STIKOM Bali berhasil memproduksi ulang film Bali kuno 1928.
Film dalam bentuk kepingan CD dan DVD tersebut diharapkan bisa mengobati kerinduan masyarakat Bali untuk mengetahui kehidupan Bali zaman baheula yang ditampilkan dalam gambar hitam putih.
Menurut Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Teknik Komputer (STMIK) STIKOM Bali Dadang Hermawan keberhasilan itu membuktikan kepedulian dan kecintaan STIKOM Bali terhadap seni dan budaya Bali. “Kami sekaligus telah menyelamatkan sebagian kecil dari begitu banyak warisan seni dan budaya Bali kuno tahun 1928 yang kini masih tersebar di mancanegara,” kata Dadang.
Proyek pembuatan ulang film Bali kuno bertajuk Restoration, Dissemination and Repatriation of the Earliest Music Recording And Films in Bali tersebut dipimpin I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem.
Menurut Dadang Hermawan, proyek prestisius ini dapat terlaksana setelah STIKOM Bali memenangkan dana hibah dari City University of New York (CUNY) dan Mellon Foundation senilai USD 25.000. “Ini bukti bahwa STIKOM Bali telah mendapat kepercayaan dari perguruan tinggi ternama di dunia,” kata Dadang.
Dadang melanjutkan pemulangan kembali dan digitalisasi rekaman-rekaman audio piringan hitam dan film Bali kuna ini melengkapi prestasi STIKOM Bali. Para mahasiswa sudah banyak mengangkat warisan budaya Bali sebagai tugas akhir (skripsi). Antara lain skripsi tentang “Augmented Reality Semar Pagulingan”, belajar tari Legong melalui Android, atau terjemahan bahasa Bali ke bahasa lain melalui Android, dain lain-lain.
Koordinator proyek I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem kemudian mengisahkan perjuangan panjang dan melelahkan membuat ulang film ini yang menghabiskan waktu hampir dua tahun. Menurut Marlowe, semua materi dalam film ini bersumber dari piringan hitam hasil rekaman Odeon dan Becca tentang gamelan dan tembang-tembang kuno Bali dan film-film hitam putih karya Collin McPhee selama periode 1928 – 1938.
Collin McPhee (1900-1964) adalah seorang komponis dan pianis asal Kanada. Ketika menetap di New York tahun 1930 dia mendengar untuk pertama kalinya beberapa hasil rekaman Odeon dan Becca. Mereka terinspirasi sehingga McPhee dan istrinya, Jane Belo datang dan menetap di Bali tahun 1931 – 1938.
Dalam memoarnya “A House in Bali” Mc Phee menulis, ”Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa beberapa piringan hitam itu akan mengubah keseluruhan hidupku, mendorong dan membawaku kemari, mencari musik dan pengalaman yang begitu sulit kujelaskan”.
Made Marlowe Bandem menjelaskan, proses repatriasi film ini tidak mudah karena pemegang hak waris piringan hitam itu keberatan “barang berharga” itu dipinjam untuk diproduksi ulang. Kesulitan pertama soal hak cipta. Kedua, soal keselamatan piringan hitam tersebut.
Tetapi setelah dijelaskan bahwa tujuannya murni untuk pendidikan bagi generasi muda Bali, akhirnya mereka mau menyerahkan sehingga bisa diproduksi ulang. “Satu-satunya piringan hitam asli dengan lebel tulisan aksara Bali kami temukan di arsip Jaap Kunst Universitas Amsterdam, Belanda yang berhasil kami copy,” lanjut Marlowe.
Kesulitan lainnya, demikian Marlowe Bandem, adalah pemugaran kualitas audio dari rekaman-rekaman piringan hitam, pengaturan kecepatan dari film-film. Maklum saja karena rekaman sudah terlalu lama. Tetapi atas keuletan dan kepiawaian tim kerja sehingga hal itu bisa teratasi.
“Hasilnya terdengar dan terlihat lebih nyambung dan mendekati kualitas penikmatan yang baik,” katanya.
Marlowe menambahkan, proyek pembuatan film ini melibatkan The Research Foundation of the City University of New York (CUNY) dan The Andrew A. Mellon Foundation untuk mendukung penelitian ini dengan Edward Herbs sebagai pemimpin proyek, etnomusikolog dan peneliti utama, bersama Arbiter of Cultural Traditions di New York di bawah pimpinan Allan Evans dan STMIK STIKOM Bali di bawah koordinasi Marlowe Makaradhwaja Bandem.
Menurut Edward Herbst, meski film tanpa suara, setidaknya masyarakat Bali yang ada sekarang maupun yang akan datang dapat melihat para seniman beken Bali di masa lampau seperti I Maria yang kini namanya diabadikan untuk gedung kesenian di Tabanan, atau Ida Boda dari Geria Kaliungu Denpasar. Ada juga cuplikan upacara agama yang dipimpin oleh Ida Pedande Made Sidemen.
Tak hanya itu, film ini juga menggambarkan keindahan agro wisata Jatiluwih, Tanah lot, Sungai Ayung, suasana pasar tardisional, penguburan jenazah (nanem), pembakaran jenazah (pelebon) hingga membuang abu jenazah ke laut (memukur). Hal menarik dari koleksi Bali 1928 ini adalah semuanya merupakan hasil repatriasi ‘pemulangan kembali’ dan digitalisasi terhadap piringan-piringan hitam yang pertama kalinya dibuat pada 1928 di Bali dan Lombok oleh perwakilan perusahaan rekaman Odeon dan Becca dari Jerman.
Koleksi 5 DVD Bali 1928 memuat pelbagai cuplikan film tentang ranah berkesenian dan kehidupan di Bali masa tahun 1930-an yang bersumber dari film-film karya Colin McPhee, Miguel Covarrubias dan Rolf de Maré. “Repatriasi koleksi Bali 1928 ini sangat penting sebagai sebuah catatan sejarah akan kreativitas para empu, sekaa tari dan tabuh yang secara revolusioner telah menghasilkan karya-karya puncak pada zamannya,” tukas Edward Herbst. [b]
Memproduksi Ulang Rekaman Bali Kuno 1928 – BaleBengong.id
aithkxgtnbw
[url=http://www.g38523x4i6po5233zchz8zy4w1hb3y1hs.org/]uithkxgtnbw[/url]
ithkxgtnbw http://www.g38523x4i6po5233zchz8zy4w1hb3y1hs.org/