Suasana Indus Restaurant saat itu terlihat sibuk. Di lobi, beberapa orang sedang membongkar kardus dan mengeluarkan buku dari dalamnya. Sementara yang lain menata buku-buku tersebut di atas meja agar elok dan tersusun rapi. Namun saya tak sempat menaruh pandangan lebih lama pada buku-buku itu sebab sadar telah terlambat akibat kendaraan yang sempat mogok dalam perjalanan.
Beberapa kursi di barisan belakang terlihat sudah terisi ketika saya baru saja sampai di area konferensi pers Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) pada Rabu, 26 Oktober lalu. Syukurnya, acara belum dimulai. Saya bergegas mengisi daftar hadir lalu segera menempati kursi yang belum terisi.
Tahun ini, UWRF kembali hadir untuk ke-19 kalinya. UWRF menyatukan talenta sastra terbaik dari segi lokal maupun internasional untuk program di tahun 2022, juga berperan sebagai pilar untuk beragam diskusi dan pertukaran budaya yang dinamis.
Festival sastra terbesar di Asia Tenggara ini menjadi tuan rumah untuk lebih dari 200 live events. Panelis-panelis ternama yang ikut bergabung meliputi Carla Power, Tim Baker, Audrey Magee, Sequoia Nagematsu, Kylie Moore-Gilbert dan Osman Yousefzada. UWRF22 juga turut menyambut susunan penulis dan seniman Indonesia, termasuk penulis dan jurnalis Putu Oka Sukanta, sutradara film Kamila Andini, penulis novel Ahmad Fuadi dan musisi Rara Sekar.
Dr. Drs I Ketut Suardana,M.Fil.H, Ketua Yayasan Mudra Swari Saraswati, menjelaskan, “Sudah lebih dari tiga tahun sejak saya membuka festival ini di dalam suasana yang baik. Saya sangat bahagia para komunitas penulis dan pembaca akhirnya bisa berkumpul kembali di Ubud dan bersuka ria dalam buku dan cerita dan ide-ide di bawah tema Uniting Humanity, yang banyak mencerminkan semangat dari festival ini sendiri. Festival ini merupakan acara yang mempersatukan umat manusia yang sangat beragam.”
Festival ini menawarkan berbagai panel diskusi yang mencermikan tema tahun ini dan mengangkat suara-suara yang dipengaruhi oleh tindakan penganiayaan, konflik dan pelanggaran hak asasi manusia. UWRF22 juga akan menyorot beberapa topik, seperti The War in Ukraine, sebuah diskusi bersama penulis asal Ukrania Oksana Maksymchwk dan Maz Rosochinsky dan juga Uniting Humanity: Poetry of Peace, sebuah malam yang diisi dengan pengucapan kata-kata, dongeng dan hikmah dalam berdoa untuk kedamaian.
Janet DeNeefe, Festival Director dan Founder menjelaskan, “Kami tidak bisa mengabaikan invasi Ukraina karena dampak globalnya yang sangat luas. Ide untuk Poetry of Peace, menggabungkan penulis dan seniman bersama, mencerminkan bagaimana festival ini selalu beroperasi,” lalu menambahkan, “kami suka melampaui ekspektasi dengan adanya beragam program yang bertujuan untuk memberikan sarana informasi dan juga menyenangkan hati para pengunjung”
Sebagai bagian dari edisi ke-19, festival ini juga akan mempersembahkan event-event yang mencakup banyak aspek kultur dan perspektif untuk mewujudkan pengertian yang lebih mendalam dan juga rasa hormat terhadap satu sama lain. Hal ini termasuk diskusi langsung dengan aktivis asal Inggris dan seniman interdisipliner Osman Yousefzada, yang akan menceritakan isi dari buku pertamanya mengenai trauma yang diciptakan dari pengalaman migrasi, rasisme dan kemiskinan di Inggris selama beberapa dekade terakhir ini.
Jurnalis dan novelis asal Papua, Aprila Wayar juga turut berperan dalam program utama di tahun ini untuk mendiskusikan mengenai taktik kreatif yang telah ia kembangkan sebagai sarana untuk perubahan di seluruh tanah air. “Saya akan menyuarakan tentang kemanusiaan,” jawabnya tegas ketika ditanya nilai-nilai apa yang diharapkan bisa tersampaikan melalui festival ini. “Saya menggunakan kemampuan saya sebagai jurnalis untuk menuliskan tentang Papua melalui novel ketika akses informasinya terbatas di media,” pungkasnya.
Program festival akan dilanjutkan dengan diskusi bersama penulis asal Australia Tim Baker tentang bagaimana menulis bisa menjadi obat dan membantu kita untuk hidup, hubungan dan diri sendiri lebih bermakna saat bertemu dengan trauma. Mengenai buku barunya Patting the Shark, di mana ia berjuang melawan diagnosa kanker prostrat stadium 4, ia menjelaskan, “Saya merasa Bali dan Ubud khususnya merupakan tempat yang sempurna untuk membicarakan mengenai menulis sebagai obat karena pengalaman saya di sini menyembuhkan saya. Salah satu alasan saya sangat bersemangat untuk datang ke Ubud dan mendiskusikan buka saya adalah karena Bali mengerti kesehatan, pemikiran, badan dan jiwa holistik, jadi saya merasa berada di lingkungan yang sangat mendukung pembicaraan yang terkadang terasa peka dan sensitif.”
Acara di luar program utama juga menjanjikan inspirasi yang luas. Akan ada sesi-sesi puisi, literary lunches, long table dinners, jalan-jalan di persawahan dan desa, peluncuran buku, pesta cocktail, dan pertunjukan musik. Rara Sekar, talenta musik Indonesia yang kini aktif dalam proyek solo bernama hara, tampil di kebun permakultur Mana Earthly Paradise.
Musisi yang pernah tergabung dalam duo Banda Neira ini mengaku berupaya untuk selalu merawat hubungan diri dengan diri, diri dengan masyarakat, dan diri dengan alam melalui kesadaran yang kritis dan reflektif di mana pun ia berkarya. Rara juga menyampaikan bahwa dirinya sangat antusias menjadi bagian dari UWRF setelah menanti kesempatan ini cukup lama. Sehingga ia sangat ingin membagi perspektifnya tentang bagaimana musik dan aktivisme dapat berkontibusi dalam mewujudkan sebuah ruang aman. Ruang aman untuk mendiskusikan isu politik, sosial, lingkungan maupun isu-isu sensitif lainnya (yang mungkin biasanya hanya menjadi celetukan di media sosial) tanpa takut mendapatkan tindakan represif. “Melalui musik dan karya, diskusi juga obrolan, aktivitas kebun dan permakultur, saya berharap bisa membicarakan itu lebih lanjut,” tutupnya.