“Hidup adalah serangkaian terapi panjang, untuk Sembuh dari trauma
Karena dilahirkan” –Aan Mansyur
Terapi yang ku lakukan kali ini adalah terapi perjalanan. Beberapa waktu lalu aku mencari tempat melarikan diri dari duka, aku menamai perjalananku kali ini sebagai perjalanan mengobati diri, meskipun sepulang dari perjalanan mengobati diri aku tau tidak akan pernah sembuh.
Melalui benda pintar ditanganku, benda yang bisa memperkenalkan tempat-tempat asing, memperkenalkan sebuah tempat bernama Banjar Kekeran, Kec. Penebal, Kab. Tabanan, Bali. Yang saat ini sedang gencar memperkenalkan menuju Desa Pariwisata melalui Sosial Media.
Di depan Solaria di Bandar Udara Ngurah Raih sudah ada Bli yang akan mengantar ke Banjar Kekeran. Di sepanjang jalan menuju Banjar Kekeran aku melewati Kota Denpasar yang terasa Sunyi meskipun banyak wisatawan Lokal maupun Internasioanl. Aku sengaja tidak memilih Denpasar karena aku tahu Denpasar akan seperti Kota yang lain, Sunyi yang ramai dan ramai yang sunyi.
Aku seperti melihat semua orang mengobati diri di bali, semua orang yang duduk di dalam café, berjalan di trotoar, semua pendatang melakukan perjalanan mengobati diri, seperti semua orang, seperti aku. Semua took oleh-oleh memgingatkanku akan Buku Puisi Jazuli Imam yang berjudul Oleh-oleh Khas Jalan Sunyi, oleh-oleh itu ia bawa dari perjalannya.
Dua jam dari Denpasar, aku sampai Pukul 09.00 Malam, sampai ke tempat yang begitu sunyi, begitu gelap, aku seakan memasuki malam, malam yang benar-benar malam, malam yang dalam, malam tempat yang nyata bersembunyi dan yang tidak nyata menampakkan diri. Di sinilah yang ada dan tidak ada dapat bertemu. Sekarang, yang tidak ada terasa ada. Dan yang ada terasa tidak ada. Begitulah suasana di Banjar Kekeran kala malam. Di depan griya, mbak Jelita menyambutku dan mengantar ke kamar untuk langsung tidur karena perjalanan panjang dari Makassar.
Aku sengaja bangun pagi untuk melihat matahari terbit di persawahan warga. Banjar Kekeran yang tadi malam hanyalah kegelapan dimataku kali ini mulai menampakkan diri. Dari jendela kamar ku lihat ibu paruh baya sembahyang di Pura. Aku yang seorang muslim memperhatikan dengan seksama. Aku lekas keluar sebelum tempat ini benar-benar terang, di depan sudah ada mbak Jelita, menuju area persawahan aku berpapasan dengan beberapa warga yang habis sembahyang.
Sapaan warga desa terasa nyata, senyum mereka terasa alamiah, sealamiah tempat ini, rasanya aku tak bisa berkata-kata, baru kali ini aku melihat alam dan manusianya tampak begitu alamiah, biotik, kala. Selama ini aku hanya mengenal Bali melalui novel yang ku baca, seperti Tarian Bumi misalnya.
“Desa ini lagi gencar-gencarnya persiapan menuju desa wisata. Kami semua, BWCC dan warga di sini menggunakan sosial media untuk memperkenalkan Banjar Kekeran. Segala macam kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga.”
Ini semua untuk keberlanjutan pemberdayaan perempuan dan masyarakat Bali, Kebudayaan, wisata alam, kuliner local, homestay, balai pertemuan, wadah pemberdayaan masyarakat, intinya semua ini pengelolaan SDA dan SDM di sini. Mereka mempergunakan teknologi digital untuk sama-sama memperlihatkan Kekeran di Tabanan.
Dapat ku bayangkan tempat ini kelak, beberapa saat ke depan akan ramai orang asing, akan terjadi akulturasi budaya, akan terjadi percampuran alamiah dan tidak alamiah dari orang- orang yang berasal dari luar. Sebetulnya aku ingin Kekeran akan selalu menjadi Kekeran yang kudatangi kini, kekeran yang alamiah, tapi melalu teknologi digital seperti sosial media, apalagi kata mbak Jelita LBH BWCC dan Warga Banjar Kekeran sedang gencar-gencarnya mempromosikan Kekeran sebagai Desa Wisata, maka ke depannya akan sangat cepat terekspos ke dunia luar.
“Pemakaman di bali biasanya di belakang, tapi pemakaman di sini ada di depan, ada dugaan bahwa dulu tempat ini adalah tempat persembunyian pada zaman belanda,” kata mba Jelita. Dan aku ingin tempat ini terus tersembunyi, aku ingin warga di sini tetap bersembunyi dari dunia luar, terpisah dari dunia luar, baik dulu maupun kini. Tapi ini semua untuk pemberdayaan masyarakat ke depannya.
Mereka harus memperkenalkan diri kepada dunia melalui media teknologi dan informasi. Toh selama ini penghasilan utama Bali selama ini dari pariwisata. Warga bisa memanfaatkan alam, kuliner lokal, homestay, kerajinan tangan sebagai oleh-oleh, dari desa wisata dan para warga dapat hidup sejahterah dan memperoleh keuntungan dari ini. kami memperkenalkan semua itu melalui sosial media dan dunia akan segera tau bahwa Bali bukan hanya Denpasar, Kuta, Ubud dan tempat terkenal di bali Lainnya tapi di Bali masih banyak Desa-desa Wisata, salah satunya Desa Wisata Kekeran.
Desa-desa di Bali yang punya potensi Pariwisata dengan SDA dan SDM menungjang harusnya mencontoh bagaimana pengurus serta para warga yang gencar memperkenalkan Desa Wisatanya sendiri melalui sosial media.
Saya yang sudah lama hidup di perkotaan yang ramai namun terasa sunyi hanya mampu membayangkan bagaimana hidup di desa. Selama ini saya hanya mampu membayangkan, memimpikan dan mengimajinasikan desa tempat tinggal ternyaman, tempat saya bisa hidup tenang dan damai. Tempat sunyi tapi tidak mencekam, tempat basah namun tidak licin, tempat dingin tapi tidak membuat menggigil, sunyi, basah dan dingin adalah desa yang selama ini ada dalam impian saya. Namun di kekeran yang saya kenal melalui media sosial sebagai produk digital memperkenalkan dan mengantarkan saya ke banjar kekeran, sebuah desa yang selama ini hanya ada dalam impian saya.
Di perjalanan pulang sehabis melihat matahari terbit saya berpapasan dengan sekeumpulan warga yang membawa aneka sajen dan dupa yang kata mbak Jelita akan melakukan upacara ngaben. Lalu saat hendak pulang ke rumah penduduk tempat saya menginap saya juga berpapasan dengan banyak orang asing yang sepertinya bukan warga asli kekeran di lihat dari pakaian dan wajahnya.
Kata Mbak Jelita mereka adalah Peserta Learning SAFEast, para jurnalis Indonesia Timur yang melakukan pelatihan Jurnalistik di Kubu BWCC. Ini adalah salah satu bentuk strategi dan kerjasama LBH BWCC untuk memperkenalkan Desa Wisata Juga, yaitu bekerja sama dengan para jurnalis dari berbagai media, karena melalu media local maupun nasional dapat membantu memperkenalkan kekeran kepada Indonesia, kepada dunia.
Ternyata, melalui teknologi, banyak sekali cara atau strategi untuk memperkenalkan desa wisata kekeran,
Ku bayangkan lagi bagaimana Desa Wisata Kekeran ke depannya, lalu lalang orang asing, percampuran budaya, pergeseran makna. Masa, manusia dan alam memang bukan makhluk abadi, semua adalah fana. Untuk kesejahteraan masyarakat ke depannya, mereka harus mau keluar dari kungkungan adat dan tradisi, mereka harus mengikuti zaman, kemana zaman mengarah dan kemana zaman pergi mereka harus ikut, jika tidak mereka akan tertinggal.
Begitulah kehadiran teknologi digital membantu para warga kekeran memperkenalkan Desa Wisata mereka melalui sosial media maupun kerja sama dengan para jurnalis media massa untuk pemberdayaan alam dan manusia, agar terciptakan kesejahteraan yang selama ini diangankan. Melalui pariwisata dapat membantu perekonomian warga masyarakat.
“Hidup adalah serangkaian terapi panjang, untuk Sembuh dari trauma
Karena dilahirkan” –Aan Mansyur
Seperti puisi di atas, semua yang datang dapat menjadikan Banjar kekeran sebagai tempat terapi, terapi untuk sembuh dari trauma berkepanjangan yang dialami manusia karena dilahirkan adalah tragedy, karma, hukuman. Barangkali terapi perjalanan ke desa wisata kekeran yang sunyi tapi tidak mencekam, dingin tapi tidak membuat menggigil, basah tapi tidak licin dapat sedikit mengobati sakit karena dilahirkan, karena hidup. Istilah anak zaman sekarang “Healing”, Pengobatan, penyembuhan diri. Meskipun kita semua tahu, tidak ada kesembuhan yang benar-benar sembuh, kita hanya melarikan diri, hanya diri, hanya tubuh, jiwa entah dimana.
Suasana pagi hari di Kekeran dengan udara yang sangat bersih, cocok untuk terapi. Ibu-ibu, baru saja selesai sembahyang di Pura.