Dua hari raya berbeda di Bali datang hampir bersamaan tahun ini.
Hari Raya Galungan, perayaan kemenangan kebaikan (dharma) terhadap kejahatan (adharma), umat Hindu datang Rabu dua hari lalu. Adapun Idul Fitri, hari raya umat Islam setelah Ramadhan, dilaksanakan Jumat ini.
Keduanya hanya berselang dua hari. Tak hanya secara waktu, kedekatan dua hari raya ini sekaligus menjadi momentum untuk saling menghormati antara umat beragama Hindu dan Islam di Bali. Keduanya memang memiliki sejarah panjang berdampingan di Pulau Dewata.
Di tingkat akar rumput, ada beberapa praktik yang menunjukkan betapa akrab sesama penganut Hindu dan Islam di Bali maupun dengan agama lainnya. Salah satu tradisi yang terjaga adalah ngejot.
Ngejot berupa tradisi memberikan makanan menjelang hari raya. Penganut agama yang akan merayakan hari rayanya mengantar aneka rupa menu khas Bali baik berupa camilan ataupun makanan berat.
Begitu pula kami sekeluarga yang akan merayakan Idul Fitri.
Pertengahan Ramadhan lalu, kami sudah mengantar jotan ke para tetangga baik yang sesama muslim maupun berbeda agama. Tradisi ini sudah kami lakukan sejak kami mulai tinggal di gang di pinggiran Denpasar sepuluh tahun silam.
Bagi saya yang lahir dan besar di Jawa, tradisi ngejot ini termasuk hal baru. Namun, saya dengan senang hati melakukannya karena, menurut saya, banyak nilai positif untuk membangun toleransi di Bali melalui kebiasaan ini.
Saya belajar dari mertua maupun tetangga yang merayakan Galungan tiap enam bulan. Mereka mengajarkan bahwa tradisi ini bisa menjadi salah satu cara untuk saling menghormati agama lain.
Biasanya, menjelang Hari Raya Galungan atau Nyepi, para tetangga saya yang merayakan keduanya akan mengantarkan makanan ke rumah. Isinya aneka rupa menu khas Bali. Ada misalnya, nasi campur, ayam betutu, jukut ares (sayur dari batang pisang), dan lain-lain.
Selain makanan ada juga enak kue dan camilan. Jaja kukus, begina (semacam rengginang), tape ketan, dan jaja uli memenuhi ingke yang dibawa tetangga ke rumah. Warna-warni aneka rupa kue di ingke, piring terbuat dari anyaman bambu, serasa menggambarkan betapa beragamnya keyakinan kami di gang.
Ngejot ini tak hanya dilakukan umat Hindu menjelang hari raya. Umat Islam dan Katolik di gang kami pun melakukannya. Bu Risma, tetangga kami yang merayakan Idul Fitri, sudah ngejot awal pekan ini. Adapun Pak Antonio yang menganut Katolik, ngejot tiap mau Natal.
Toleransi
Namun, ngejot tak hanya membagi makanan kepada tetangga tapi juga semacam upaya menyebarkan kebahagiaan menjelang hari raya. Biasanya, pada saat mengantarkan jotan ini, pengantarnya akan ada ucapan selamat hari raya. Sebaliknya, penerima jotan tak hanya menerima antara tapi juga menerima kenyataan bahwa dia hidup berdampingan dengan umat lain.
Bagi saya, ngejot salah satu bentuk sekaligus perayaan keberagaman di Bali.
Karena itulah, ngejot tahun ini yang hampir bersamaan terasa lebih istimewa. Kami yang bertetangga dan berbeda agama bisa saling mengirim jotan untuk merayakan dua hari raya berbeda.
Selain ngejot, beberapa praktik yang menujukkan akultuasi antara Islam dan Bali juga masih dilakukan di pulau ini. Beberapa desa di Bali, seperti Saren Jawa di Karangasem dan Pegayaman di Buleleng, memiliki tradisi unik itu.
Mereka, misalnya, memadukan nama Bali dengan nama muslim. Maka tak heran jika penduduk di kedua desa ini memiliki nama semacam I Nengah Abdullah, Nyoman Siti Aisyah, dan semacamnya.
Selain dari nama, mereka juga memiliki tradisi seperti halnya umat Hindu Bali menjelang hari raya terutama saat Galungan. Sehari menjelang hari raya ini, umat Hindu Bali biasanya memotong babi. Tradisi ini disebut nampah. Harinya disebut Penampahan Galungan atau menampah sebelum hari raya Galungan.
Umat Islam di Pegayaman dan Saren Jawab melakukan hal sama. Mereka melaksanakan Penampahan Lebaran. Tentu saja bukan babi yang dipotong tapi kambing atau sapi. Daging kemudian dibagi-bagi sesama tetangga untuk menjadi menu utama saat perayaan Idul Fitri.
Beberapa kali mengunjungi dan liputan tentang komunitas-komunitas desa muslim di Bali ini, saya selalu mendapatkan pernyataan sama dari warga desa tersebut, “Kami memang orang Bali meskipun kami muslim.”
Ada semacam penegasan mereka bahwa Bali pun memiliki warna berbeda-beda termasuk agama. Meskipun muslim, mereka tetap melaksanakan sebagian tradisi Bali. Keduanya bisa saling mengisi.
Ketegangan
Jika melihat pada sejarahnya, Bali sejak awal memang terbuka pada agama-agama lain termasuk Islam. Komunitas-komunitas muslim tua di Bali seperti Pegayaman di Buleleng, Loloan di Jembrana, Saren Jawa di Karangasem, atau Pemogan dan Serangan di Denpasar, pada umumnya datang dengan damai. Tidak ada perang atau misi khusus untuk membawa Islam ke Bali.
Nenek moyang komunitas muslim Bugis di Serangan, misalnya, adalah para pelaut. Menurut tokoh Serangan Haji Mansur, pelaut dari Bugis terdampar di bagian selatan pulau Bali yang ketika itu dikuasai Kerajaan Badung. Para pelaut diberi tempat khusus yang sekarang bernama Pulau Serangan. Mereka beranak pinak yang berkembangan menjadi komunitas Bugis di pulau ini.
Karena itu, hingga saat ini, umat Islam di Pulau Serangan, Bali memiliki ikatan khusus dengan Puri Badung di Denpasar. Hal serupa terjadi dengan komunitas muslim di Kepaon, Denpasar. Tiap hari raya, misalnya, mereka masih bersilaturahmi atau mengundang raja salah satu kerajaan di Bali itu.
Namun, toleransi ini memang tak selalu mulus. Kadang naik turun. Salah satu peristiwa besar yang sempat mengusik harmonisnya hubungan Islam dan Bali adalah peledakan bom dua kali di Bali pada Oktober 2002 dan 2005. Apalagi para teroris seperti Amrozi dan Imam Samudra memang membawa nama Islam dalam aksinya.
Ketegangan terjadi akibat ulah para teroris tersebut. Muncul, misalnya isu bahwa akan ada penyerangan terhadap masjid atau mushola. Namun, sebatas yang saya tahu, isu hanyalah isu. Hingga saat ini umat Islam di Bali masih hidup damai berdampingan dengan umat Hindu Bali.
Momentum semacam Galungan dan Lebaran yang terjadi berdekatan tahun ini semoga makin menguatkan toleransi itu.
Selamat Galungan dan Kuningan serta Idul Fitri 1436 H. Selamat merayakan kemenangan dalam kebersamaan dan keindahan. [b]