“Kalau satu kelompok dengan perempuan nanti dipanggil banci.”
Anak-anak laki-laki langsung berkata begitu ketika salah satu relawan di Rumah Belajar Akasa, Jacky, menggabungkan semua anak dalam diskusi kelompok. Alasan tersebut benar-benar tak masuk akal. Rumah Belajar Akasa adalah tempat belajar di Kota Tabanan. Jacky salah satu relawan asing di sana.
Waktu itu kami ingin menggabungkan anak-anak kelas 5 untuk belajar. Jacky ingin menggabungkan mereka semua dalam diskusi kelompok. Namun, itu tadi, beberapa anak laki-laki menolak bergabung dengan alasan yang tidak masuk akal. Takut dipanggil banci.
Ya, karena kami tidak memaksakan kehendak, akhirnya empat anak lelaki yang sebentar lagi menginjak remaja tersebut kami biarkan lepas dari kelompok besar. Saya jadi heran kenapa hanya mereka yang menolak. Padahal, anak lelaki lainnya dengan senang hati bergabung. Ketika bertanya, saya hanya mendapatkan jawaban tidak masuk akal. Ya seperti tadi.
Saya ingat ketika kecil dulu tidak ada kata segan dan membedakan dalam bermain maupun bergaul dengan lawan jenis. Sama saja. Toh mereka semua teman saya. Apalagi di sekolah juga terkadang posisi duduk bergilir. Ada kemungkinan anak perempuan akan mendapatkan pasangan duduk anak laki-laki. Sepertinya zaman sekarang tidak ada yang seperti itu.
saya juga pernah membaca kalau sekolah di Jepang setiap semester akan mengundi posisi duduk tiap kelas. Dengan demikian semua anak akan bergaul dengan anak berbeda dan mendapatkan suasana baru. Saya berpikir untuk mengatasi hal ini tanpa memaksa mereka.
Usaha pertama saya coba dengan membuat nomer undian dan menomori bangku di ruang belajar Akasa. Tiap anak saya minta mengambil nomor undian dan duduk sesuai nomornya. Jika ada anak yang ternyata mendapat tempat sama seperti biasanya, masih dalam kelompoknya sendiri, maka saya tukar dengan anak lainnya. Maka, akhirnya tidak ada kelompok berdasarkan sekolah asal dan gender. Semua benar-benar berbaur.
Kemudian tugas kali ini anak-anak diharapkan bekerja sama dengan teman di sebelahnya, walaupun tidak harus. Ada yang lucu. Sebagian besar anak-anak langsung berbaur dan bekerja sama dengan teman di sebelahnya tanpa memandang. Tetapi, ada beberapa yang diam saja atau bahkan menutupi buku tulisnya dengan tempat pensil. Entah karena canggung dan malu atau hanya kebiasaan di sekolahnya dilarang mencontek. Hehehe..
Tapi, untunglah pada akhirnya semua kekakuan dapat dicairkan. Suasana belajar pun berjalan lancar. Pengundian nomor kursi akan dilakukan setiap akan mulai jam belajar untuk membiasakan anak-anak berbaur.
Usaha kedua dengan membuat mereka membuat kontak fisik. Sebelumnya Jacky, volunteer Akasa saat ini, menyiapkan musik. Kemudian saya meminta anak-anak membuat lingkaran dengan posisi selang seling antara anak perempuan dan laki-laki. Saya ikut terlibat didalamnya untuk memecahkan kekakuan. Kemudian mereka diminta untuk berpegangan tangan dan tidak boleh melepaskannya tanpa aba-aba dari saya atau Jacky.
Pada awalnya tentu saja dapat diduga. Mereka berteriak dan menjerit histeris seakan-akan disuruh memegang sesuatu yang mengerikan.. Tapi, setelah saya beri contoh dan meminta kepada anak lainnya ikut melakukannya, akhirnya dengan wajah berat dan pegangan tangan yang kaku merekapun melakukannya. Dengan menahan geli saya mulai bergerak dan memberi contoh gerakan tari kelompok dengan diiringi musik country.
Karena musik dan tariannya cukup menyenangkan, anak-anak pun mulai mengikuti dengan baik walaupun masih sedikit cemberut.
Setelah berakhir saya sempat kaget dan sedikit marah karena anak laki-laki langsung mencuci tangnnya sambil berseru seolah-olah habis menyentuh sesuatu yang kotor. Untung saja saya langsung memberi pengertian pada mereka. Jika tidak itu akan membuat anak perempuan merasa tersinggung. Waahhhh, sepertinya PR untuk mendidik isu kesetaraan gender di kalangan anaka-anak ini masih panjang. Anak-anak harus bisa melepaskan perbedaan gender dalam pergaulan dan sosialisme.
Mungkin saya akan memasukkan sedikit pengetahuan tentang seks dan gender pada mereka. Yang saya harapkan adalah mereka dapat menempatkan kapan harus membedakan gender kapan kita hanya perlu melihat orang lain sebagai individu tanpa label apapun. [b]