Ada yang lebih padat di setiap rumah tangga di Bali hari ini. Terutama para perempuan yang sedang berjibaku dengan janur dan pisau. Persiapan menjelang hari raya Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Ada lebih banyak tetuesan yang digunakan sarana upacara hari raya Kuningan ini.
Tak dipungkiri banyak perlengkapan yang diperlukan untuk memenuhi sarana ini. Perlengkapan itu sekaligus menjadi naik harga di pasaran. Sehingga seringkali dicap Bali memiliki upakara yang mahal.
Dalam buku Reformasi Adat Bali, menyebutkan upakara merupakan tradisi peninggalan leluhur yang harus dilestarikan. Di satu sisi, tradisi yang dimaksud memiliki pengertian bahwa itu adalah ciptaan manusia untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun agama sesuai dengan keadaan pada masa itu. Sehingga jika dipahami lebih dalam, tradisi memiliki sifat yang dinamis mengikuti keadaan saat ini. Namun acapkali, justru tradisi menjadi pameran dan ajang gengsi.
Jika fenomena bias itu lalu lalang terlihat ketika persiapan upakara di Bali, ada sudut pandang berbeda yang dilakukan ketika persiapan upakara oleh umat Hindu di Jerman.
Aryani seorang umat Hindu yang sudah tinggal sekitar 30 tahun di Jerman memaknai upakara hindu dengan sederhana. Tinggal di daerah yang tak lazim dengan persiapan upacara seperti persiapan kuningan, tidak menghalangi merayakan hari raya Kuningan atau hari raya lainnya. Kondisinya yang tak banyak pilihan, mendorong Aryani untuk mensiasati keadaan.
“Seperti menjelang hari raya Kuningan saat ini, yang bisa saya lakukan paling membuat Sodaan, segehan dan canang, trus buat daksina, itu aja bisanya. Apapun upacaranya, upakara yang saya buat paling sederhana sekali,” katanya dihubungi melalui telpon.
Kegiatan persiapan upacara seperti mejejahitan, metanding dan sebagainya adalah bagian dari Karma Yoga. Melalui meditasi sudah melakukan kegiatan spiritual. Mulai dari mencari busung (janur) yang cantik, memetik bunga, metetuesan dan selanjutnya semua indra kita ditujukan kepada upacara yang kita rayakan.
Jika di Bali biasanya menggunakan bahan janur sebagai dasar membuat segala upakara, maka Aryani menggunakan bahan-bahan yang ditemui di tempat tinggalnya. “Kalau buat segehan di sini nggak usah pakai daun pisang, saya pakai daun-daun apa yang ada di sini. Saya juga membuat sampyan dari dedaunan yang ada di sini,” katanya.
Ia menjelaskan, kalau kita sudah memahami apa itu yadnya, kita tidak perlu mencari janur impor. Membuat upakara itu adalah melihat situasi dimana kita hidup, berhubungan dengan alam.
Sebagai perempuan Bali di perantauan, Aryani berusaha sebisa mungkin untuk menjalankan kegiatan agama melalui upacara seperti tradisi yang diturunkan lewat contoh dan pengalaman yang dialami di Bali. Sesuai dengan kondisi alam dan sosial di mana tempat tinggalnya sekarang.
Upakara yang dipakai jauh lebih sederhana dari pada di Bali. Membuat Canang, segehan, Pesucian, Daksina dan Soda itu saja sesuai pengetahuan saya dalam bidang Upakara.
“Kalau musim gugur, dedaunan yang merah agak oranye begitu bantennya di sini, kalau musim sekarang menggunakan dedaunan apa yang tumbuh, kalau sudah musim dingin, nggak ada daun, baru saya membeli bunga untuk sembahyang. Buah-buahan yang dipakai juga sebisanya hasil alam yang ada di sekitar. Saya tidak pernah berusaha impor atau nyari dari bali, sehingga apa yang ada itu yang dipakai,” ceritanya.
Walau bentuknya tidak persis sama, makna dan intensinya serupa. Dalam setiap upacara di rumah, Aryani selalu tambahkan dengan tari tarian, kekidungan dan musik. Dari Gamelan sampai ke musik barat. “Karena dari kecil bidang itulah yang saya dalami, dan lewat itu juga saya memuja semesta, lewat tubuh dan rasa,” urainya.
Tak jarang ketika Aryani merayakan hari raya hindu di Jerman, teman-temannya turut sembahyang. Ia mengenalkan mantram yang biasa digunakan di Bali, kemudian diterjemahkan secara umum dalam bahasa Jerman. “Sehingga mereka mengerti apa yang sebenarnya kita ucapkan,” imbuhnya.
Menjalankan sebuah tradisi upacara sering kali kita terbelenggu dalam tatanan pakem/standar. Tapi lupa maknanya kenapa.
Padahal, kita sedang mempraktekan tri hita karana di dalamnya. Berhubungan dengan alam, karena semua sarana upacara datangnya dari alam. Berhubungan dengan sesama manusia karena kita bekerja sama satu sama lain. “Yang satu metetuwesan, yang lain mejejaitan dan yang di dapur memasak bagian dari Upakara,” jelas Aryani. Hubungan dengan Tuhan yang maha kuasa karena tujuan Upacara adalah pemujaan kita terhadap Ida Sang Hyang Widhi.
Kadang hari raya Aryani lewati sekeluarga dengan sederhana. Seperti menghabiskan waktu seharian di hutan atau pergi melukat di sebuah sungai atau danau sambil membawa bunga dan sarana sembahyang.
Terkadang juga melalui Nyepi dengan Mona Brata atau brata lainnya. Selain memiliki Padmasari di rumah, seringkali alam menjadi Pura, tempat Aryani sembahyang. “Pura lainnya adalah tempat sumber air, hutan, danau atau sungai.”
Sebelum pandemi nyama braya Bali Aryani di Jerman sering mengadakan pertemuan. Biasanya di Pura Tri Hita Karana di Berlin, atau Pura Sangga Buana di Hamburg. Bahkan di Pura Santi Agung Bhuwana di Belgia. Namun, Nyepi tahun lalu ia adakan dengan pertemuan Zoom untuk merayakan bersama secara virtual.
Teman-teman Bali juga sering kali secara privat mengumpulkan nyama Bali lainnya untuk berkumpul. Kemudian melakukan persembahyangan bersama di rumah mereka secara bergantian.
“Kami di Eropa mungkin tidak bisa mewarisi semua rasa Bali yang kami miliki kepada anak anak keturunan di sini, tetapi kami berusaha tetap bisa memberikan mereka prinsip Agama Bali dan mempraktikannya sendiri dengan cara mereka,” katanya.
Melalui Panca Sembah, Pemujaan leluhur, berterimakasih dengan melakukan banten saiban setiap hari, mendengarkan dan membaca Philosophie Hindu melalui buku dan cerita lisan. Sisanya adalah pengalaman ketika berada di Bali.
Salah satu hal yang Aryani ajarkan kepada anak-anaknya adalah selalu meminta izin ketika kita memasuki wilayah alami, seperti sumber air, hutan, laut, atau danau. Juga ketika pergi mengucapkan terima kasih dan minta maaf kalau ada kesalahan yang tidak disengaja. Hal lain seperti menepuk bantal untuk mengajak dirinya pulang ketika menginap di tempat lain. Seringkali tradisi ini ia turunkan dan menjadi hal yang istimewa bagi teman-teman mereka ketika ditanya mengapa melakukan hal itu.
“Ketika persiapan upacara di Jerman seperti saat ini menjelang hari raya Kuningan, kami berkumpul, rasanya sama seperti di Bali. Saling bantu, saling memenuhi dan penuh keceriaan persaudaraan. Apalagi karena jarang terjadi, sangat terharu rasanya mendengar suara nektek base untuk lawar atau mencium bau Bumbu Rajang sambil minum Kopi dan mendengarkan Tabuh lelambatan lewat Internet,” ia terharu.
Tidak penting besar dan kecilnya upacara yang ia lakukan. Tapi persiapannya selalu penuh makna. Karena pada akhirnya yang menentukan rasa beryadnya itu adalah intensi, dedikasi dan ketulusan hati yang diberikan pada hal-hal yang kita lakukan untuk Yadnya itu sendiri.