Mahasiswa ISI Denpasar mengemas ulang karya seni dan budaya Bali.
Proses tersebut dilakukan mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar akhir pekan lalu.
Ada karya yang dimaksudkan untuk lebih komersil. Sebaliknya ada yang diupayakan untuk diingat sebagai sesuatu yang sakral. Hal ini dipamerkan dalam Arttituted 3rd exhibition di Gedung Bali Creative Industry Center, Tohpati, Denpasar.
Namun dua maksud itu punya tujuan sama, pelestarian dan menarik minat generasi muda pada nilai-nilai kearifan serta kreativitas lokal.
Ketika baru masuk venue, kita akan melihat tshirt dengan gambar penari Pendet, ada jam dinding dari kayu dengan ilustrasi penari Pendet, dan aneka infografis.
Enam mahasiswa ini berniat rebranding tari Pendet. Maestro I Wayan Rindi dari Banjar Lebah ini menciptakan tari ini pada 1967. Karyanya ditarikan anak dan remaja membawa bunga dalam wadah perak.
Pendet diingat sebagai taria penyambutan, bunga ditaburkan ke tamu sebagai ucapan selamat datang. Lahir pada 1917, Rindi dipungut petani dari Banjar Tegal Linggah. Diperkenalkan dengan beberapa maestro seperti I Nyoman Loteting. Dia memukau sejumlah seniornya setelah menari Gandrung Lawangan.
Keenam mahasiswa itu menyajikan mindmapping bahwa tari ini awalnya kesenian sakral. Awalnya sebagai sambutan dewa dewi untuk berkenan turun ke bumi dan merestui upacara. Busana dan bunga yang ditaburkan tak sembarangan. Lalu industri pariwisata memodifikasi untuk tarian penyambut tamu.
Disebutkan, saat ini ada masalah hilangnya perhatian generasi muda, nilai keaslian tari, dan susah mengurus paten. Solusi rebranding tim ini adalah membuat desain tshirt, tas kertas, dan jam dinding sebagai pengingat bahwa kesenian tradisional tak lekang waktu.
Ide dan produk yang misinya mirip dengan Pendet adalah Robot yang terlihat mebanten Saiban.
Enam mahasiswa yaitu Dwi Antara, Adnyana, Mei, Teddy, Yogi, dan Tri menggunakan robot untuk memperkenalkan ritual harian manusia Hindu Bali ini. Seusai masak, warga akan membuat dan menghaturkan Saiban berisi makanan yang baru dimasak seperti nasi, lauk, sayur, dan garam.
Mereka membuat infografis mengenai apa dan bagaimana makna Saiban yang menjadi bentuk syukur atas berkah hari ini. Lalu sebagai penarik perhatian, ada sosok Robot lelaki mengenakan kamen poleng dan udeng membawa wadah berisi banten Saiban.
Robot seperti manusia, agar kita dapat merenungkan diri, kenapa harus robot yang melakukannya? Demikian refleksi tim ini.
Juga ada ensiklopedi Subak, yang terdiri dari buku ilustrasi dan bergambar yang mengulas delapan tahapan dalam tradisi subak secara rinci dan menarik. Lalu ada instalasi sejumlah alat-alat yang digunakan dalam tradisi subak masa lalu.
Kemudian sejumlah buku pop-up mengenai Wayang Klasik Kamasan, Awatara buku pop up cerita mitologi Hindu, dan lainnya. I Made Martana mendesain dan ilustrator buku yang diterbitkan Disbud 2014 tentang Dasa Awatara dalam misinya menyelamatkan dunia.
Gambar Awatara terlihat hidup tiga dimensi dengan buku pop up ini. Ada Kurma awatara penjelmaan Wisnu yang berwujud kura raksasa bernama Akupa. Matsya Awatara berwujud ikan raksasa. Kalki Awatara ksatria mengendarai kuda putih, dan lainnya.
Sementara sebagian stan lain memperlihatkan produk yang ingin mendorong komersialisasi sejumlah produk. Misalnya brand Gagapan yang mengemas kuliner khas. Packaging yang membedakan dgn daerah lain seperti ornamen warna tridatu khas Bali, diaplikasikan pada dodol kacang, tape, jaje gina, loloh cemcem.
Juga ada The Patra, yang mengemas ornamen Pepatran sebagai konsep desain pada bantal. Pepatran diambil dari ide konsep tanaman yang merambat seperti labu, pare, timun, liar numpang di pohon besar.
Ada 3 jenis yang digunakan yakni patra Samblung pola daun dan bunga bersulur seperti tanaman Samblung. Patra Cina dengan pola bunga mawar berduri, serta Patra Ulanda dari Eropa berpola berdaun lebar bunga mekar dan kuncup.
Sejumlah eksekusi ide lainnya adalah revitalisasi riitual Manusia Yajna melalui kalender dan CD interaktif, rebranding Nasi Yasa, Daksina, layangan Janggan, sarana upakara Gebogan, Canang, Kwangen, dan lainnya.
Melalui tangan-tangan kreatif mahasiswa tersebut, seni dan budaya Bali jadi terasa lebih ramah untuk anak-anak muda saat ini. [b]