Puluhan kegiatan diskusi membahas suka duka kota dan warganya dihadirkan di Urban Social Forum (USF) 9-10 Desember 2023 di Surakarta, Jawa Tengah. Sebuah pertemuan dan ruang yang membuat kita merefleksikan kota sendiri.
Dua lokasi simbol aktivitas kota menjadi titik temu, yakni SMPN 10 Surakarta dan Lokananta. Perpaduan energi pendidikan dan ekonomi kreatif. Peserta juga banyak dari berbagai komunitas dan organisasi luar Jawa Tengah. Kegiatan yang bisa menghadirkan khalayak berbagai latar belakang, temasuk komunitas jalanan kota karena memiliki ruang hidup yang sama.
Dikutip dari panduan panitia, USF merupakan agenda tahunan berbentuk ruang terbuka dan inklusif untuk berdiskusi tentang gagasan, bertukar pengalaman dan pengetahuan, serta ruang bertemu dan berjejaring aktivis sosial urban dan organisasi yang bekerja dan bergiat di isu-isu perkotaan di Indonesia.
USF diinisiasi oleh Yayasan Kota Kita (kotakita.org) di tahun 2013, berangkat dari sebuah kegelisahan tentang gerakan masyarakat sipil perkotaan yang cenderung terkotak-kotak berdasarkan sektor dan letak geografis. USF lalu hadir sebagai sebuah komitmen untuk pengadaan ruang terbuka di mana masyarakat sipil dan warga dari berbagai latar belakang dapat bertemu, berdiskusi, dan berjejaring.
Beberapa hal yang diharapkan dapat menjadi keluaran kegiatan ini adalah suatu kesadaran bahwa permasalahan, hingga aksi di kota adalah saling terkait, saling memengaruhi satu sama lain, interseksional, dan perubahan dapat dimulai dengan usaha membangun imaji bersama tentang kota yang diidam-idamkan bersama; inklusif, manusiawi, dan lestari. Visi tersebut dituangkan lewat pernyataan, yang merupakan tema besar USF dari tahun ke tahun, ‘Another City is Possible!’.
Pernyataan tersebut mengandung energi positif, ia adalah sebuah pemikiran, kepercayaan diri, dan harapan, kalau ‘another city’ (kota yang kita idam-idamkan, kota yang memberi kehidupan untuk semua) adalah mungkin, atau ‘possible’, lewat kerja dan semangat kolaborasi seluruh warga kota.
Dari tahun ke tahun, USF konsisten dihadiri banyak peserta dengan jumlah panel yang beragam. Sejak USF pertama kali diselenggarakan pada tahun 2013, kondisi perkotaan Indonesia telah mengalami beragam transformasi.
Didorong oleh perkembangan ekonomi, laju urbanisasi, dan perkembangan teknologi, isu dan tantangan yang dihadapi kini jauh lebih kompleks, terutama dampak dari krisis iklim. Di saat yang sama, sepuluh tahun terakhir juga telah memberikan warna baru pada gerakan masyarakat sipil perkotaan. Akses yang semakin mudah ke teknologi informasi dan media sosial, telah memperkuat kemampuan warga perkotaan, terutama orang muda, untuk aktif berpartisipasi dalam membentuk kota dan memantik diskursus yang lebih luas tentang pengembangan kota yang lebih baik untuk semua.
Sebagai ilustrasi, ketika tahun 2013 USF #1 dilaksanakan, ada premis tentang menyusutkan ruang civic di perkotaan karena jumlah dan peran aktor masyarakat sipil yang menurun drastis pada masa tersebut. Hal ini sinyalir karena beberapa faktor dominan, yaitu; (i) tingginya ketergantungan LSM pada donor sehingga ketika ruang pembiayaan dari donor menyempit, maka tumbanglah juga ketahanan atau resiliensi masyarakat sipil tersebut; (ii). Perubahan arah gerak masyarakat sipil yang lebih membutuhkan kapasitas kolaboratif serta kemampuan teknis lainya telah mendorong terpinggirkannya LSM-LSM yang lama dengan pola kritik yang vis-a-vis negara; (iii) dan tentunya munculnya pola baru gerakan di kalangan generasi baru, seperti voluntarisme kota, gerakan adhoc berbasis isu dan lain sebagainya.
Menginjak usia 1 dekade Urban Social Forum, menanyakan kembali bagaimana transformasi peran organisasi masyarakat sipil di sektor perkotaan menjadi sangat relevan. USF telah berhasil mempertemukan banyak aktor masyarakat sipil di 10 tahun keberadaannya. Ratusan organisasi, ribuan individu aktivis atau pegiat kota telah meramaikan USF, ratusan pakar dan ahli telah berbicara di panggung-panggung USF. Ruang inklusif ini telah merekam adanya dinamika perubahan kota dan perubahan masyarakat sipil dalam kota, dan 10 tahun keberadaannya tentunya meninggalkan jejak yang layak untuk dipresentasikan sebagai dokumen gerakan kota.
Panel pembuka pada 9 Desember di SMPN 10 Surakarta adalah Mencari Kota Idaman: Gerakan Masyarakat Mengubah Kota dengan pembicara Marco Kusumawijaya, arsitek dan aktivis perkotaan, Amalinda Savirani, Universitas Gadjah Mada, Aditya Purnomo Aji, Think Policy, dan Luh De Suriyani, BaleBengong, media jurnalisme warga di Bali.
Moderator oleh Ahmad Rifai, Yayasan Kota Kita merangkum sudut pandang seluruh narasumber mengenai filosofi tata ruang, kebijakan yang melibatkan anak muda, dan bagaimana warga memanfaatkan kanal pengaduan lewat media warga.
Dalam catatan panitia disebutkan, lebih dari setengah penduduk Indonesia saat ini tinggal di daerah perkotaan, dengan perkiraan angka ini akan meningkat menjadi 70 persen pada tahun 2045. Meskipun pertumbuhan ini diharapkan membawa peningkatan kualitas hidup bagi seluruh lapisan masyarakat, kenyataannya, kota-kota di Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks, seperti polusi, cuaca ekstrem, masalah pengelolaan sampah, serta ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
Dalam menghadapi kondisi perkotaan yang semakin menantang, mungkin kita sering merenung, apakah masih mungkin kita bergerak bersama untuk mewujudkan kota yang diidam-idamkan bersama, yang lebih baik untuk semua? Di tengah kompleksitas tantangan perkotaan, gerakan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam mempertahankan semangat kewargaan dan membangun agenda perkotaan yang kolaboratif dan lintas-isu.
Dalam konteks ini, Panel Pembuka Urban Social Forum bertujuan untuk memulai rangkaian acara Urban Social Forum dengan diskusi kritis mengenai semangat gerakan masyarakat sipil perkotaan dalam mendorong perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan di Indonesia. Mengundang perspektif dari berbagai latar belakang, panel ini akan merefleksikan transformasi gerakan masyarakat sipil perkotaan di Indonesia dari tahun ke tahun, dan mengapa kita perlu menjalin lebih banyak kerjasama dan aksi kolektif demi mewujudkan kota yang kita impikan bersama: kota yang inklusif, berkelanjutan, dan manusiawi.
Ahmad Rifai dalam pembukaannya mencoba refleksi kota dalam membangun masa depan, “apakah kota anda makin nyaman, makin aksesibel, makin hijau, makin demokratis, makin sehat?” tanyanya.
Marco yang baru meluncurkan buku bertajuk Kota Indonesia: Pengantar untuk orang banyak menyatakan ada pergeserran sosial budaya. Sebelum 1998 kebanyakan masyarakat sipil membela HAM tapi gerakan seni budaya dan ekonomi perkotaan sedikit. “Ini petanda baik, banyak sekali yang bicara kota,” sebutnya. Di sisi lain ada pesimisme karena dampak perubahan iklim pada kesehatan warga kota.
“Saya khawatir gerakan kita meningkatkan emisi, karena menuntut ini dan itu. Mendorong peningkatan konsumsi,” ingatnya.
Vanesha mewakili Yayasan Kota Kita Surakarta menyebutkan selama perhelatan The 10th Urban Social Forum dua hari di SMPN 10 Surakarta dan Lokananta pada tanggal 9-10 Desember, USF berhasil menyelenggarakan 11 panel diskusi, 6 lokakarya, 4 tur jalan kaki, dan 5 pemutaran film yang melibatkan 52 mitra dan kolaborator, 56 panelis dan moderator, serta 917 partisipan yang datang dari beragam organisasi serta asal kota.
situs mahjong