
Haru biru kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Bupati (Pilbud) Bali lalu menghadirkan satu fenomena yang mungkin tidak terlihat gamblang. Yang terlihat jelas di permukaan adalah berbagai janji yang diucapkan para calon jika terpilih nanti. Umbaran janji tersebut seolah tanpa nalar sehingga dengan mudah diterima begitu saja oleh massa rakyat yang menghadiri kampanye. Tapi sadarkah kita dibalik kampanye yang terjadi sebenarnya massa rakyat telah disingkirkan keberdayaannya untuk mencerna berbagai janii tersebut.
Massa rakyat yang hadir dianggap adalah kumpulan orang yang bisa dikendalikan dan diarahkan begitu saja untuk mengikuti kemauan dari para elit ini. Berbagai cara mobilisasi dilakukan, baik dengan cara yang relatif sederhana menggunakan kekuatan finansial maupun mengendalikan desa adat untuk mengerahkan krama (warga) menghadiri kampanye. Politik mobilisasi ini memiliki sejarah yang panjang di Bali. Belum lekang dalam ingatan–dan karena hal ini kembali diulangi–dengan menggelar Medharma Suaka, kebulatan tekad, hingga yang lebih senyap karena blusukan ke pura-pura paibon hingga berbagai kegiatan sosial di lingkungan desa adat dan banjar.
Tapi tunggu dulu, itu saat mereka membutuhkan suara rakyat untuk kepentingan elektoral semata. Mereka, para elit jika kemudian berhasil–dengan mengeluarkan biaya milyaran rupiah–menjadi pejabat negara di eksekutif maupun legislatif, akan berhitung kembali untuk memikirkan rakyat. Memang tidak semuanya, tapi masuk dalam rimba negara dengan berbagai layers (lapisan) dan kepentingan membuat watak dan karakteristik diri menjadi berubah seketika.
Para elit politik ini adalah bagian dari penyelenggara negara jika mereka merebut kekuasaan dan pada sisi lain (jika mau) melakukan oposisi. Watak dan karakteristik negara inilah yang perlu diperhatikan dengan cermat sekaligus critical. Untuk soal ini, James C. Scott dalam Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed (2017) memberikan kita persepktif bagaimana sebenarnya cara pandang negara terhadap berbagai hal yang ingin diaturnya. Hal ini dilakukan oleh negara nantinya untuk menopang berbagai kepentingannya, mulai dari pengumpulan pajak, pengendalian politik warga, kemudahan pengawasan, hingga pelacakan para pembangkang dan pelanggar hukum. Semua itulah yang disebut Scott dengan rekayasa sosial (social engineering).
Lebih lanjut Scott mengungkapkan bahwa terdapat empat elemen yang memungkinkan proses rekayasa sosial oleh negara bisa dijalankan sepanjang waktu, dimana terjadi hegemoni peran negara dalam pengaturan dan pengendalian kehidupan warga yaitu: pertama, tertib administrasi sosial dan sumberdaya alam. Negara melakukan berbagai penyederhaan yang menyingkirkan kompleksitas, lokalitas, dan minoritas, semata-mata untuk menciptakan keteraturan kehidupan warga. Rakyat hanya dilihat sebagai barisan statistik agar memudahkan dalam pengendaliannya.
Hal kedua adalah penerapan ideologi modernitas tingkat lanjut (high modernism). Negara berusaha keras mentransformasikan kekuatan sains dan teknologi dalam rangka menggenjot produktivitas. Negara berusaha keras memanfaatkan sains dan teknologi untuk menyingkirkan kompleksitas, lokalitas, dan minoritas, semata-mata demi mempromosikan homogenitas dan menggenjot produktivitas.
Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah pengendalian kekuasaan oleh negara (authoritarian state). Dari hal ketiga inilah kita mengenal perang, revolusi, perjuangan merebut kemerdekaan nasional, bahkan depresi yang melanda negara-bangsa. Elemen keempat sangat terkait dengan elemen ketiga, yaitu ketidakberdayaan masyarakat sipil menghadapi segenap rencana yang dirancang negara. Perang, revolusi, dan depresi memiliki kaitan yang sangat erat dengan keberadaan elemen keempat (Santoso, 2017: 202).
Politik Pemberdayaan
Satu kata lainnya yang jamak kita dengar saat kampanye lalu adalah pemberdayaan masyarakat. Kata ini meluncur mulus dari kampanye para elit praktis dalam berbagai bidang kehidupan. Seolah pemberdayaan menjadi panacea untuk berbagai persoalan. Begitu juga yang berkaitan dengan situasi yang terjadi di tengah masyarakat.
Pemberdayaan selalu berkaitan dengan proses berjalannya pemerintahan desa, namun cenderung hanya memfokuskan kepada isu administratif, seperti tercermin dalam logika “tata kelola” yang menyingkirkan permasalahan mendasar yang terjadi di tengah masyarakat desa. Bahasa Tania Li (2012) menyebutnya dengan teknikalisasi. Seperti yang diungkapkannya dengan sangat tajam bahwa wacana partisipasi dan pemberdayaan dalam wacana dan praktik pembangunan hanya terhenti dalam upaya menggelar ranah teknis dan menepis tantangan politik sehinga terhenti kepada berbagai upaya-upaya dan program semata.
Implikasinya sungguh serius. Berbagai proyek-proyek partisipatif yang merangsang diskusi pada akhirnya tidak memberikan perhatian sungguh-sungguh pada persoalan yang muncul dari diskusi tersebut. Masyarakat sendiri merasa sia-sia membuang waktu berjam-jam, berhari-hari untuk mengikuti rapat untuk membuat gambar dan membuat diri mereka terlihat menarik di mata pembesar yang memberi mereka bantuan sekadarnya tanpa serius menanggapi persoalan mendasar mereka sebenarnya, seperti akses terhadap tanah dan kedaulatan untuk mengelola tanah mereka sendiri. Tapi pada sisi yang lain, pemberdayaan juga bisa dicerna oleh masyarakat telah sungguh-sungguh membuka mata masyarakat bagaimana mengambil langkah selanjutnya dalam kehidupan mereka. Masyarakat yang semula dibayangkan sebagai ranah perbaikan akhirnya berubah menjadi ranah timbulnya gugatan dan perlawanan (Li, 2012: 487-488).
Pada sisi yang lain, pemberdayaan masyarakat yang partisipatif juga mengandung berbagai keterbatasan. Pertama, sangat sedikitnya perhatian yang ditujukan pada sifat rezim yang berkuasa. Pada titik ini perspektif dari Scoot menjadi sangat penting. Rezim penguasa lalu ditempatkan sebagai mitra pembangunan. Biarpun pemerintah sering mendukung kekerasan serta pelanggaran hak asasi, para donor internasional tetap berasumsi bahwa pemerintah masih berfungsi atau dapat berfungsi demi kepentingan umum. Kedua, sedikit sekali perhatian ditujukan relasi kekuasaan terselubung di antara wali masyarakat dan masyarakat yang mereka bina. Seorang wali masyarakat yang berniat memberdayakan orang lain harus mengambil kedudukan sebagai ahli, yang memiliki kemampuan untuk mendiagnosa kekurangan orang lain, dan sanggup mengobatinya. Pemberdayaan masih merupakan hubungan kekuasaan. Keterbatasan ketiga, adalah mengesampingkan faktor-faktor struktural yang menjadi sumber kesenjangan dari ranah teknis dan terfokus pada ranah lokal, tempat masyarakat yang sudah dibina diharapkan mampu memperbaiki keadaan hidup dengan upaya mereka sendiri (Li, 2012: 485-486).
Program pemberdayaan masyarakat yang menganggap dirinya partisipatif seharusnya memperhatikan relasi-relasi kuasa yang tercipta secara struktural yang sebenarnya memanipulasi partisipasi tersebut. Tetapi yang justru terjadi adalah suara masyarakat dikendalikan, dibatasi ruang geraknya, dan memanipulasinya untuk representasi partisipatif tersebut. Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat tidak lebih hanya kata yang dikemas sedemikian rupa dengan menyederhanakan makna sebenarnya. Pemberdayaan dan partisipasi yang penuh makna politik kemudian dikemas menjadi kata yang tidak bermakna apapun (hampa makna).

Diferensiasi Desa dan Kuasa Elit
Hilangnya perhatian terhadap diferensiasi sosial ekonomi yang terjadi di desa-desa juga menjadi isu lainnya. Diferensiasi yang dimaksudkan adalah ketegangan yang terjadi antara elit kampung dengan orang-orang biasa, antara orang tua dan orang muda, serta antara laki-laki dan perempuan akan ditemukan di dalamnya, di mana patriarki dan gerontokrasi, dalam beragam tingkat, menjadi bagian dari tatanan kehidupan sehari-hari masyarakat di kampung.
Kajian dari White (2017; 2016) dalam salah satu tulisannya yang mengkritik Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan gamblang mengungkapkan bahwa ketika tokoh-tokoh desa (yang hampir selalu laki-laki tua) mengalokasikan hak untuk mengolah lahan, mereka tidak terlalu memperhatikan kebutuhan dan hak kaum perempuan atau kaum muda yang memerlukan lahan untuk penghidupan mereka. Pada era menjangkitnya pengambilalihan lahan oleh korporasi saat ini, sudah ada juga kecenderungan di kalangan tokoh desa untuk memperkaya diri mereka sendiri dan kroni atau sanak famili mereka dengan jalan mempermudah pelepasan lahan kepada pihak luar yang boleh jadi menggerogoti atau meluluh lantakkan hak-hak adat petani penggarap skala kecil.
Fragmentasi dan begitu banyaknya lapisan sosial di tengah masyarakat mengerucut kepada dominasi elit yang seolah-olah menjadi representasi atau wali masyarakat. Oleh sebab itulah White (2017: 21) dengan mengutip salah satu pembicara asal Indonesia dalam salah satu konferensi internasional di Bali mengungkapkan “Apa yang paling dibutuhkan oleh masyarakat adat di Indonesia sekarang adalah pembebasan dari elite mereka sendiri.”
Kesadaran atas kompleksitas yang terjadi di tengah masyarakat desa kurang begitu diperdalam dalam studi-studi tentang perubahan sosial sebelumya. Perspektif ini memandang bahwa komunitas yang berada di kampung-kampung adalah orang-orang homogen, egaliter, tanpa kelas sosial yang diikat oleh nilai-nilai sosial budaya yang menjiwai seluruh kehidupan mereka yaitu gotong royong, harmoni, dan kerukunan tanpa adanya pertentangan atau konflik. Jika terjadi konflik, hal itu adalah sebuah “kesalahan” atau patologi yang bisa diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Perspektif inilah yang dominan dan mewarnai kajian tentang perdesaan yang alpa melihat diferensiasi sosial di tengah masyarakat kampung.
Krusialnya peranan para elit lokal dalam berbagai program yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat sudah ditengarai Li (2000; 2012) perlu dilihat lebih mendalam sekaligus kritis. Program tata kelola pemerintahan, pemberdayaan masyarakat yang dianggap partisipatif–yang seolah-olah membela masyarakat untuk kemandirian–ternyata tidak menyentuh hal-hal struktural yang krusial. Salah satu hal struktural yang krusial tersebut adalah permasalahan kemiskinan, marjinalisasi, dan beroprerasinya kekuasaan yang secara struktural dalam menindas masyarakat.
Satu hal yang menjadi peringai negara, yang diterjemahkan oleh para elitnya adalah menumpuknya kekuasaan kepada segelintir elit local dengan keragamannya masing-masing. Mereka inilah yang mengakumulasi modal ekonomi dan politik untuk kepentingannya sendiri dan kelompoknya. Para elit local ini termasuk kepala desa, kepala kampung/desa/banjar, kepala adat, atau para elit adat yang memiliki akses lebih leluasa untuk merengkuh kekuasaan (lokal).
Daftar Pustaka
Li, T.M. 2012. The Will to Improve, Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia (terjemahan Hery Santoso dan Pudjo Semedi), Jakarta: Marjin Kiri.
Li, T.M. 2000. “Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resources Politics and the Tribal Slot.” Comparative Studies in Societies and History 42 (1): 149-179. DOI: 10.1017/S0010417500002632.
Santoso, H. 2017. “Negara dan Sindrom Otak Kiri.” Ulasan buku Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed karya James C. Scott. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial 36: 199–211.
Scott, J.C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven (Amerika Serikat) dan London (Inggris): Yale University Press.
White, B. 2017. UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa: Pertarungan Visi dan Wacana dalam Penelitian dan Kebijakan. Wacana: Jurnal Transformasi Sosial, 36, 15-28.
Makna res dalam kata publik mesti disegarkan kembali. Narasi dialektika ditumbuhkan. Tulisannya kritis. Mantap