
Dalam Agama Hindu, pernikahan adalah tahapan berumah tangga atau Grahasta Asrama. Pernikahan dimaknai sebagai yadnya dan perbuatan dharma. Namun, sering kali pernikahan tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan, sehingga berakhir dengan perpisahan atau perceraian.
Tidak semua pasangan memilih perceraian sebagai jalan tengah. Beberapa di antaranya memilih perpisahan tanpa adanya proses hukum. Kondisi ini dilalui adik dari Yanti. Sebut saya adik Yanti bernama Dika dan istrinya bernama Ratih (keduanya bukan nama sebenarnya). Kehidupan menikah Dika bertahan cukup lama hingga memiliki dua orang anak. Namun, saat umur pernikahan telah mencapai belasan tahun, Ratih memutuskan berpisah tanpa perceraian.
Setelah satu tahun hidup terpisah, Dika meninggal karena sakit. Anak Dika dan Ratih yang perempuan saat itu masih di taman kanak-kanak, sedangkan anak laki-lakinya duduk di bangku sekolah dasar (SD) ditinggalkan bersama keluarga Dika. Selama bertahun-tahun, Ratih tidak pernah mengunjungi anaknya hingga anaknya yang laki-laki duduk di bangku SMA. Berdasarkan penuturan Yanti, ketika Ratih mencoba berhubungan kembali dengan kedua anaknya, anak laki-laki Ratih sempat tidak mau menemui Ratih.
Meski begitu, Yanti mengaku tidak pernah membatasi interaksi keponakannya dengan Ratih. “Anak-anak yang kita bebaskan, kita nggak nutup komunikasi sama anak-anak. Kalau ibunya yang memilih menutup komunikasi sama kita. Sama anak-anak tetap komunikasi. Untuk biaya semua kami,” ungkap Yanti menjelaskan situasi pengasuhan saat ini. Yanti menerangkan bahkan hingga saat ini, anak Ratih dan Dika diasuh oleh keluarga Yanti.
Perpisahan tidak hanya berdampak pada pasangan suami – istri, tetapi juga berdampak pada anak. Penentuan hak asuh anak merupakan salah satu proses yang harus dilewati setelah perceraian. Dalam beberapa kasus, penentuan hak asuh anak tidak lepas dari konflik.

Selama tahun 2024, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali menerima 30 aduan terkait konflik pengasuhan anak, termasuk antara warga negara Indonesia (WNI) dan warga negara asing (WNA).
Ketua KPAD Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini menyebutkan bahwa dalam proses penentuan hak asuh yang berkepanjangan, anak justru menjadi korban egoisme orang tua. “Jadinya kayak orang tua menunjukkan bahwa aku lebih mampu, aku lebih berkuasa. Anaknya yang dijadikan alat untuk saling tarik menarik,” ungkap Yastini ketika dihubungi melalui telepon.
Kerap kali Yastini menemukan anak yang mengalami parental alienation syndrome (PAS) sebagai dampak dari perebutan hak asuh anak. PAS merupakan kondisi ketika anak berbalik melawan salah satu orang tua. Kondisi ini diakibatkan karena salah satu orang tua menghasut anaknya agar membenci salah satu pihak. “Padahal ini orang tuanya berkonflik, tapi anak yang paling menjadi korban sebenarnya,” terang Yastini.
Padahal, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 45 ayat (1) tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Sementara itu, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 pasal 14 ayat (2) tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan tentang hak anak ketika perceraian orang tua terjadi, yaitu:
- Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
- Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
- Memperoleh Hak Anak lainnya.
Namun, ada satu pola yang kerap ditemui Yastini ketika menghadapi kasus perebutan hak asuh anak di Bali, yaitu pihak laki-laki yang menuntut hak sebagai pradana. Fenomena ini tentu tidak terlepas dari sistem kekerabatan patrilineal di Bali.
Dilansir dari jurnal Perempuan Bali dalam Pergulatan Gender, dalam pernikahan masyarakat Hindu Bali terdapat konsep purusa dan pradana sebagai refleksi dari ajaran Agama Hindu tentang jiwa (purusa) yang identik dengan laki-laki dan material (pradana) yang identik dengan perempuan. Purusa melambangkan keabadian, sedangkan pradana sebagai sesuatu yang tidak kekal.
Pemahaman yang keliru tersebut membentuk masyarakat patrilineal Bali seperti saat ini. Dalam proses perebutan hak asuh anak, laki-laki sebagai pradana menganggap dirinya sebagai pihak yang memiliki hak terhadap hak asuh anak. Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDPBALI/X/2010 menyebutkan bahwa setelah perceraian, anak yang dilahirkan dapat diasuh oleh ibunya tanpa memutuskan hubungan hukum dan hubungan pasidikaran anak tersebut dengan keluarga purusa dan oleh karena itu anak tersebut mendapat jaminan hidup dari pihak purusa.
Jika dilihat dari MUDP di atas, ibu dapat memperoleh hak asuh anak, sedangkan purusa memiliki kewajiban dalam menjamin kehidupan anak. Keputusan tersebut sangat berbeda dengan Undang-undang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa kedua orang tua memiliki kewajiban membiayai hidup anak.
Yastini menyebutkan konflik purusa dan pradana ini biasanya sudah muncul sebelum kasus perebutan hak asuh dibawa ke pengadilan. Tapi ia tak mendampingi kasus seperti ini di peradilan. Namun, ada kebiasaan atau keyakinan bahwa pihak laki-laki yang berhak mengasuh anak. Imbasnya, pihak laki-laki kerap tidak memberikan izin kepada anaknya untuk menemui ibunya.
Pihak KPAD hanya sebagai pihak yang melakukan mediasi, berusaha untuk mengajak kedua pihak mencari solusi. “Misalnya bagaimana kalau mengatur jadwal pertemuannya. Misalnya dengan bapaknya hari sekolah, hari libur Jumat, Sabtu, Minggu dengan ibunya. Itu biasanya kita minta gitu, sehingga dua-duanya punya ruang untuk bisa bertemu anaknya,” ujar Yastini.
Dalam memediasi konflik perebutan hak asuh anak, KPAD lebih fokus pada kondisi anak, terutama hak anak untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Apabila anak mengalami trauma akibat kondisi tertentu, KPAD akan menganjurkan anak tersebut untuk konseling.
Dampak yang dirasakan oleh anak akibat perceraian sangat besar, terlebih pada kasus Yanti yang memutus hubungan secara sepihak. Trauma seperti yang dialami anak laki-laki Dika dan Ratih bisa saja terjadi atau bahkan trauma lain yang lebih besar.
Sementara itu, ketika suami – istri memutuskan untuk berpisah, anak seharusnya tidak menjadi alat tawar menawar untuk menunjukkan bahwa salah satu pihak lebih kuat. Sebagaimana yang dikatakan Yastini, anak bukan barang yang bisa diperebutkan. “Berikan ruang anak untuk tetap bertemu kedua orang tuanya, berikan kasih sayang terlepas orang tuanya sudah nggak saling menyayangi,” pungkas Yastini.
15 slot gacor gampang menang