Menurut aturan, badan publik harus terbuka dalam mengelola informasi publik. Tapi, praktiknya susah sekali.
Banyak Undang-undang (UU) menjamin hak warga atas informasi, seperti UUD 1945, UU nomor 39 tentang hak asasi manusia (HAM), serta UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Namun, aturan sering hanya keren di atas kertas. Pelaksanaan di lapangan acak adut tak jelas.
Belum banyak badan publik, terutama penyelenggara pemerintahan, sadar kewajibannya memberikan informasi publik kepada masyarakat. Hal ini diperparah oleh tidak adanya mekanisme jelas tentang pelayanan akses informasi. Jika kita bertanya, bagaimana prosedur memperoleh informasi di badan publik, jawabnya bisa berbeda-beda dari pegawai instansi yang sama.
Padahal, saat ini hampir seluruh badan publik terutama instansi pemerintahan sudah memiliki website. Media ini bisa digunakan sebagai tempat warga mengakses informasi publik. Minimal dalam website tersebut bisa dicantumkan mekanisme memperoleh informasi dan informasi publik yang dikuasainya.
Belum Optimal
Di antara lembaga-lembaga Pemeritah Provinsi Bali, hanya website Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) yang memaparkan informasi cukup lengkap. Program kerja, tugas pokok dan fungsi, produk hukum dan kebijakan, sampai laporan keuangan ada di website ini. Informasi publik tersebut dapat diunduh dengan mudah seperti Kebijakan Umum APBD (KUA) 2011 dan Prioritas dan Platform Anggaran Sementara (PPAS) 2011.
Ironisnya, Dinas Perhubungan, Informasi dan Komunikasi Pemprov Bali dengan format situs sama dengan Baliprov dan Bapedda, justru jauh dari lengkap informasinya. Tidak ada laporan keuangan. Pada menu kebijakan hanya tercantum judul perda tapi tak bisa diunduh. Begitu juga pada menu regulasi. Padahal, dinas inilah yang paling bertanggung jawab mengelola informasi.
Website Biro Keuangan Provinsi Bali pun tak jauh beda. Pada menu APBD dan Laporan Pertanggungjawaban APBD bahkan tidak terdapat data sama sekali.
Beberapa contoh di atas menunjukan belum optimalnya pemanfaat website badan publik (pemerintah daerah) dalam penerapan pelaksanaan UU KIP. Padahal, anggaran pengelolaan website tersebut tidak sedikit. Dari situ dapat saya simpulkan bukan kemampuan yang menjadi kendala penerapan UU KIP namun lebih kepada kemauan badan publik.
Hak memperoleh informasi merupakan hak dasar warga Negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F menjaminnya. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Warga juga berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Masih ada UU lain yang menjaminn hak warga atas informasi ini. Pertama, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hak atas informasi diatur dalam Pasal 14, Pasal 60, Pasal 103. Kedua, UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 65 ayat (2) UU ini menyatakan setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Secara khusus hak warga terhadap informasi diatur dalam UU nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP. Dalam pertimbangannya, UU ini menyebutkan bahwa hak memperoleh informasi merupakan HAM. UU ini juga menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis.
Pasal 2 mengatur bahwa asas UU ini adalah setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik kecuali informasi publik yang dikecualikan, informasi publik yang dikecualikan ini bersifat ketat dan terbatas.
Dalam pasal 9 UU KIP disebutkan badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala. Informasi ini meliputi profil, kegiatan dan kinerjan, serta laporan keuangan badan publik. Badan publik adalah organanisasi yang terkait penyelenggaraan Negara maupun organisasi lain dengan pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN atau APBD).
Namun, sekali lagi, lembaga pemerintah belum sepenuhnya menerapkan keterbukaan informasi publik itu sendiri. Karena itu perlu perbaikan pola pikir dan kemauan mereka dalam penerapan pelaksanaan UU KIP.
Sengketa
Perbaikan yang dibutuhkan terutama adalah kebijakan pimpinan badan publik dalam menerapkan UU KIP. Perlu manajemen pengelolaan informasi yang dikuasai dan pelayanan akses informasi dari publik. Perbaikan tersebut hanya bisa dicapai jika publik/masyarakat sebagai pemilik hak atas akses informasi aktif mendorong badan publik untuk selalu berbenah.
Warga harus secara aktif meminta akses informasi. Ini merupakan salah satu cara agar badan publik menjadi lebih siap dan lebih baik dalam melayani permintaan informasi publik.
UU KIP juga mensyaratkan dibentuknya Komisi Informasi sebagai lembaga mandiri untuk menjalankan UU KIP dan peraturan pelaksanaanya. Provinsi Bali saat ini dalam proses pembentukan Komisi Informasi Daerah. Komisi Informasi ini nantinya diharapkan bisa menetapkan standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik.
Karena peran komisi ini sangat strategis, maka diharapkan orang yang terpilih menjadi komisioner adalah orang cakap dalam bekerja dan memiliki semangat keterbukaan. Dengan demikian bisa mewujudkan pemerintahan yang transparan, efektif, efisien, akuntabel, serta dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UU KIP. [b]
Kebanyakan hambatan yang ada dalam hal”seperti yang disebutkan diatas adalah Anggaran dan SDM. padahal kalo memang berniat, saya yakin bisa…
Berarti masalahnya bukan di SDM dan Anggaran bli, tapi di NIAT 🙂
hehehe… iya yah… tapi kan yang terekspose ke media biasanya dua itu saja Gus…