Untung rugi. Dua hal ini senantiasa ditimbang dalam urusan berdagang.
Laba merupakan segelintir perkara lumrah dalam lingkaran perdagangan. Dalam bisnis kerajinan, pemberian upah yang kecil dan penipuan, kerap menjadi hambatan bagi produsen.
Maka, perlu adanya perdagangan yang adil, fair trade. Prinsip ini untuk menjaga harapan produsen kerajinan yang selama ini termarginalkan. Keadilan menjadi semboyan. Pendekatan ini juga menawarkan upaya dialogis antara distributor dengan produsen serta saling menghargai dan percaya satu sama lain.
Praktik fair trade yang paling sederhana, bisa didengar dari cerita Wayan Budha Karyana dan Jenggo. Dua pengrajin pernak-pernik kerajinan dari Tampak Siring, Gianyar. Keduanya binaan Mitra Bali, yayasan pendukung perdagangan berkeadilan. Kedua pengrajin ini menilas balik perjalanan usaha meraka saat dikunjungi pada Hari Fair Trade 14 Mei tempo hari sedang dirayakan. Trade for People menjadi tema tahun ini.
“Melalui fair trade ini, kami ingin membangun ethical dan social entrepeneur,” ujar Agung Alit sekretaris Forum Fair Trade Indonesia dan Direktur Mitra Bali.
Mitos dunia bisnis yang kerap tak mengindahkan kesejahteraan produsen diakali dengan melakukan gerakan-gerakan sosial.
Dari tuturan Agung Alit, Mitra Bali, yang tergabung ke dalam wadah FFTI, melakukan pelatihan seperti pembukuan, pendampingan dan meretas upaya untuk membuka akses pasar bagi para produsen-pengrajin binaannya.
Pasang surut permintaan barang dan betapa susahnya memasarkan kerajnan merupakan rintangan terberat Wayan Budha. Pemasukannya dulu tak seberapa. “Kalau dulu untuk beli nasi saja susah, uangnya itu tidak cukup,” bebernya. Bila tak ada uang, sambungnya, selain harus mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk operasional produksi maka tidak bisa berjalan.
“Modal, pembayaran di muka merupakan kebutuhan dasar mereka untuk berproduksi,” jelas Agung Alit. Dari keterangannya, selama ini tak pernah ada masalah soal pembayaran terutama pelunasan. Risiko penjualan ditanggung oleh Mitra Bali sebagai penyalur.
“Sering kali kalau barang tidak laku sama sekali atau ada yang cacat, tetap kita lunasi pembayarannya pada pengrajin,” jelasnya.
Wayan Budha dan Jenggo mengaku lebih bisa berkembang bisnisnya setelah mendapat dukungan Mitra Bali. Kondisi ekonomi beranjak membaik, ketika pesanan mulai banyak. “Pernah kita dikasih orderan sekitar seribu empat ratusan baik yang putihan saja atau yang sudah jadi oleh Mitra Bali, minta tolong sama tetangga-tetangga,” ujarnya. Ketika itu, dalam proses produksi ia telah dibantu dengan pemberian uang muka sekitar Rp 2,5 juta dari total pembayaran Rp 4,5 juta.
Cerita serupa juga dihadirkan Jenggo. Hasil kerajinan berupa pernak-pernak pajangan dalam bentuk jerapah dan trenggiling. Dua-duanya menggunakan materi alami, natural fiber seperti biji buah klerek sebagai badan jerapah. Materi lain seperti kayu, dari keterangan Wayan Budha mereka dapatkan dari pohon yang mereka ditanam di tegalan belakang rumah. “Izin untuk menebang biasanya minta kepada kepala desa,” ujar Wayan Buda.
Menilas balik perjalanan usahanya, ia dulu pernah ditipu pemesan dari Jepang. Hingga tiap hari pernah didatangi debt collector. “Sudah dikirim barang pesanannya, tapi sampai beberapa hari lama-lama diminta terus tapi uangnya tidak pernah dikirim,” paparnya. Pengalaman itu menguatkannya untuk tak kapok memproduksi kerajinan tangan. Hingga ia juga menjalin kerjasama dengan Mitra Bali.
Produk kerajinan tangannya merupakan aplikasi dari desain yang diberikan Mitra Bali, termasuk kombinasi warna. “Dunia kerajinan khan berpacu dengan tren jadi harus menyesuaikan dengan selera pasar dan tren warna saat itu, biasanya sudah ada prediksi soal itu sebelumnya dan kami mengikuti tren itu,” jelas Hani Duarsa, Brand Manager Mitra Bali.
Konsumen produk-produk kerajinan ini sebagian besar kalangan ekspatriat dan pembeli internasional. Karena pangsa pasarnya skala internasional di belahan Eropa dan Amerika, tantangan terbesar adalah ketika berhadapan dengan krisis ekspor. Publisitas dan berpameran hingga ke negeri ditempuh untuk mengenalkan dan menjual produk-produk mereka. “Kita pernah bahkan berpameran hingga ke Frankfurt,” ujar Agung Alit.
Dalam fair trade, ada 10 hal yang menjadi prinsip sebagai bingkai gerakan ini. Di antaranya menciptakan kesempatan bagi produsen-produsen yang terugikan secara ekonomi, transparansi dan akuntabilitas, pembayaran yang layak, keadilan bagi perempuan dalam bekerja, lingkungan kerja yang aman dan sehat dan lainnya. [b]