Sehelai kain ternyata menyimpan banyak kisah.
Kain selalu menjadi bagian masyarakat Indonesia. Motifnya pun mengikuti perkembangan zaman dan mampu bercerita tentang kehidupan masyarakat kala kain itu dibuat. Inilah pengalaman saat mengunjungi Museum Kain.
Ide pendirian museum di Beachwalk Kuta ini lahir dari Obin Komara bersama mendiang suaminya, Roni Siswandi. Mereka ingin mendirikan pusat pelestarian warisan budaya khususnya kain khas nusantara. Melalui museum ini, Obin ingin mengajak pengunjungnya mengingat masa lalu, menghargai apa yang sudah diwariskan dan mempersiapkan masa depan para pemudanya.
Saat ini, Museum Kain menjadi rumah bagi ratusan jenis kain nusantara milik Obin. Sejak pembukaan museum pada 20 November 2013, Museum Kain memamerkan sekitar 60 koleksi kain batik dari berbagai wilayah di Jawa.
“Koleksi awal yang ditampilkan adalah kain batik Jawa, karena kain batik memang asalnya dari Jawa,” ungkap Risdha, pemandu museum.
Kain batik yang ditampilkan berasal dari berbagai wilayah Jawa, seperti Solo, Pekalongan, Cirebon, Rembang dan lain-lain. Motifnya pun beragam. Salah satunya, kain batik motif badminton yang dibuat di Solo pada tahun 1950 saat Tim Nasional Bulutangkis Indonesia memenangkan Piala Thomas Cup. Motif raket dan bola bulutangkis berwarna coklat seolah menceritakan kebanggaan masyarakat Indonesia saat itu.
Kisah Perempuan Tionghoa dalam Kain Batik
Bulan Juni lalu, Museum Kain merotasi beberapa koleksi kain batik kunonya. Susunan baru koleksi batik kuno yang hadir pada periode ini mengambil tema kehidupan perempuan Tionghoa di Jawa. Pada satu ruang pamer, Museum Kain menampilkan kain-kain dari Lasem, Jawa Timur yang menceritakan tentang kebudayaan Cina-Jawa yang begitu kental pada abad ke-19.
Kain-kain tersebut turut menceritakan peran kaum perempuan Tionghoa dalam keluarganya. Pada zaman itu, kaum laki-laki memang sangat dominan, namun kaum perempuan tetap menjadi yang utama.
“Dalam pameran ini kami ingin memperlihatkan peran perempuan Tionghoa yang menjadi inti dari keluarganya, mulai dari urusan rumah sampai anak dan suaminya,” ungkap Annissa Gultom, Direktur Museum Kain.
Dalam periode ini, ada enam helai kain batik yang memperlihatkan berbagai sisi dalam kehidupan perempuan Tionghoa, yaitu spiritual, sosial, keluarga, perkawinan dan kecantikan.
Salah satu koleksi yang dipamerkan ialah saputangan hantaran yang digunakan untuk membungkus makanan atau barang kiriman lainnya. Nuansa warna merah khas batik Lasem dan motif makhluk mitologi, Kilin menggambarkan doa dan lambang kesejahteraan.
Di antara koleksi batik yang didominasi warna merah, ada satu kain batik yang justru berwarna hijau. Kain tersebut adalah kain pengantin hadiah dari ibu Obin Komara untuk ia kenakan saat hari pernikahannya. Selain warna hijau, kain pengantin itu juga menampilkan warna merah. Hanya saja warna merah yang terlihat sangat gelap sehingga warnanya mendekati warna hitam.
“Dulu belum ada pewarna hitam. Pengrajin batik mencelupkan pewarna merah hingga sangat pekat untuk menghasilkan warna hitam,” jelas Annissa.
Tampil Modern
Selain melihat pameran kain dalam bentuk pajangan, pengunjung juga dapat belajar tentang kain lewat perangkat multimedia. Setiap sisi ruang pamer, Museum Kain menyediakan layar informasi yang interaktif. Ada pula pemainan motif kain batik dan tutorial penggunaan kain yang sangat menarik. Museum Kain berusaha tampil lebih modern untuk menarik minat pengunjung museum.
Setiap pengunjung pun akan ditemani oleh ‘tukang celoteh’ atau pendongeng yang siap bercerita tentang kisah-kisah di balik kain-kain yang dipamerkan. Perjalanan pun akan berakhir di Museum kain Store yang menyajikan berbagai souvenir dan koleksi BIN House milik Obin Komara.
Museum Kain akan terus memamerkan koleksinya secara berkala. Demi menjaga kualitas kain, Museum Kain merotasi koleksinya setiap 6 bulan sekali. Annissa mengungkapkan koleksi kain yang dipajang mulai bulan Juni ini akan dirotasi pada bulan November mendatang.
“Selanjutnya kami akan memamerkan kain batik dan tenun. Kami juga berharap bisa mengadakan pameran bersama dengan pihak lain agar bisa lebih banyak kisah yang disampaikan,” harap Annissa.
Museum Kain berada di Alang-alang Area, Level 3 Beachwalk Shopping Centre, Kuta. Museum Kain buka setiap hari kecuali hari Senin mulai pukul 11.oo sampai dengan pukul 20.00. Sementara itu, Museum Kain Store buka setiap hari mulai pukul 10.00 sampai dengan pukul 21.30. Biaya masuk bagi warga lokal sebesar Rp 50.000,00 dan warga negara asing Rp 100.000,00. Khusus pada Hari Suci Umanis Galungan dan Kuningan, Museum Kain memberikan akses masuk gratis bagi para pengunjung yang memiliki KTP Bali.
Yth Ibu Diah Dharmapatni,
Artikel ini sangat bagus dan bermanfaat sekali.
Ijin share di blog Budaya Tionghoa pada alamat:
http://tionghoa.net/2015/07/24/kisah-dalam-sehelai-kain-batik/
Tentunya saya mencantumkan nama penulis dan sumber link ke Bale Bengong.
Terima kasih.
Silakan disebarkan, terima kasih.
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai batik indonesia.Benar benar sangat bermamfaat dalam menambah wawasan kita menjadi mengetahui lebih jauh mengenai ilmu batik.Saya juga mempunyai artikel yang sejenis mengenai indonesia yang bisa anda kunjungi di sini