Secara bahasa, memori kolektif bisa didefinisikan sebagai kesadaran atau pengalaman, kejadian yang sudah berlalu yang masih tertanam dalam ingatan bersama sebuah kelompok masyarakat. Inilah yang saya tangkap dari beberapa film pendek yang diputar di acara pemutaran film dengan tema Monograph yang diselenggarakan Minikino di Mash Denpasar, Jumat, 19 Desember 2024.
Acara ini menampilkan tujuh film pendek yang berasal dari berbagai negara di Asia. Penayangan film ini merupakan bagian dari program tamu Asian Film Archive (AFA) dan juga merupakan bagian dari pemutaran film bulanan yang diselenggarakan oleh Minikino.
Ide dari ketujuh monograf yang ditayangkan merupakan research atau pengalaman personal para pembuat film. Esai-esai yang mereka kerjakan diterjemahkan dalam gambar-gambar bergerak yang semakin sarat makna.
Rasanya, karya-karya yang ditayangkan juga personal. Sumber-sumber gambar atau video didapatkan dari beragam arsip. Dari dokumentasi pribadi, arsip-arsip perfilman, video-video youtube dan sumber-sumber lain.
Yang menjadi menarik adalah bagaimana narasi-narasi yang disampaikan erat kaitannya dengan ingatan-ingatan bersama terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu.
Film berjudul, APAT (2023), karya Nazira Karimi, dari Kazakhstan, menurut saya film yang memberi sudut pandang yang segar. Film ini membahas tentang identitas yang dibuat samar bagi orang Kazakhstan di bawah rezim Uni Soviet pada masa lalu.
Dalam film, sang narrator menyatakan bahwa dirinya dibesarkan dengan bahasa Rusia. Selain itu, menjaga root atau akar kedaerahannya, dia juga harus tetap belajar bahasa Kazakhstan dan Tajikistan.
Di adegan berikutnya, dia menampilkan melalui gambar-gambar bagaimana tempat tinggalnya dulunya ramai. Pasar-pasar, kehidupan sosial masyarakat, dan sistem transportasi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Namun, perang dan konflik membuat segalanya berubah. Kejatuhan Uni Soviet pada tahun 1991 mengharuskan kawasan-kawasan ini memulai proses menemukan identitas mereka kembali.
Film dengan judul Letter to T: In Nuclearity We are Connected (2023), karya Zimu Zhang dari China atau Xinjiang Uighur, juga menampilkan bagaimana nuklir dan propagandanya dahulu pernah sekali digemari.
Ada banyak sekali paradoks dan anomali dari karya ini. Setelah bom nuklir dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, pembuatan bom nuklir agaknya menjadi perlombaan tidak resmi bagi negara-negara waktu itu.
China sendiri melakukan uji coba nuklir pertama kali tahun 1964. Peristiwa ini menjadi penanda sejarah bagi negara tirai bambu tersebut. Uji coba “Bom Rakyat” nama yang disematkan pada bom nuklir ini terus dipropagandakan dan diulang-ulang oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Propaganda terus diulang-ulang dengan berbagai polesan. Namun, dalam film digambarkan bahwa realitas kian menjadi hal yang sumir untuk dibicarakan. Lokasi asli uji coba nuklir di Lop Nur terletak di wilayah Xinjiang yang kebanyakan dihuni oleh kelompok etnis Uighur kian terlupakan.
Pada akhirnya, saya rasa film ini ingin menunjukan kembali bahwa memori tentang peristiwa dan lokasi peristiwa uji coba bom untuk proletar tersebut tak boleh dienyahkan dan dilupakan begitu saja. Karena, bukankah dahulu mereka pernah menjadi begitu penting?
Film lain dari China berjudul Swiming, Dancing juga menarik sekali. Film ini menampilkan adegan dimana Sang Pemimpin Mao, berenang menyebrangi sungai Yangtze lalu mengatakan tidak ada suatu yang terlalu besar untuk ditakuti. Film esai menggambarkan bagaimana pemerintah melakukan propaganda untuk tidak takut atas apapun.Termasuk kepada negara adidaya Amerika.
Ada juga film dari Vietnam yang membahas ulang bagaimana pembuat film di negara tersebut memandang Vietnam dari waktu ke waktu. Selain itu, film dari Bangladesh meninjau kembali mengenai ruang dan waktu bisa mewakili sebuah generasi.
Namun, film yang paling menarik dari penayangan kumpulan film pendek bertema Monograph hari itu adalah film dari India berjudul “In The Forest One Thing Can Look Like Another” karya Priyanka. Seorang filmmaker yang berasal dari India.
Saya pikir, kata forest di judul film ini artinya film India. Karena pada dasarnya, dalam sebuah film, suatu hal bisa terlihat begitu berbeda. Atau sebaliknya. Film ini sarat akan kritik mengenai yang sering kali hanya menyuguhkan sisi-sisi terbaik saja.
Manali, sebagai latar film ini, diimajinasikan sebagai surga yang indah. Glaster, padang rumput hijau dengan latar belakang gunung Himalaya menjadi daya tarik utama lokasi syuting beberapa film Bollywood. Manali dianggap sebagai tempat yang sempurna untuk menggambarkan kisah cinta dan emosi bahagia.
Namun, film-film tersebut tidak menggambarkan perubahan Manali. Berdasarkan riset yang disebutkan dalam film, terungkap bahwa Manali berada di wilayah yang memiliki potensi gempa seismik pada skala yang bisa berbahaya. Selain itu, pembangunan dan eksploitasi berlebihan juga menyebabkan jalur menuju Manali sering mengalami banjir dan tanah longsor.
Film esai ini mengajukan seruan untuk meningkatkan kesadaran ekologis terhadap ekosistem Manali. Meskipun di sisi lain, Priyanka, pembuat film, dalam diskusi tidak menyangkal bahwa industri film dan pengambilan gambar di Manali memberikan kontribusi ekonomi. Namun, film ini memberikan pengingat bahwa realitas di balik layar bisa terlihat berbeda dari gambaran ideal dalam film-film Bollywood. Atau di hutan, sesuatu bisa bisa sangat berbeda.