Tim BaleBengong (Yuko Utami, Juniantari, Bandem Kamandalu, Felixrio Prabowo)
Matahari bersinar begitu terik, I Wayan Doyok mengendarai sepeda motor menuju ke rumahnya dengan melewati jalan setapak. Semakin masuk, jalanan setapak itu didapati dalam kondisi tak beraspal dan berbatas. Sedikit saja lengah, pasti oleng dan jatuh sudah. Namun, Doyok telah terbiasa, semasa kecil ia telah diajarkan melewati medan jalan berpasir dan berdebu itu.
Rumah Doyok berada di sudut perbukitan Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Doyok adalah alumni dari Yayasan Ekoturin/East Bali Poverty Project (EBPP). Semasa di bangku sekolah, Doyok merupakan salah satu pemuda yang khawatir terhadap persoalan perkawinan anak di desanya. Ia mengaku angka perkawinan anak di Desa Ban mulanya cukup tinggi. “Saya merasa prihatin melihat teman-teman sekelas saya bahkan adik-adik kelas saya ada yang sudah menikah,” ujarnya.
Menurut Doyok, teman-temannya yang telah menikah, mengalami perubahan drastis dalam hidup mereka. Usia yang begitu muda, mereka harus mengurus keluarga dan anak. Termasuk mencari uang untuk kehidupan sehari-hari. Ketidaksiapan dari berbagai aspek itulah kerap menyebabkan terjadinya KDRT.
“Dari sana saya merasa bahwa hal ini harus segera dihentikan,” terang Doyok menggebu. Tak hanya Doyok, Ni Kadek Dina Guna Mikaria siswi alumni Sekolah Ekoturin mengungkapkan hal serupa. “Setahu saya, satu tahun yang lalu masih banyak sekali yang menikah muda, terutama di tahun 2022 banyak sekali teman- teman saya yang masih SMP, itu sudah hamil duluan dan menikah muda,” ujar Dina.
Permasalahan perkawinan anak di Dusun Manikaji membuat batin Dina bergejolak. Nasib perempuan muda di Manikaji menggerakkan hati Dina untuk tetap teguh meraih impian dan cita-citanya. Dina memutuskan tidak berpacaran dan kini ia tengah meneruskan studinya di IPB International Denpasar, mengambil jurusan bisnis internasional.
Gadis yang kini dalam masa penyelesaian tugas akhir ini mengatakan, para perempuan yang menikah muda berakhir menyedihkan. Kematangan mental dan kondisi ekonomi menghantarkan rumah tangga pasangan muda menuju lembah kekerasan yang kelam. “Mereka juga jadi sering bertengkar sama keluarganya, suaminya, juga gak tahu cara ngurus anak yang baik,” jelasnya.
Melihat kasus perkawinan anak yang meresahkan, Desa Adat Darmaji menggencarkan perjuangan kolektif melawan perkawinan anak, salah satunya kisah Doyok dan siswa EBPP lainnya. Ia memulainya dari dusun tempat tinggalnya, yaitu Dusun Darmaji. Perjuangan ini bukanlah upaya Doyok seorang diri. Guru di sekolahnya bagi Doyok berperan besar dalam membuka isu perkawinan anak agar menjadi pembahasan bersama seluruh masyarakat Darmaji hingga seluruh dusun di Desa Ban.
Doyok dan beberapa siswa Sekolah Ekoturin mengawalinya dengan mewawancarai warga khususnya perempuan yang menikah di usia anak. Proses wawancara ini dikerjakan selama mengikuti Program Kreatif Photovoices. Program ini mengajak anak-anak di EBPP untuk meneliti dan mengangkat permasalahan lokal yang ada di Desa Ban. Melalui penelitian terhadap persoalan yang ada, anak-anak mendokumentasikan dan mempresentasikan kepada pihak terkait seperti pemerintah maupun pihak swasta. Harapannya agar dapat ditemukan solusi bersama terhadap permasalahan yang ada.
Selama proses wawancara, Doyok dan teman-temannya didampingi Guru Sekolah Ekoturin salah satunya, I Gede Sudarma. Gede mengungkapkan dari proses wawancara itulah ditemukan beberapa faktor perkawinan anak di Desa Ban. Seperti anak-anak perempuan dengan psikis belum stabil menjalin hubungan dengan laki-laki dewasa; tekanan dari lingkungan terhadap pemuda/pemudi desa segera menikah; kurangnya pengetahuan tentang kesehatan dan hak reproduksi; hingga perjodohan dan restu dari orang tua yang menikahkan anaknya di usia dini; serta sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa pernikahan di usia anak adalah lumrah.
Menurut Gede, berbagai lembaga berperan besar dalam penggalian informasi kasus perkawinan anak di Desa Ban. Melalui program EMpower dan Photovoices International, Sekolah Ekoturin dapat menemukan semangat para siswa dalam menghapuskan perkawinan anak.
Membentuk Pararem untuk Melarang Perkawinan Anak
Melalui pertemuan bersama dengan berbagai lapisan masyarakat di Desa Adat Darmaji, maka disepakatilah sebuah upaya preventif melalui pembentukan pararem (aturan pelaksana setingkat desa adat di Bali) untuk melarang perkawinan anak. Pertemuan pembahasan pararem pertama, berawal dari presentasi dan pameran foto sebagai bentuk kegiatan akhir dari Program Photovoices tahun 2020/2021.
“Anak-anak menyarankan bahwa salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan membuat peraturan adat mengenai pernikahan di usia anak,” ujar Gede. Usulan yang disampaikan di Kantor Camat Kubu ini disambut baik oleh seluruh undangan yang hadir saat rapat tersebut. Dua dari 19 desa adat di Desa Ban, yaitu Desa Adat Darmaji dan Desa Adat Manikaji menyambut baik usulan tersebut.
Proses penyusunan pararem dibantu berbagai pihak seperti LBH Apik, organisasi bantuan hukum, dan Pihak Pemerintah Desa Ban. Pada November 2022 pararem disusun dengan mempertimbangkan beberapa hal. Doyok bersama teman-temannya secara rutin membagikan informasi kepada warga tentang bahaya perkawinan anak yang didapatkan selama di sekolah. Selama edukasi informal dengan para warga Desa Ban, Doyok menegaskan usia melangsungkan perkawinan harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu minimal 19 tahun.
Menurut Bendesa Adat Darmaji, Ketut Dayuh adanya pararem ini adalah pengikat bagi masyarakat dengan harapan mampu menekan adanya perkawinan anak. Ia mengaku, seluruh warga Desa Adat Darmaji merasa antusias dengan adanya payung hukum setingkat desa adat ini.
Terdapat beberapa sanksi yang dikenakan bagi pelanggar pararem ini. Pertama, pihak pengurus desa adat tak akan menyetujui pelaksanaan perkawinan dengan pasangan di bawah umur. Selanjutnya, denda uang sebesar Rp500 ribu atau beras yang setara dengan denda uang. Selain denda uang, orang/warga yang melanggar juga harus melakukan upacara pembersihan di Pura Kahyangan Tiga dan menulis surat permohonan maaf kepada warga lainnya.
Dayuh tak menampik, sebelum adanya pararem, perkawinan anak masih banyak terjadi. “Kalau dulu sebelum ada pararem di desa adat masih banyak di bawah umur yang nikah, perkawinan 15 tahun 16 tahun,” jelasnya. Pola pikir anak muda di wilayah Desa Adat Darmaji mulai berubah, bagi Dayuh adanya sosialisasi secara rutin membuat anak muda mengutamakan pendidikan atau mengikuti kursus agar dapat bekerja.
Pararem larangan perkawinan anak di Desa Adat Darmaji disahkan pada bulan Januari tahun 2023. Pengesahan ini mengikutsertakan berbagai kalangan dari anak remaja hingga orang tua, laki-laki dan perempuan. Hingga saat ini, hanya Desa Adat Darmaji dan Desa Adat Ban yang memiliki pararem pelarangan perkawinan anak, atau 2 dari 19 desa adat yang ada di Desa Ban. Dayuh berharap agar desa adat lainnya segera mengesahkan pararem ini, “semuanya harus dilakukan karena pararem itu pelindung untuk menyelamatkan anak-anak.”
Keberlanjutan Pendidikan dan Pemahaman Kesetaraan Gender adalah Senjata Utama
Perlawanan terhadap perkawinan anak di Desa Ban adalah salah satu kemajuan dari berbagai program dalam Ekstrakurikuler Youth Empowerment, dengan mengajak para siswa menjadi agen perubahan.
Kerja sama EBPP dan EMpower yang berlangsung sejak tahun 2015 ini telah mengupayakan pengembangan pendidikan melalui berbagai program. Beberapa program tersebut meliputi pengembangan keterampilan diri, nutrisi, kesehatan reproduksi, keuangan dan komputer, kerajinan bambu, kepemimpinan, berpikir kritis, dan kewirausahaan untuk memimpin desa kedepannya menuju masa depan yang sehat dan berkelanjutan. Tahun ini terdapat 138 siswa yang merasakan pengajaran dari program ekstrakurikuler ini, yang tersebar di 6 dusun yaitu Darmaji, Manikaji, Pengalusan, Bunga, Cegi, dan Jatituhu.
Pada bagian kesehatan dan hak reproduksi, Gede mengaku awalnya kesulitan dalam memberikan pemahaman kepada para siswa. “Memang sulit mengajarkan kesehatan reproduksi tetapi menurut saya ini adalah hal yang penting untuk diajarkan walaupun banyak yang mengatakan ini adalah hal yang tabu,” ungkap guru yang telah 10 tahun mengabdi di EBPP. Meskipun mulanya kesulitan, Gede mengingat bahwa remaja sangat rentan terhadap perilaku berisiko, sehingga amat penting mendapatkan pengajaran kesehatan dan hak reproduksi.
Anak-anak dikenalkan pula hak-hak atas tubuh, bagian yang tidak boleh disentuh orang lain. Termasuk mengenal organ reproduksi dan cara merawatnya, serta membuat keputusan atas organ reproduksi secara bijak. “Dengan kita ajarkan ini di sekolah mereka mulai memahami bahwa hal ini perlu dibicarakan dan mereka juga melaporkan bahwa mereka sudah mulai mengerti bagaimana merawat tubuh mereka terutama bagaimana menghindari perilaku-perilaku berisiko,” tutur Gede.
Pemahaman terhadap hak dan kesehatan reproduksi semakin lengkap berkat adanya pengajaran kesetaraan gender. Konsep kesetaraan gender diberikan kepada siswa dan siswi EBPP dengan harapan mampu membentuk ekosistem demokrasi yang setara antara laki-laki dan perempuan. Semula setiap rapat desa maupun desa adat yang didominasi laki-laki, kali ini perempuan turut terlibat di dalamnya.
Sedangkan dalam lingkaran terkecil seperti di sekolah, EBPP membuat kebijakan agar setiap sekolah mengirimkan calon pengurus OSIS dengan jumlah kandidat yang sama rata antara laki-laki dan perempuan. Pemilihan Ketua OSIS EBPP periode 2022-2023 dengan kebijakan kesetaraan gender, menghasilkan terpilihnya Ni Luh Soma Asih dari Sekolah Ekoturin Dusun Bunga.
Soma, begitu sapaan akrabnya mengaku bahwa implementasi kesetaraan gender di sekolah membuka kesempatan yang besar bagi perempuan untuk berkembang. Baginya, pendidikan kesetaraan gender dapat mempertegas pilihan anak-anak perempuan di Desa Ban bahwa masih ada pendidikan dan profesi impian yang harus diraih. “Di dusun saya belum ada perempuan yang melanjutkan pendidikannya lebih tinggi, cita-cita saya ingin jadi yang pertama melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau kursus dan bekerja di luar negeri,” jelas Soma.
Ia berharap impiannya itu mampu memotivasi anak-anak perempuan di dusunnya untuk mengejar mimpi dengan menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Hingga kini, Soma aktif dalam menyuarakan prinsip kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi sebagai salah satu upaya menghapuskan pernikahan anak di Desa Ban.
Senada dengan Soma, I Nengah Murta salah siswa Sekolah Ekoturin Dusun Pengalusan mengaku adanya pendidikan kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi menjadi bekal baginya untuk menggapai impian dan masa depan. Lelaki dengan jiwa seni ini, bersama rekan sebayanya mengeluarkan sebuah lagu kampanye anti pernikahan anak. Lagu berjudul Let’s Finish Education ini mengajak anak-anak untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih cita-cita. Uniknya lagu ini merupakan salah satu dari aktivitas program EMpower, melalui seni mengolah jiwa seni menjadi lagu pembawa pesan anti pernikahan anak.
Murta yang kini kelas 2 SMA ini bercita-cita bekerja di luar negeri. “Setelah tamat saya ingin kursus kapal, cita-cita saya dari kecil itu sejak SD, jadi saya fokus dulu sekolah belum berpikir untuk pacaran apalagi menikah,” tegas Murta.
Pendalaman prinsip kesetaraan gender juga diterapkan dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari, seperti pada mata pelajaran olah raga. Kegiatan olahraga antara siswa laki-laki maupun perempuan digabungkan. Sebab, prinsipnya adalah perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan.
Hingga kini Sekolah Ekoturin Yayasan EBPP terus bersinergi dengan masyarakat dan berbagai stakeholder mengembangkan Desa Ban, terutama menghapuskan perkawinan anak demi merawat asa anak-anak Desa Ban.
Perjuangan Doyok, Dina dan anak muda Ban secara berkelanjutan diresapi dan diperjuangkan oleh adik kelas mereka. Seperti kisah Ni Luh Soma Asih hingga I Nengah Murta, mereka adalah contoh hidupnya pengajaran kesetaraan gender maupun kesehatan reproduksi. Upaya menghapuskan pernikahan anak di Desa Ban masih terus berlanjut, dengan adanya kolaborasi berbagai lini. Niscaya asa anak-anak Desa Ban terhadap masa depan yang cerah senantiasa hidup dan berdenyut.
Peta storymap (silakan klik jika kesulitan membuka peta interaktif ini) https://storymaps.arcgis.com/stories/bc1b87dd680648ecad686507bd55ca52