Oleh Anton Muhajir
Saya dan anak istri baru saja sampai rumah. Kami habis dari rumah Fenny, si ratu ngebor, eh, ratu kopdarnya Bali Blogger Community (BBC). Dari pukul enam teng tadi, kami di sana. Ikut menikmati perayaan Natal. Tak hanya kami yang datang ke rumah Fennyi di daerah jalan Gunung Agung, di sekitar Pasar Loaknya Bali itu. Ada beberapa teman dari BBC seperti Novan, Efi, dan Eka, serta tiga teman lain di sana. Acaranya, tentu saja, makan-makan. Sebab, apalah artinya hari raya tanpa pesta. Hwahaha..
Menu makannya enak. Sate udang, gurami bakar, usus buntu –eh salah, usus bumbu-, dengan sambal ulek puedes tenan. Cuma untuk makan enak ternyata perlu perjuangan. Saya harus mandi asap dulu, jadi tukang sate dulu.
Pas makan, waah, uenak tenan. Tapi itu tak hanya karena rasanya. Juga karena rasa lapar yang memang kami bawa. Sejak dari rumah, berangkat pukul empat karena kami ke toko buku Gramedia dulu, perut saya sudah keroncongan. Maunya makan mie dulu sebelum berangkat tapi istri saya bilang tidak usah. Yowis. Kami pun berangkat dengan perut yang merana.
Untunglah lapar itu terobati juga setelah berjuang keras untuk bikin sate udang dulu.
Tak hanya di rumah Fenny kami menikmati Natal. Kemarin sore, kami juga makan-makan setelah Pak Antonio, tetangga kami yang merayakan Natal, mengirim jootan –hadiah saat hari raya dalam tradisi Bali- ke rumah. Menunya nasi campur ala Bali: nasi putih, ayam suwir, mie goreng, dan sambal goreng.
Bukan makanannya yang istimewa, tapi pemberian saat hari raya tersebut. Sebab itu artinya kami menjadi bagian dari perayaan Pak Antonio, meski kami berbeda agama.
Maka ketika baru makan dua suap nasi itu, saya tiba-tiba berpikir untuk datang ke rumah Pak Antonio saja dulu. Saya mau melihat bagaimana keriuhan Natal di rumah pegawai Dinas Kehutanan Provinsi Bali itu. Sebab Gede dan Putri, dua anak yang mengantarkan jootan, itu bilang kalau ibu-ibu tetangga kami sedang menyiapkan jootan di sana.
Benar saja. Ada Bu Wayan, Bu Adit, dan Bu Putri sedang duduk lesehan di ruang tamu yang penuh makanan. Tak ada satu pun dari mereka yang merayakan Natal. Mereka campuran Hindu dan Muslim. Tapi lihatlah. Mereka sibuk menyiapkan jootan untuk merayakan Natal Pak Antonio. Ibu-ibu tetangga kami di gang kecil jalan Subak Dalem itu memasukkan nasi, sambel, telur, ayam, dan semua bahan di jootan dalam satu kertas bungkus nasi di atas ingke, pirin dari anyaman bambu.
Setelah menu siap, Gede dan Putri –dua anak remaja di gang kami- akan mengantarkan jootan itu ke sekitar 15 rumah di gang kami yang memang sangat beragam latar belakang agama, sosial, ekonomi, dan seterusnya.
Tiap hari raya, selalu ada tradisi jootan itu. Siapa yang merayakan hari raya maka dia yang akan membaginya ke rumah-rumah mereka yang tidak merayakan. Kami yang merayakan Lebaran akan panen jootan, berisi buah dan jajan tradisional Bali lain, saat Galungan. Malah biasanya sampai terbuang karena saking banyaknya jootan yang kami dapat.
Begitu juga ketika kami merayakan Lebaran. Kami yang ganti mengirim jootan itu ke semua tetangga kami di gang.
Perayaan hari raya, agama apa pun itu, selalu jadi momen yang mengharukan bagi kami, saya dan istri. Entahlah. Mungkin karena kami juga tinggal dalam keanekaragaman itu ketika pada saat yang sama di banyak tempat lain justru muncul hal yang sama sekali berbeda, penyeragaman.
Kami berada di lingkungan kecil yang sangat menghormati perbedaan itu, dan larut dalam tiap momen perayaan atas keragaman itu, ketika secara global juga muncul sikap orang-orang yang makin gemar berkumpul hanya dalam satu identitas yang sama.
Maka, tiap hari raya agama apa pun itu, kami selalu ikut larut di dalamnya. Sebab hari raya bagi kami tak hanya waktu untuk menyama braya –merayakan semangat kekeluargaan- tapi juga merayakan perbedaan..
Selamat Natal. Semoga damai selalu di hati, di bumi..