Tulisan ini sebenarnya bahan laporan saya untuk persiapan field trip wartawan peliput Konferensi tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua Desember nanti. Melalui teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, seorang teman dari Internews Bangkok minta tolong saya untuk cari lokasi field trip yang nyambung dengan dampak perubahan iklim di Bali.
Ada empat syarat: 1) sesuatu yang khas Bali, 2) relevan dengan isu perubahan iklim, 3) ada narasumber untuk isu tersebut, dan 4) mudah dijangkau.
Dari hasil diskusi Kamis dua pekan lalu di Kuta, kami memilih tiga calon tempat: Jatuluwih, Serangan, dan Tenganan yang akan dikunjungi sekitar 30 wartawan dari Asia Tenggara dan Asia Selatan itu. Sebenarnya saya berpikir tentang kerusakan Pantai Lebih di Gianyar dan Padanggalak, Sanur. Tapi karena saya tidak tahu narasumber di dua lokasi itu dan setahu saya belum ada analisis khusus tentang kerusakan di sana, jadi ya abaikan saja. Kami diskusi saja tentang Jatiluwih, Serangan, dan Tenganan.
Tugas saya melakukan survei awal ke tiga tempat itu, menentukan narasumber, dan membuat rencana teknis pas hari H 8 Desember nanti. Dan, inilah laporan perjalanan melelahkan mencari jejak dampak perubahan iklim di Bali itu.
Jatiluwih, Tabanan
Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan, sekitar 60 km utara Denpasar, jadi pilihan untuk lokasi field trip karena di tempat ini bisa jadi adalah sawah dengan terasering terbagus di Bali. Sawah seluas 303 hektar itu berbentuk naik turun sehingga seperti undak-undakan. Mirip karpet hijau dengan gelombang di banyak bagian. Subak, sebagai sebuah kelompok maupun sistem irigasi tradisional, membuat kondisi sawah di sini masih relatif bagus.
Namun, entah berhubungan langsung atau hanya dua fakta yang terpisah namun terjadi bersamaan, perubahan iklim (climate change) memang berdampak juga hingga di sini. Wayan Sukabuana, salah satu petani di Jatiluwih mengaku tiga tahun terakhir kondisi di sana makin berubah. “Sumber air banyak yang berkurang alirannya,” kata petani yang juga bendesa adat di Jatiluwih ini. Wayan menyebut dua contoh, Subak Candi Kuning dan Subak Tukad Yeh Pusih.
Bahkan, lanjutnya, kadang aliran air sampai berhenti ke sebagian sawah. Akibatnya, sawah pun kering. Sukabuana mengaku dari 40 are sawah miliknya, sekitar 39 are gagal panen akibat kekurangan air.
Ketika aku berkunjung ke sana, ada sebagian sawah yang memang mengering. Seorang petani perempuan tua sedang memetik tomat pemilik tanah mengering meski di bagian rendah itu. Tidak jauh darinya, sebagian padi di sawah mengering. “Dirusak tikus,” katanya.
Banyak padi yang mati. Padahal menurut Wayan Sumiata, petani lain di sana, hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kekurangan air itu, kata Wayan, berdampak hingga kurangnya air yang biasa digunakan warga sehari-hari untuk minum, mandi, atau memelihara terbak. Warga yang biasanya mendapat air itu dari sumber air lewat pipa kini harus mengambil air dari tukad (sungai) dan telabah (telaga).
Penyebabnya? Keduanya diam cukup lama. Hutan masih hijau. Sebab meski tidak ada aturan adat yang melarang penebangan hutan, namun tidak banyak warga yang menebang hutan. “Mungkin pengaruh proyek-proyek besar di sekitar Batukaru,” kata Wayan Sumiata, mantan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) itu. Maksud mereka adalah pembangunan Pembangunan Listrik Tenaga Uap di Bedugul, tak jauh dari situ.
Wayan menambahkan kalau berkurangnya debit air juga karena adanya alih fungsi. Sebagian warga tidak menanam padi lagi tapi beralih ke tanaman coklat dan pisang. Namun saat ini tanaman pengganti itu pun bermasalah. Pisang busuk. Coklat tidak berbuah.
Namun, semua kondisi itu tidak membuat Wayan Puja, pekaseh (pemimpin subak) di Jatiluwih di khawatir. Puja membantah jika saat ini terjadi kekurangan air di Jatiluwih. “Kalau sekarang sebagian kering, itu karena memang musim kering. Kalau Desember pasti sudah basah lagi,” katanya.
Menurut mantan pegawai Telkom ini, sesuai perkiraan, saat ini memang musim subak abian (kering). Kira-kira sampai Desember nanti akan begini. “Pada Januari 2008 kami akan mulai bertanam padi Bali, sehingga kondisi lebih hijau lagi,” ujarnya.
Ketika sudah musim tanam padi Bali, semua petani di Jatiluwih akan menanam jenis padi bali. Kalau ada yang menanam padi jenis lain pada musim tanam Bali, maka petani itu akan mendapat sanksi untuk melakukan caru. Aturan ini sudah ada di awig-awig dan perarem (hukum tradisional Bali).
Alasan Puja sepertinya logis. Namun aku sih curiga ada sesuatu yang dia sembunyikan. Menurut dua Wayan sebelumnya, baru tiga tahun terakhir terjadi kekurangan air di Jatiluwih. Seumur-umur belum pernah terjadi. Menurut mereka, Jatiluwih memang sedang menyembunyikan masalah kekeringan itu. Sebab, mereka sedang dalam proses oleh Unesco untuk menjadikan Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia. Salah satu syarat untuk menjadi WBD adalah bahwa kondisi di daerah itu tidak boleh bermasalah.
Karena itu, mereka sendiri mengaku, bahwa kalau ada tim dari Unesco mereka tidak pernah menyampaikan masalah tersebut. “Kami hanya menunjukkan daerah-daerah yang masih hijau,” kata Sukabuana.
Well, itulah kondisi di Jatiluwih. Sekarang ke lokasi kedua.
Pulau Serangan, Denpasar
Karena Serangan adalah lokasi paling dekat dari rumah, saya sebenarnya berniat ke sini kalau dua lokasi lain sudah beres. Tapi karena Pak Nyoman Sadra, narasumber di Tenganan baru bisa Sabtu ini, jadinya aku ke Serangan duluan. Tak apa-apa. Yang penting semua bisa selesai.
Serangan jadi pilihan menarik karena pulau kecil ini adalah korban kerakusan pariwisata Bali. Mulanya Serangan adalah pulau kecil yang terpisah dari daratan Bali oleh selat sempit, sekitar 2 km.
Pada 1992, Serangan direklamasi oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID). Pulau ini luasnya jadi 491 hektar dari yang luas semula hanya 112 hektar. Bayangkan, urukan pasir yang dikeruk dari pantai sekitar pulau kecil ini membuat ukuran Serangan jadi empat kali lipat luasnya.
Pembangunan oleh PT BTID di mana dua anak Soeharto, Bambang dan Tommy, terlibat di dalamnya, terhenti akibat krisis ekonomi pada 1997. Meski demikian, pembangunan yang terhenti sementara itu tetap meninggalkan masalah bagi warga setempat baik secara ekologis (lingkungan) maupun sosial. Penyu, ikan hias, dan terumbu karang hilang karena dikeruk. Warga setempat pun kehilangan pekerjaan sebagai nelayan. Mereka kini kerja serabutan.
Sejak awal pembangunan Serangan memang penuh masalah. Tentara terlibat memaksa warga untuk menjual tanahnya. Pada zaman itu, siapa sih yang berani melawan tentara.
Mengunjungi Serangan selalu seperti mengunjungi teman lama. Saya punya kenangan sendiri atas pulau ini. Pada 18 April 2001, ketika saya masih di Pers Mahasiswa Akademika, Universitas Udayana Bali, kami bikin diskusi tentang nasib Serangan. Diskusi di wantilan Pura Sakenan Serangan itu mengundang warga setempat, dosen, dan tentara. Eh, pas diskusi baru dimulai, datang dua mobil penuh berisi preman. Tanpa ba bi bu mereka langsung memukuli Wayan Patut, narasumber dari masyarakat Serangan yang selama ini getol menolak reklamasi. Diskusi pun bubar. Anehnya, tentara yang kami undang hanya diam melihat pemukulan itu.
Soal Serangan saat ini, kapan-kapan saja deh saya posting lagi. Banyak yang menarik soale. Sekarang balik ke soal rencana field trip saja.
Jejak-jejak dampak perubahan iklim itu memang tidak langsung terasa. Penyebab paling jelas di Serangan adalah reklamasi itu. perluasan pulau hingga empat kali lipat membuat perubahan aliran arus di sekitar pantai. Menurut beberapa ahli lingkungan yang pernah saya wawancarai perubahan arus ini mengakibatkan rusaknya pantai di Padanggalak, Mertasari, dan Sanur.
Selain ya itu tadi, hilangnya ikan hias, terumbu karang, dan penyu. Binatang terakhir itu padahal maskot Serangan.
Nah, sejak 2003, warga Serangan menanam terumbu karang buatan. Ide Patut, teman lama yang kini sudah dapat Ashoka Fellowship, penghargaan untuk para aktivis, itu berkembang. Dari hanya 500 terumbu karang kini sudah jadi sekitar 20.000 bibit koral di 3 hektar area.
Masalahnya, koral itu pun ditanam di areal milik PT BTID. Menurutku sih ini akan jadi masalah suatu saat nanti antara warga Serangan dengan PT BTID yang sekarang mulai beraktivitas lagi.
Tenganan, Karangasem
Ada yang menyebut bahwa orang Bali pada umumnya adalah orang-orang Jawa yang meninggalkan Majapahit ketika Islam mulai menggantikan Hindu sebagai agama utama di Jawa. Hanya sedikit orang Bali yang benar-benar Bali dalam artian bukan orang Jawa yang ke Bali pada masa Majapahit.
Orang Bali asli (kurang lebih sebut saja begitu, meski asli juga sesuatu yang sangat terikat waktu) itu tinggal di beberapa desa yang disebut bali aga. Nah, Tenganan adalah salah satu desa bali aga itu. karena itu Tenganan juga punya beberapa tradisi yang beda dengan Bali pada umumnya.
Contoh paling jelas, tidak ada Nyepi di Tenganan. Ketika umat Hindu Bali pada umumnya tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati geni), tidak bersenang-senang (amati lelanguan), dan tidak bepergian (amati lelungan), maka tidak demikian dengan warga Tenganan. Mereka tidak melakukan semua itu. bekerja biasa saja asal tidak keluar desa karena menghormati umat Hindu lain yang sedang Nyepi.
Balik ke soal field trip. Tenganan jadi pilihan karena di desa ini masih memegang kuat tradisi untuk tidak menjual tanah dan menebang hutan. Tradisi ini selain melalui ritual juga melalui zonasi (pengaturan ruang). Waduh, agak njelimet. Tapi intinya kurang lebih ya membagi ruang sebagaimana peruntukan.
Selain masih memegang kuat tradisi ritual, mereka juga masih melaksanakan aturan yang melindungi lingkungan. Misalnya aturan untuk tidak menjual tanah. Sebab tanah di sini milik bersama (komunal), bukan individu. Selain itu warga juga harus melindungi hutan. Warga tidak boleh menebang pohon kecuali dengan alasan khusus yang sudah disetujui oleh rapat desa. Tujuan khusus itu misalnya membangun rumah baru bagi pasangan suami istri baru.
Untuk melindungi lingkungannya, warga melakukannya melalui dua hal: ritual dan zonasi. Ritual itu misalnya dengan sembahyang (sala satunya tumpek bubuh, untuk menghormati tanam-tanaman). Sedangkan zonasi melalui pengaturan untuk membangun di wilayah tertentu. Dengan ritual, zonasi, dan aturan tradisional ini warga masih mampu menjaga sekitar 200 hektar hutan di sekeliling desa ini.
Tidak ada dampak langsung akibat perubahan iklim di sini. Nyoman Sadra sempat cerita tentang kerusakan tanah di sawah akibat Revolusi Hijau. Tapi karena fokusku ke sini untuk melihat lebih jauh tradisi setempat untuk menjaga hutan dan tanah, jadi ya abaikan saja dulu cerita itu. Kapan-kapan sajalah.
Untuk sekarang saya sudah tidak sabar menikmati ikan laut di warung Merta Sari Pesinggahan, Klungkung. Lalu habis itu pulang ke Denpasar. Istirahat. [b]