Tumpukan masalah menghampiri Bali yang digaung-gaungkan sebagai Pulau Dewata. Kesehatan mental adalah salah satu isu yang tengah menjalar di Bali. Dilansir dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian Republik Indonesia, dari tahun 2016 hingga 2024 terdapat 4.715 kasus bunuh diri yang dilaporkan. Sementara itu, 1.023 kasus di antaranya dilaporkan pada tahun 2024.
Bali menempati posisi ketiga dengan kasus bunuh diri terbanyak di Indonesia dengan 638 kasus, mengikuti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kasus bunuh diri di Bali meningkat sejak adanya virus Covid-19 pada tahun 2020 hingga 2023. Sebelum Covid-19, kasus bunuh diri di Bali sebanyak 33 kasus yang dilaporkan.
Angka bunuh diri mulai meningkat sejak tahun 2020, yaitu sebanyak 93 kasus dilaporkan. Angka ini meningkat lagi pada tahun selanjutnya menjadi 117 kasus pada tahun 2021 dan 144 kasus pada tahun 2022. Data terakhir dari Pusiknas Bareskrim Polri menunjukkan terdapat 113 kasus bunuh diri yang dilaporkan di Bali.
Namun, dilihat dari suicide rate-nya, Bali tergolong cukup tinggi. Suicide rate merupakan perbandingan antara kasus bunuh diri dengan jumlah penduduk. Dilansir dari Detik Bali, pada tahun 2023, suicide rate di Bali merupakan yang tertinggi di Indonesia dengan angka 3,07. Diikuti oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan suicide rate 1,58 dan Provinsi Bengkulu dengan angka 1,53.
Kesehatan mental dalam kontestasi politik
Isu kesehatan mental sempat menjadi sub tema dalam debat publik Pilkada yang ketiga. Tema besarnya adalah “Ngardi Bali Shanti lan Jagadhita” dengan salah satu sub tema pendidikan dan kesehatan fisik dan mental. Sayangnya, sub tema ini tidak dibahas dalam sesi panel maupun debat antar paslon.
Pembahasan kesehatan mental muncul dalam pemaparan visi misi paslon. Secara garis besar, program yang dijalankan oleh kedua paslon terkait hal ini tidak jauh berbeda. Namun, saat ini BaleBengong hanya akan merangkum program Koster – Giri mengenai kesehatan mental karena pasangan ini unggul sementara dalam Pilkada 2024.
“Angka kematian bunuh diri cukup tinggi, 3 orang per 100.000 penduduk. Prevalensi gangguan jiwa berat yang tinggi, yaitu 11 orang per 1.000 penduduk,” jelas Koster dalam paparan program dan visi misi.
Menjawab permasalahan ini Koster menyampaikan program yang akan dilakukannya dalam lima tahun ke depan. “Menyediakan layanan konsultasi kesehatan mental di sekolah perguruan tinggi dan fasilitas kesehatan,” ungkap Koster.
Upaya preventif dinas kesehatan
Sebelum membedah kebijakan Koster – Giri dalam lima tahun ke depan, mari kita lihat sejauh ini bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah melalui Dinas Kesehatan dalam hal kesehatan mental.
Berdasarkan keterangan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, sejauh ini Dinkes lebih fokus melakukan upaya deteksi dini kondisi kejiwaan melalui Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas. “Itu bisa dilakukan skrining pertama dengan metode SRQ. Itu untuk bisa mendeteksi apakah seseorang itu ada kecenderungan permasalahan jiwa atau tidak,” ungkap I Nyoman Gede Anom, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali ketika diwawancarai pada Senin, 9 Desember 2024.
Skrining dapat dilakukan di seluruh Puskesmas yang ada di Bali, yaitu sebanyak 126 Puskesmas. SRQ (self reporting questionnaire) berisi 20 butir pertanyaan untuk skrining gangguan psikiatri. Sementara itu, SDQ (strengths and difficulties questionnaire) merupakan skrining perilaku singkat untuk anak dan remaja yang berusia di bawah 18 tahun.
Skrining kesehatan mental dapat diakses secara gratis melalui aplikasi SATUSEHAT. Penulis telah berusaha untuk mengakses layanan tersebut, tetapi sayangnya halaman skrining tidak dapat diakses dan hanya muncul keterangan loading. Kami berusaha menelusuri formulir skrining kesehatan mental melalui Simkeswa (Sistem Laporan Kesehatan Jiwa Se-Indonesia) Kemenkes dan berikut formulir skrining kesehatan mental yang kami dapatkan:
Skrining untuk anak hingga remaja dibedakan karena mereka tergolong sangat rawan. “Di bawah 18 tahun kita fokus ke teman sebaya, tapi kalau di atas 18 tahun dengan SRQ itu kita fokus pada emosional aja,” ungkap Anom. Dalam hal ini bukan hanya Dinas Kesehatan yang bergerak, tapi juga profesi dari lintas sektor, mulai dari psikiater, guru BK, kader di desa, dan sektor lainnya.
Selain upaya preventif, Dinkes juga melakukan upaya promotif seperti edukasi penyuluhan oleh petugas Puskesmas maupun kader di institusi yang telah dilakukan skrining. “Kemudian pelayanan individu atau konseling sudah ke arah preventif atau kuratif,” imbuh Anom.
Skrining kesehatan mental mulai dilakukan sejak 2023 dengan jumlah orang yang telah melakukan skrining sebanyak 5.546 orang yang berusia di atas 15 tahun. Setelah skrining dilakukan, apabila terdapat permasalahan akan dikonsulkan ke dokter Puskesmas. “Kalau tidak bisa diselesaikan oleh dokter di Puskesmas, harus ke psikiater rumah sakit,” ujar Anom.
Cedera akibat bunuh diri tak ditanggung BPJS Kesehatan
Jaminan kesehatan gratis merupakan salah satu program yang dicanangkan Koster – Giri dalam janji politiknya. Saat ini, jaminan kesehatan di Indonesia, yaitu BPJS Kesehatan menanggung layanan kesehatan mental, mulai dari gangguan mood, gangguan psikotik, gangguan kecemasan, OCD, ADHD, PTSD, hingga skizofrenia. Meski begitu, BPJS Kesehatan tidak menanggung cedera akibat bunuh diri karena termasuk dalam menyakiti diri sendiri.
“Bayangkan nih orang dengan halusinasi menyuruh dia bunuh diri karena sakitnya itu kemudian dia mencederai diri, tidak ditanggung. Keseluruhannya tidak ditanggung ya kan, depresi gangguan yang lainnya pun tidak ditanggung, itu seluruh nasional,” ungkap I Gusti Rai Putra Wiguna, psikiater Bali Mental Health Clinic.
Rai mengungkapkan bahwa angka bunuh diri di Bali tinggi pada lansia, terutama yang mengalami gangguan kronis. “Pernah nggak kita berpikir kenapa orang yang ditanggung kesehatan fisiknya itu malah ingin bunuh diri. Berarti kan tidak hanya itu saja ya,” ujar Rai.
Terkait program layanan konsultasi kesehatan mental yang disampaikan oleh Koster – Giri, Rai mempertanyakan kontinuitas program tersebut. “Kita perlu tanya lagi delivered nggak, kalau delivered digunakan nggak sama masyarakat, continue nggak mereka ya, perlu hal-hal itu,” ungkap Rai.
Masalah lain juga terjadi ketika hanya sedikit RSU (Rumah Sakit Umum) di Bali yang memiliki bed untuk gangguan mental. Di RSUD Wangaya hanya 1 bed, RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah terdapat 7 bed, sedangkan yang terbanyak ada di Rumah Sakit Jiwa berlokasi di Kabupaten Bangli, yaitu sekitar 400 bed.
“Misalnya enggak usah besar-besar, 2% – 3% dari total bed rumah sakit keseluruhan saja cukup. Kita bayangkan nanti belum masuk berita aja orang upaya bunuh diri kita selamatkan, sampai di rumah sakit pulang paksa dan kita biarkan,” ungkap Rai ketika mengungkapkan harapannya untuk penambahan bed gangguan mental di RSU.
Selain jumlah bed di RSU, seharusnya tenaga kesehatan di Puskesmas pun ditingkatkan, mengingat banyak program yang dimasukkan ke Puskesmas. Dilansir dari Satu Data Indonesia Provinsi Bali, tenaga kesehatan di Puskesmas berjumlah 525 orang yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, dan tenaga kesehatan lainnya.
Belum terdapat data mengenai tenaga kesehatan mental secara spesifik di Puskesmas. Meski begitu, Rai mengungkapkan pemerintah dapat mencontoh Yogyakarta, yaitu satu psikolog di satu puskesmas. “Pasien saya yang stres banyak tenaga kesehatan Puskesmas. Bukan soal insentif, tapi beban kerja. Ada satu yang satu orang megang tiga program, gimana mau berjalan dengan baik,” terang Rai.
Kesehatan mental merupakan isu yang perlu lebih banyak perhatian, mengingat angka suicide rate di Bali adalah yang tertinggi di Indonesia pada tahun sebelumnya. Salah satu quotes yang diungkapkan oleh Rai, yaitu “civilization died by suicide, not by murder” menjadi pengingat untuk pemerintah bahwa kesehatan mental bukan sekadar masalah yang dapat diselesaikan dengan satu program tanpa keberlanjutan.