Oleh Swastinah Atmodjo
Salak Bali merupakan salah satu maskot oleh-oleh dari Pulau Wisata Internasional ini. Dan berkunjung ke sumber produksinya, Sibetan, Karangasem, terlebih di panen raya akan memberi kesan fantastik. Tapi nasib petani dimana saja, apapun yang di tanam selalu sama. Begitu masa panen tiba, harga serta merta melorot tajam hingga petaninya pun kurang semangat memanen seperti dialami Nengah Suparta.
Siang itu, Nengah Suparta setengah enggan pergi ke kebunnya untuk memanen salak, lantaran harganya yang jauh dari cukup untuk menutupi biaya produksi. Maklum, katanya, sekarang sedang memasuki masa panen raya. Harga salak super yang dihasilkan hanya Rp 1000 – 1.500 perkilogram, bahkan terkadang lebih murah lagi.
Desa Sibetan, sekitar 85 Km dari Denpasar berada pada ketinggian 500 m di atas permukaan laut merupakann areal yang sangat cocok untuk perkebunan salak. Luas lahan keseluruhan sekitar 11,25 Km2, yang oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem telah dikembangkan menjadi lokasi wisata agro. Maka, semua akses jalan menuju Sibetan pun sudah diaspal dan dilalui trayek angkutan desa.
Salak merupakan jenis tanaman tropis , bisa tumbuh baik pada tanah berpasir dan subur, dengan curah hujan cukup tinggi atau kurang asal air tanah tidak terlalu dalam. Kualitas maupun kuantitas produksi tergantung pula pada kelas tanahnya, datar atau pada kemiringan. Tanaman di tanah datar atau kelas A, bisa memberikan hasil panen lebih baik karena mendapat sinar optimal dan daya serap air cukup.
Suparta sudah puluhan tahun memelihara kebun salak, jenis nanas, seluas 98 are. Pada musim panen seperti ini, ia tiga hari sekali memetik salak yang sudah tua. ”Sekali petik antara 40 – 50 kilogram saja, kami pilih yang besar dan tua. Itu kami jual ke pasar terdekat, dan pengepul yang biasa membeli,” katanya.
Menurutnya, biarpun hasil panen melimpah tapi hasil penjualan tidak bisa untuk menutupi biaya produksi. Makanya, sebagian lahan telah ia ganti dengan jenis salak gula pasir yang harga produknya bisa jauh lebih mahal.
Mengantisipasi anjloknya harga, lanjutnya, telah dibuat kelompok-kelompok pengrajin makanan olahan dari bahan salak semisal wine, kripik dan dodol. Ini juga untuk menunjang pengembangan wisata agro di Sibetan. Namun, tegas Ssuparta yang kebetulan dipercaya menjadi Ketua Kelompok Wisata Agro Desa Dukuh, produksinya masih terkendala pemasaran.
Pengunjung wisata agro salak pun belum begitu ramai. Suparta menjelaskan, setiap tamu yang sekedar ingin keliling perkebunan dikenakan ongkos Rp 25.000 per orang. Bila menginginkan satu paket terdiri atas wisata pengenalan salak, tracking, dan makan siang, biayanya sampai Rp 150.000 satu orangnya.
Selain pesona sepanjang jalan menuju Sibetan yang memang menarik, tambah Kadisparda Karangasem Nengah Parwata, unggulan lainnya adalah dikembangkannya 15 jenis salak oleh warga diantaranya salak gondok, nenas, kelapa, injin, gading, embadan, getih, cengkih, bingin (beringin), mesui, biji putih, maong dan penyalin. Masing-masing mempunyai kekhasan tersendiri. Salak gondok, misalnya, mempunyai daging tebal berwarna putih kekuningan dan manis dengan biji yang kecil.
Salak cengkih, buahnya lebih kecil, dagingnya getas (mudah patah), berasa manis sedikit pedas dan aromanya seperti cengkih. Salak bingin bercirikan daun keriting mirip daun beringin. Jenis salak cengkih dan bingin ini termasuk langka dan jarang berbuah.
Perkebunan salak di Sibetan ini, lanjutnya, sudah ada sejak ratusan tahun silam dan tumbuh secara alami. Kemudian mengalami perkembangan pesat awal tahun 1980-an, dimana petani setempat secara beramai-ramai menanamnya. Bahkan merambah ke petani di desa maupun kecamatan lain semisal Selat, Sidemen dan Rendang. Pun dikembangbiakan oleh petani diluar Karangasem. Tapi, salak produksi Sibetan tetap lebih unggul terutama dari segi rasa, terlebih jenis salak gula pasir yang baru dikembangkan beberapa tahun terakhir.
Tanaman salak di Sibetan berbeda dengan yang tumbuh di daerah lain. Keistimewaan salak Bali diantaranya sebagai tanaman berumah satu (monocius) yang bukan tanaman jantan maupun betina, serta berbunga sempurna sehingga dalam penyerbukan tidak perlu bantuan serangga, angin maupun manusia. Daging buahnya tebal, renyah dengan kadar tamin rendah dan manis rasanya.
Perkebunan salak di Sibetan mempunyai dua kali musim panen yakni Januari-Maret yang merupakan masa panen raya dan panen gadon antara Agustus-September. Pada panen gadon ini, jumlah produksinya lebih kecil, terkadang hanya sepertiga masa panen raya. Diluar masa panen, sepanjang tahun tamanannya tetap berproduksi dengan jumlah sangat sedikit sehingga harganya melambung.
Pada musim panen raya seperti sekarang, satu pohon rata-rata menghasilkan sampai tiga tandan. Setiap tandan buahnya rata-rata 20 biji, yang diperkirakan beratnya mencapai 3 kg. [b]
pa pa bapa tau harga salk bali /kg nya jika kita ngambil di perkebunan nya pa??
pak, saya mau tanya klo salak gula pasir selain di karangasem di daerah mn lg di bali yg menanamya dan apakah rasanya sama dengan yg di karangasem??