Rasa salak yang disajikan I Nyoman Sepel Dyantara terasa berbeda.
Manis. Tidak ada rasa sepet sama sekali. Benar-benar manis. Teksturnya empuk dan agak renyah. Berbeda dengan salak pada umumnya yang agak sepet dan keras.
Satu lagi, salaknya segar. Begitu digigit, kadar airnya masih tinggi. Salak jadi agak basah. Terasa sekali bahwa dia baru dipetik dari pohonnya.
Pekan lalu, ketika saya bersama anak istri, baru tiba di sekretariat kelompok tani itu, salah satu petani baru datang dari kebun salak. Dia menyuguhkan tiga tandan salak yang baru saja dipetik kepada kami.
Kebun salak itu persis berada di belakang sekretariat Kelompok Tani Mekar Sari. Kebun ini hanya satu dari ratusan hektar kebun salak di Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Jarak desa ini sekitar 2 jam perjalanan dari Denpasar.
Secara geografis, desa ini memang sangat ramah bagi budi daya salak. Sibetan terletak di ketinggian 350-900 meter di atas permukaan laut. Tekstur tanah di sini berlempung pasir. Keasaman tanah asam-netral dengan kelembapan tinggi. Curah hujan berkisar 100 mm per bulan. Suhu udara rata-rata 25,6 derajat Celcius.
Tanah vulkanik sisa letusan Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali yang pernah meletus pada tahun 1963, di sepanjang daerah perbukitan desa ini menambah subur Sibetan. Maka, daerah ini pun rumah tak hanya bagi salak tapi juga tanaman lain seperti pisang, durian, dan buah tropis lainnya.
Bergantung
Namun, di antara buah-buahan tersebut, salak yang paling populer. Buah ini seperti menjadi ikon desa, bukti betapa pentingnya salak bagi desa. Sibetan pun identik sebagai desa salak. Coba saja Anda ketik “Sibetan” di Google, baik di web maupun image, maka hampir semua informasi yang keluar di mesin pencari tersebut adalah salak, salak, dan salak.
Saking terkenalnya salak sebagai komoditas utama Sibetan, menurut Sepel, warga pun dulunya bergantung pada buah-buahan ini. Sepel salah satunya. Sejak SMA dia sudah bersekolah di Mataram, di pulau seberang Bali, Lombok, karena orang tuanya merasa sanggup menyekolahkan anak dari hasil bertani salak. Sepel juga kemudian kuliah di Mataram, sesuatu yang jarang bisa dilakukan warga desanya.
“Karena itu, salak bagi kami adalah Sarana Ampuh Lahirkan Anak Kampus,” katanya kemudian tertawa.
Menurut Sepel, yang juga Ketua Kelompok Tani Mekar Sari, di desanya ada sekitar 14 jenis salak. Misalnya salak gula pasir, salak nangka, salak bali, salak nanas, salak kelapa, dan lain-lain. Jenis paling banyak adalah salak gula pasir, salak nenas, dan salak nangka.
Salak gula pasir itulah yang disuguhkan ketika kami ke sana. Sepel menerima kami sambil duduk lesehan di sekretariat kelompok. Selama sekitar 1 jam dia bercerita tentang pahitnya nasib petani salak di desa ini.
Cerita Sepel terasa ironis ketika dibandingkan dengan suasana di sekretariat Mekar Sari. Di dalam rak di pojok ruangan semi terbuka ini, terdapat belasan cindera mata dari pelajar, mahasiswa, ataupun kelompok lain yang pernah berkunjung dan belajar di Mekar Sari.
Kebun milik petani Sibetan jadi tempat belajar petani tak hanya dari berbagai daerah di Indonesia tapi juga dari luar negeri.
Di dinding sekretriat, selain papan struktur kelompok juga terdapat piagam penghargaan dari beberapa lembaga terhadap kelompok tani ini. Ada pula foto pendiri Kelompok Tani Mekar Sari I Wayan Putu Ardika ketika menerima penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bukti keberhasilan kelompok ini.
Tak Berarti
Toh, semua bukti kunjungan dan penghargaan itu seperti tak berarti ketika petani menghadapi masalah pemasaran.
Tiap tahun, petani Sibetan panen salak selama dua periode, periode puncak pada Januari hingga Maret dan periode kedua dengan jumlah lebih sedikit pada Agustus hingga September. Awal Maret lalu, puncak panen baru saja berlalu.
Sibetan merupakan desa penghasil salak gula pasir. Salak jenis ini paling terkenal di Bali selain salak bali. Penyebabnya, rasa salak gula pasir yang manis, berbeda dengan salak jenis lain. Harganya pun paling mahal, hingga Rp 15.000 per kg sementara salak jenis lain hanya Rp 5.000 atau bahkan kurang ketika musim panen tiba.
Menurut Sepel, tiap tahun, petani bisa panen sekitar 3 kg per pohon. Dengan jumlah luas lahan rata-rata 50 are berisi 1.200 pohon, tiap petani bisa panen kira-kira 1,8 ton per musim panen atau sekitar 3,6 ton per tahun. Dengan sekitar 30 anggota, Kelompok Tani Mekar Sari bisa mendapatkan kira-kira 30 ton tiap enam hari sekali.
“Jumlah yang sangat banyak,” kata Sepel.
Prinsip ekonomi pun berlaku untuk komoditas salak. Ketika pasokan salak berlimpah di musim panen, harga turun tak terkendali. Salak gula pasir, misalnya, dari semula Rp 15.000 per kg menjadi Rp 5.000. Salak bali dari Rp 5.000 bisa hanya Rp 1.000 per kg.
Maka, “Petani hanya bisa pasrah mau dibeli berapa pun. Daripada dibiarkan membusuk di kebun,” ujar Sepel.
Kalah
Petani salak lain di Desa Duda Utara, Kecamatan Selat menceritakan hal yang tak jauh berbeda. “Kami terpaksa menjual murah. Kalau dipasarkan ke Kota (Denpasar) mungkin bisa dapat harga lebih tinggi, namun kalah dengan biaya tenaga dan transportasi,” kata I Wayan Pica Antara.
Menurut Pica, selama ini sebagian besar petani salak belum banyak mengolah buah salak tersebut menjadi produk lain. Misalnya kripik, dodol, dan lain-lain. Selain karena belum mampu, modal untuk usaha pengolahan tersebut pun mahal.
Cara lain yang pernah dilakukan adalah melalui pemasaran bersama oleh petani. Itu pun tak berjalan dengan baik. Pengepul hanya mau membeli salak jika mereka mendapatkan order dari pembeli. Jika tidak ada, maka pengepul tak datang ke desa mereka. Harga yang mereka tawarkan pun, menurut Pica, lebih rendah daripada harga pasar.
Selisih harganya Rp 50 per kg yang jika dikalikan dengan total, bisa sampai ratusan ribu, jumlah besar pagi petani kecil di Karangasem.
Akibatnya, lagi-lagi, salak kemudian diobral dengan harga murah meriah. Paling parah, salak manis dan segar itu dibiarkan begitu saja. Terbuang sia-sia di antara kebun-kebun petani menjadi pupuk organik bagi tanaman semak berduri itu atau menjadi pakan babi.
Jika dijual melalui pengepul, rantai pemasaran pun jadi lebih panjang. Dari petani, salak yang dipanen akan lari ke pengepul di tingkat desa, dari tingkat desa lari ke tingkat kecamatan, dari kecamatan ke pengepul di kabupaten lalu baru ke pasar besar sebelum dijual dari pasar ke pedagang. Terakhir barulah buah tiba di tangan pembeli.
“Idealnya petani menjual ke kelompok tani, KUD atau asosiasi pasar petani. Dari kelompok tani bisa langsung ke pembeli, misalnya hotel atau pasar oleh-oleh,” ujar Sepet.
Petani Kecil
Tapi, ini bukan perkara mudah juga bagi petani yang rata-rata petani kecil. Petani butuh modal besar sementara mereka sendiri bahkan hanya petani penggarap, bukan pemilik lahan.
Bersama anggota kelompok, Sepel juga pernah memasarkan langsung ke hotel-hotel di Sanur maupun Denpasar. Menurut Sepel pihak hotel meminta penjualan dengan sistem konsinyiasi, barang diberikan dulu, pembayaran menyusul.
“Kami harus menunggu berbulan-bulan untuk pembayaran sementara kami butuh uang segera. Maka, kami tak lagi melakukan penjualan ke hotel,” ujar petani yang juga sarjana pendidikan dari Unversitas Mataram ini.
Susahnya penjualan salak ke hotel-hotel di Bali, menurut Sepel, adalah ironi. Dengan sekitar 7.000 hotel menurut data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (HRI), Bali seharusnya bisa menerima seluruh jumlah salak dari petani.
“Nyatanya, hotel-hotel di Bali lebih senang buah impor daripada buah lokal,” kata Sepel. [b]