Terhitung sejak film horor pertama di Indonesia tayang, yaitu Lisa (1971), hantu-hantu dalam periode selanjutnya selalu didominasi oleh perempuan sebagai hantu. Setidaknya dalam periode 1970 hingga 2019. Penelitian oleh Annisa dan Justito (2022) berusaha menjawab apa yang melatarbelakangi hal tersebut.
Nyatanya, dominasi perempuan sebagai hantu di film horor tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi telah menjadi pola di dunia perfilman. Di Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura misalnya, ada hantu ‘puntianak’, yang di Indonesia disebut sebagai kuntilanak, turut mendominasi dunia perfilman di negara tersebut. Atau Jepang dengan series Ju On yang terkenal dengan sosok hantu perempuan yang keluar dari sebuah televisi.
Di Indonesia sendiri, banyak film horor yang populer pada masa Orde Baru. Sebut saja Beranak dalam Kubur (1971), Sundel Bolong (1981), Nyi Blorong (1982), Malam Jumat Kliwon (1986), Malam Satu Suro (1988), Ratu Buaya Putih (1988), Wanita Harimau (1989), Guntur Tengah Malam (1990), Gadis Misterius (1996). Annisa dan Justito menjelaskan bahwa sebagian besar film-film horor di Indonesia, terutama pada era tersebut menampilkan perempuan sebagai unsur dominan dalam ketakutan.
Annisa dan Justito dalam jurnalnya menyebut bahwa kehadiran perempuan sebagai sosok dengan motivasi balas dendam, seperti hantu, psikopat, makhluk supernatural mungkin adalah hal-hal yang tidak akan pernah berubah dalam film horor. Bagan di atas menunjukkan bahwa pada setiap periode pun, perempuan selalu mendominasi sebagai tokoh protagonis.
Peneliti menyebutnya sebagai pola naratif yang cenderung seragam dengan melihat cerita yang diakhiri dengan pesan moral: kebaikan selalu menang melawan keburukan. Hal yang kemudian membuat produksi film pada periode 1970-1999 meningkat, terutama pada periode 1980-an adalah karena adanya dominasi adegan-adegan yang mengeksploitasi perempuan, seperti menonjolkan bagian tubuh perempuan, hingga penggambaran perempuan sebagai sosok yang seksi dan agresif. Kemudian, perempuan dalam film-film horor akan dieksploitasi di hadapan budaya patriarki dan menempatkan perempuan sebagai sumber masalah, objek hasrat laki-laki, hingga mengalami kekerasan. Hal itu kemudian menjadikan perempuan yang semula berkarakter protagonis berubah menjadi sosok hantu yang berusaha membalaskan dendamnya dahulu.
Masyarakat yang tidak terbiasa melihat perempuan sebagai pembunuh, akhirnya dikonstruksikan untuk melihat perempuan sebagai orang yang tertindas semasa hidupnya dan hanya dapat membalaskan dendamnya ketika sang perempuan telah menjadi hantu. Walaupun sebagian besar kematian laki-laki (pelaku) dalam film-film horor tidak serta merta disebabkan oleh sang hantu, melainkan oleh kepanikan mereka sendiri, seperti tertabrak, bunuh diri, atau terpatuk ular.
Maka dari itu, hantu perempuan kemudian digambarkan sebagai peneror yang tindakan-tindakannya berada di luar kebiasaan masyarakat, seperti tertawa melengking. Hal ini bukan tanpa alasan, Annisa dan Justito menjelaskan bahwa tertawanya hantu perempuan yang menakutkan dan mengganggu para pria ini adalah bentuk penyimpangan bagi perempuan semasa hidupnya, seperti Sundel Bolong, Kuntilanak, dan hantu perempuan lainnya. Hal itu ditunjukkan sebagai bentuk pembalasan atas represifitas yang perempuan alami semasa hidupnya.
Dengan kata lain, dalam film horor di Indonesia, segala bentuk ketidaknormalan atau penyimpangan yang tidak dapat dilakukan perempuan semasa hidupnya, hampir selalu dilakukan ketika mereka telah berubah menjadi hantu atau monster.
Akhir kata, Justito dan Annisa menjelaskan bahwa salah satu cara untuk mengurangi praktek misoginis dalam proses produksi film adalah dengan menyeimbangkan sutradara perempuan yang terjun ke dalam produksi film horor di Indonesia. Akan tetapi, mereka juga menyadari bahwa hal tersebut tidak cukup karena pada periode pasca 2010, film-film yang disutradarai oleh perempuan tidak dapat benar-benar lepas dari kungkungan budaya patriarki dan misoginis. Maka dari itu, bagi Justito dan Annisa, dibutuhkan lebih banyak pemikiran perempuan yang lebih progresif guna mewarnai wacana horor di Indonesia.