Jika seseorang meninggal sebagai umat Hindu di Bali, maka harus melalui upacara Ngaben. Upacara Ngaben di Bali butuh biaya belasan hingga puluhan juta, tenaga yang tidak sedikit dan waktu yang tidak sebentar. Namun tidak demikian di Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.
Pada 27 Januari 2024, saat rombongan peserta kegiatan Melali ke Desa sampai di Desa Penatahan, Juni Antari selaku pemandu rombongan dari Bale Bengong mengatakan bahwa masyarakat Desa Penatahan mengadakan upacara Ngaben hanya setengah hari dengan biaya yang murah. Itupun sudah sekalian dengan upacara Ngeroras.
Upacara Ngeroras adalah lanjutan dari upacara Ngaben yang pengeluarannya hampir sama dengan Ngaben bahkan mungkin lebih. Wisatawan sudah familiar akan branding Bali dengan seni dan budayanya yang kompleks, sakral, magis dan penuh filosofi sehingga terbangun juga narasi bahwa menjadi orang Bali itu rumit dan ribet. Namun Desa Penatahan berani melawan narasi tersebut dengan penyederhanaan Upacara Ngaben dan Ngeroras-nya sembari masih memegang identitas sebagai umat Hindu Bali.
Apakah penyederhanaan itu mengurangi esensinya? Tentu akan menjadi perdebatan menarik. Kebetulan saat kegiatan Melali ke Desa kemarin tidak ada masyarakat yang mengadakan upacara Ngaben dan Ngeroras tersebut sehingga penulis tidak dapat bercerita lebih detail. Perjalanan pun dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati persawahan dan rumah masyarakat sekitar yang masih tradisional.
Desa Ramah Gender dan Anak
Belum cukup dengan upacara yang sederhana, Desa Penatahan berani beda pada aspek lain yaitu dengan branding desanya bertajuk “ramah gender dan anak”. Ujung tombak dari branding ini adalah sebuah LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang berbasis di Dusun Kekeran, Desa Penatahan bernama BWCC (Bali Women Crisis Center) yang digagas oleh Ni Nengah Budawati.
Saat rombongan Melali ke Desa berkunjung ke BWCC, ibu-ibu yang tergabung dalam LBH tersebut menyambut dengan ramah dilanjutkan dengan acara santap siang. Saat sesi diskusi berlangsung Budawati menyampaikan bahwa branding ramah gender dan anak muncul sebagai respons atas isu yang cukup mainstream yaitu kekerasan terhadap wanita dan anak.
Layaknya LBH lainnya, BWCC melayani mereka yang membutuhkan tenaga hukum secara gratis. BWCC juga mengadakan pelatihan bagi masyarakat setempat yang berminat menjadi Paralegal atau pendamping hukum oleh warga. Pelatihan paralegal yang difokuskan untuk kaum wanita ini diharapkan dapat membangun kesadaran di masyarakat untuk berani melawan segala bentuk kekerasan terhadap wanita dan anak melalui jalur hukum.
Saat sesi tanya jawab, salah satu peserta Melali ke Desa bernama Dodi menanyakan terkait fenomena Nyentana yang ngetren di Desa Penatahan. Nyentana sendiri berarti pernikahan adat di Bali dimana mempelai wanita mengambil peran lebih dominan daripada laki-laki.
Pernikahan ini biasanya terjadi karena keturunan atau anak-anak dari sebuah keluarga, berjenis kelamin perempuan semua. Budaya Bali yang secara umum patrilinial cenderung memandang pernikahan Nyentana sebelah mata. Namun untuk kesekian kalinya masyarakat Desa Penatahan memiliki cara pandang berbeda. Sesuai brandingnya “Ramah Gender”, tidak hanya mengangkat derajat perempuan tetapi juga memaklumi laki-laki yang memilih menikah Nyentana di Desa Penatahan. Pernikahan Nyentana sebenarnya sudah cukup diterima oleh masyarakat Kabupaten Tabanan pada umumnya.
Ketiga poin diatas cukup menegaskan bahwa Desa Penatahan tergolong anti-mainstream di Bali sehingga menjadi salah satu pilihan destinasi wisata yang menarik.