(Suara-suara Terpinggirkan)
Oleh Agung Wardana
Petani Bali adalah petani yang menggunakan siklus alam dalam pola pertaniannya. Sejak turun temurun, para leluhur telah menurunkan kearifannya seperti sasih (bulan) yang merupakan perhitungan-perhitungan tradisional atas siklus alam, cuaca maupun curah hujan, menjadi panduan bagai para petani Bali untuk bercocok tanam.
Namun tiga tahun belakangan ini, para petani banyak yang mengalami kebingungan. Karena perhitungan sasih tidak tepat lagi seperti sebelumnya. Dengan rasa kebingungan dan tuntutan untuk bertahan hidup, patani Bali tetap bercocok tanam ditengah ketidakmenentuan cuaca. Alhasil, mereka mengalami penurunan hasil produksi hingga ada yang sampai gagal panen.
”Curah hujan yang tidak menentu sangat berpengaruh kepada ketersediaan air sehingga jelas hasil yang kami dapat tidak sesuai dengan harapan,” ungkap Pekaseh Subak Senapahan, Tabanan memberi kesaksian.
”Kalau dulu, bulan 11 petani kami biasanya sudah memasuki musim tanam, tetapi sekarang (musim-red) telah berubah dan tidak bisa ditentukan lagi,” kata Sumoho, seorang petani di kawasan Hutan Bali Barat.
Hal tersebut tidak hanya terjadi di Tabanan maupun di Bali Barat saja, melainkan juga menimpa petani di wilayah Kedisan Kintamani. Para petani disana mengaku juga mengalami kesulitan untuk menentukan musim yang tepat untuk menanam bawang sehingga panen mereka sering kali gagal.
Menurut I Ketuk Geden bahwa pada masa lalu, dia selalu tepat dalam menghitung musim tanam, tetapi beberapa tahun terakhir, musim terasa berubah sehingga panennya sering gagal dan pola tanamnya bergeser.
Petani lain, I Nyoman Rima juga mengeluhkan curah hujan yang lebih sedikit dari tahun ketahun. Sehingga ia harus menyiram tanamannya dua kali sehari, hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ia hanya menyiram tanaman satu kali sehari. Untuk satu kali penyiraman, ia membutuhkan biaya sekitar Rp. 10.000 per are, akibatnya dia harus mengeluarkan uang lebih karena harus menyiman dua kali sehari. Pembengkakan biaya produksi ini tidaklah diikuti oleh kenaikan harga sehingga pendapatan petani menjadi menurun.
Seorang teman yang aktif mendampingi petani rumput laut di Kawasan Nusa Penida menuturkan bahwa petani rumput laut dari tahun ke tahun mengalami kerugian karena rumput laut mereka rusak akibat perubahan cuaca. Rumpu laut adalah tumbuhan laut yang sangat peka terhadap cuaca, sehingga ketika terjadi perubahan cuaca ekstrim rumput laut akan mati. Hal ini berarti kerugian dan pemiskinan bagi petani rumput laut.
Dapat diramalkan jika petani gagal dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pola alam ini ditambah kurangnya pasokan air, maka petani akan mengalami kerugian terus menerus. Dunia pertanian tidak dapat lagi menyangga ekonomi petani atau terjadi pemiskinan petani, sehingga untuk bertahan hidup petani akan menjual lahan mereka dan terjadi alih fungsi besar-besaran. Maka, berarti Bali sedang berada di tengah ancaman kerentanan pangan.
Seharusnya pemerintah memfasilitasi petani-petani Bali bagaimana cara untuk beradaptasi dengan perubahan ini. Dan tidak membiarkan petani menjadi korban atas perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan.
”Yang mengeluarkan polusi paling banyak kan perusahaan-perusahaan dan orang-orang yang ada di kota sehingga menyebabkan pemanasan global. Kami apalah artinya, kami hanya orang desa yang tidak punya mobil, tidak pakai AC (air conditioner-red), tetapi mengapa kami yang harus jadi korban?” ungkap seorang pemuda dari Desa Senapahan, Tabanan. [b]
mari hidup alami