunggu yang di jemput. Semua dibatasi gerak-geriknya seakan kejadian terorisme baru saja terjadi.
Umbrella Movement
Pembatasan itu terjadi karena bandara Chep Lap Kok sempat diduduki para demonstran. Di hari Minggu itu demonstrasi berpusat di bagian kota yang vital, Victoria Park. Di tempat yang saya sempat tulis sebagai tempat nongkrongnya para tenaga kerja wanita Indonesia di hari Minggu.
Saat perjalanan ke kota dari bandara, bisa dirasakan keadaan kota yang hening di jalanan dan di pinggir lautnya. Akses utama jalan untuk ke kota pun ditutup. Jadi, kita harus memutar jauh untuk masuk ke dalamnya.
Saat mendekati pusat kota itu, terlihat sudah penduduk lokal berpakaian hitam-hitam, memakai masker, membawa payung. Umbrella movement sangatlah menginspirasi dan siasat yang selalu dibawa oleh para demonstran tersebut. Masker tidaklah untuk melindunginya dari gas air mata ataupun asap yang mendatangi dirinya saja, tetapi identitas mukanya juga.
Saat kita berhasil memasuki pusat kota, terlihat mobil-mobil polisi berjejer di pinggir jalan. Pedestrian dipenuhi para demonstran berjalan menuju Victoria Park. Semua toko tutup, bahkan Seven Eleven yang terkenal menjadi mini supermarket 24 jam pun tutup.
Keesokan harinya, Senin merupakan tanggal merah. Ada hari libur ekstra setelah porak poranda kemarin. Keadaan terasa lebih kondusif, saya pun langsung bergegas berbelanja keperluan karena dikatakan akan tutup lebih awal. Di sekitar masih banyak peninggalan amukan kemarin. Grafiti ada di mana-mana: tembok, jembatan, zebra cross. Begitu juga dengan stiker-stiker dari para demonstran. Pagar-pagar pembatas trotoar dan jalan raya banyak yang copot dan diganti dengan tali plastik. Tali-tali itu pun telah putus.
Melankolia Kolektif
Lalu saya mencoba rute ke tempat workshop menggunakan transportasi termurah di sana yaitu tram (kereta listrik satu jalan dengan jalan raya). Saat naik, sepertinya saya dikerumuni ibu-ibu Indonesia. Waktu ada tempat duduk, mereka pun menawarkan menggunakan bahasa Indonesia ke saya.
Saya mendengar perjalanan mereka kemarin di hari Minggu yang harusnya hari libur mereka. Mereka stuck tiga jam dalam perjalanan, tidak bisa menelusuri kota dengan tenang, dan seterusnya. Terlihat stasiun-stasiun MTR (kereta bawah tanah) ditutup. Beberapa terlihat porak poranda.
Saat malam hari akan makan malam dengan seorang teman, kota itu masih sepi sekali. , bahkan beberapa restoran pun tetap tutup. Sungguh kota yang dinamis ini berasa mati.
Kata-kata, “Ada rasa melankolia secara kolektif di antara kita,” sepertinya tidak bohong. Keadaan itu benar apa adanya dan kata-kata partisipan itu hanya awal dari konfirmasi-konfirmasi selanjutnya.
Keadaan Hong Kong yang begitu bergejolak tidak jauh dari workshop kesenian yang saya ikuti selama sembilan hari selanjutnya. Institusi besar seperti museum, bahkan di universitas, dan di komunitas – perbincangan, karya visual, poster-poster, grafiti terhadap keadaannya semua dapat ditemukan.
Melankolia yang berkepanjangan itu bahkan terasa untuk saya yang hanya berkunjung beberapa hari saja. Akankah ada akhir dari melankolia itu? [b]