Oleh Wayan Sunarta
Perkawinan merupakan sebuah upaya untuk menegaskan kehadiran, terutama kehadiran manusia dalam belantara kehidupan dunia ini. Bagi sebagian orang, perkawinan merupakan momok menakutkan, karena berbagai alasan, seperti persoalan ekonomi, kehilangan kebebasan, ketidaksiapan mental dan alasan personal lainnya.
Namun bagi sebagian yang lain, perkawinan merupakan pilihan hidup sekaligus anugerah Tuhan yang mesti disyukuri, karena melalui perkawinan manusia diberi tugas dan tanggung jawab untuk meneruskan keturunan.
Wayan Kun Adnyana, seorang pelukis, penulis seni rupa, kurator dan dosen seni rupa ISI Denpasar, sedang berbahagia. Ia telah melepas masa lajangnya dengan mengawini gadis pujaannya, Ayu Ketut Putri Rahayuning, pada tanggal 1 Oktober 2008.
Kebahagiaan Kun semakin sempurna karena pada 19 Oktober 2008 pesta resepsi perkawinannya dirayakan dengan peristiwa kesenian, yakni pameran bertajuk “Look! Who is Talking?” di Tonyraka Art Gallery, Mas, Ubud, Bali, berlangsung hingga tanggal 2 November 2008. Ini merupakan pameran tunggal Kun yang ketiga setelah pameran Kamasukha (2003) dan New Totem for Mother (Mei-Juni 2008).
Selain menulis, Kun sangat produktif dalam melukis. Karya-karya pelukis kelahiran Bangli, Bali, 4 April 1976 ini banyak berbicara tentang tubuh, ibu, bayi, dalam kaitannya dengan cinta kasih manusia. Hal itu, misalnya, bisa dilihat pada periode Kamasukha dimana Kun banyak mendedahkan persoalan erotisme tubuh lelaki-perempuan dalam persenggamaan. Pada periode ini Kun banyak menyerap inspirasi dari kitab Kamasutra.
Kemudian pada periode New Totem for Mother, Kun banyak berkisah tentang sosok ibu, bukan hanya dalam pengertian ibu fisik (ibu kandung) melainkan juga ibu bumi tempat dimana kehidupan ditumbuhkan dan dipelihara dengan cinta dan kasih. Pada periode ini Kun lebih menukik ke arah persoalan interaksi ibu (perempuan) dengan lelaki (bapak) dimana ibu cenderung berada pada pihak yang tereksploitasi, terancam, teraniaya, dan sebagai korban berbagai bentuk kekerasan rumah tangga.
Pada pameran tunggalnya kali ini, Kun lebih banyak berbicara tentang bayi dan benda-benda di seputaran bayi. Tajuk pameran ini sendiri mengadopsi judul film lawas yang dibintangi Jhon Travolta yang berkisah tentang dunia bayi. Dan tentu saja periode bayi ini bisa ditelusuri benang merahnya hingga periode Kamasukha dan New Totem for Mother.
Ketiga periode ini merangkum persoalan tubuh, kesuburan, dan keberlangsungan generasi umat manusia di dunia ini. Dan bukan suatu kebetulan periode bayi ditampilkan pada acara resepsi perkawinannya. Kun telah merencanakan, merancang, dan menyiapkannya sedemikian rupa. Tentu di balik semua itu terkandung harapan dan impian akan sebuah bahtera yang baru, yakni keluarga yang berbahagia dan saling mengasihi dimana kehidupan baru pun tumbuh dan bersemi sewajarnya. Bagi Kun, bayi adalah matahari baru yang akan menerangi dunia di kemudian hari.
Pameran ini cukup menarik karena Kun mendedahkan persoalan kelahiran bayi manusia yang diharapkan kelak akan menjadi matahari baru. Objek-objek bayi tersebut ditampilkan Kun dalam sejumlah lukisan, sketsa dan seni instalasi. Lukisan berjudul “Menunggu Matahari” cukup mampu mewakili obsesi bawah sadar Kun akan arti penting kehadiran seorang bayi. Lukisan itu berkisah tentang bayi montok berkelamin laki-laki yang seakan jatuh dari surga dan disambut dengan sangat meriah oleh banyak orang yang telah lama menanti dengan harap-harap cemas.
Dalam hal ini bayi telah menjadi sumber kabahagiaan, menjadi matahari baru, bagi kebanyakan orang. Ada harapan dan impian memancar dari tubuh bayi. Itu pula sebabnya mengapa di banyak kebudayaan, kelahiran bayi (terutama yang berkelamin laki-laki) dirayakan secara istimewa dan penuh dengan berbagai ritual yang rumit.
Dalam kebudayaan Bali, bayi laki-laki selalu ditunggu-tunggu dan disyukuri kelahirannya. Tentu hal ini akan menjadi tidak adil bagi bayi berkelamin perempuan yang tidak terlalu diharapkan.
Jelas di sini bahwa laki-laki selalu dianggap sebagai matahari, pelanjut keturunan dan kehidupan. Hal itu misalnya terlihat pada lukisan “New Generation” yang menampilkan tiga wajah polos bayi laki-laki menatap dunia penuh harapan sekaligus kecemasan pada kehidupan yang akan dijalaninya.
Sementara itu, kebahagiaan dan kegembiraan sang ayah akan kelahiran bayi laki-laki tampak pada lukisan “Be Twin II”. Lukisan itu berkisah tentang raut senang wajah sang ayah yang tersenyum lebar ketika sedang bermain-main dengan bayi pujaannya. Sang ayah cenderung membanggakan dan mengidentikkan dirinya dengan sang bayi laki-laki miliknya.
Lantas apa jadinya laki-laki tanpa perempuan? Apakah generasi bisa dikembangbiakkan hanya oleh kelamin lelaki saja, tanpa kelamin perempuan? Mari lihat lukisan berjudul “Men Brayut” yang mengisahkan sosok ibu bernama Brayut (dalam cerita rakyat Bali) yang beranak banyak sehingga dirinya sendiri menjadi kurus kering tak terurus demi keberlangsungan masa depan anak-anaknya.
Dalam foklore Bali, Men Brayut adalah pahlawan keluarga, tanpa pamrih melahirkan dan merawat generasi manusia. Orang Bali memercayai Men Brayut adalah lambang kesuburan sehingga tokoh ini sering dibuatkan patung dan tugu pemujaan bagi pasangan suami-istri yang tidak dikarunia keturunan. Men Brayut membuktikan peranan penting perempuan sebagai pelanjut keturunan. Rahim adalah ladang yang mesti dirawat dan dijaga oleh perempuan dan laki-laki demi benih-benih unggul yang akan disemai di sana.
Begitulah. Ehm, selamat menyemai benih Kun. Semoga tumbuh dan berkembang menjadi matahari baru. [b]