• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Thursday, October 9, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Mall Sebagai Cermin Paradoks Bali Modern

Putu Adi Widiantara by Putu Adi Widiantara
7 October 2025
in Kabar Baru, Opini
0 0
0

Belakangan ini, Bali kian dipenuhi pembangunan pusat perbelanjaan. Dari Denpasar hingga Badung, proyek mall baru terus bermunculan, seolah menandai “kemajuan” urban. Mall memang menawarkan kenyamanan: udara sejuk, hiburan lengkap, dan ragam pilihan belanja. Namun di balik gemerlap itu, ada sederet konsekuensi sosial dan ekologis yang jarang dibicarakan.

Fenomena ini penting kita kritisi, bukan untuk menolak mall secara mutlak, melainkan agar arah pembangunan kota tidak jatuh pada jebakan konsumsi semata.

Ruang Publik yang Ternyata Privat

Mall sering disebut “ruang publik baru.” Tetapi mari jujur, ruang publik yang seperti apa? Memang kita bisa masuk tanpa tiket, namun hampir semua aktivitas di dalamnya mendorong kita untuk berbelanja. Bagi mereka yang ekonominya pas-pasan, mall justru terasa seperti ruang eksklusif, bukan ruang tempat mereka bebas berinteraksi.

Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di Bali pada 2022 hanya 4,53%, relatif rendah dibanding provinsi lain. Namun angka ini menutupi kesenjangan desa–kota yang masih lebar. Mall, dengan harga barang dan layanan premium, pada dasarnya hanya ramah bagi kalangan menengah ke atas.

Sosiolog Sharon Zukin menyebut fenomena ini sebagai privatisasi kehidupan publik: aktivitas sosial yang dulunya berlangsung di bale banjar, lapangan, atau pasar kini bergeser ke ruang dengan logika komersial. Artinya, interaksi warga makin bergantung pada daya beli. Henri Lefebvre bahkan pernah mengingatkan soal hak atas kota dimana ruang kota seharusnya dapat diakses semua orang tanpa syarat konsumsi.

Alih-alih memperkuat kohesi sosial, mall justru bisa memperlebar jurang keterasingan. Demokrasi ruang melemah, dan publik diperlakukan sebagai konsumen, bukan warga.

Sumber Kemacetan Baru

Mall juga memperkuat ketergantungan kita pada kendaraan pribadi. Di Denpasar, jumlah kendaraan bermotor pada 2024 telah menembus 1,7 juta unit—lebih dari dua kali lipat jumlah penduduknya. Ironisnya, panjang jalan kota hanya bertambah 0,01 km dalam dua tahun terakhir, dari 486,08 km (2021) menjadi 486,09 km (2023).

Artinya, setiap mall baru hampir pasti menciptakan titik kemacetan baru. Akses ke mall sebagian besar hanya mungkin dengan motor atau mobil. Bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan, akses menjadi sulit dan mahal.

Setiap akhir pekan, kita menyaksikan pola yang sama: macet di sekitar pusat belanja, polusi meningkat, waktu tempuh terbuang, hingga stres lalu lintas. Biaya sosial ini jarang diperhitungkan dalam analisis pembangunan, padahal sangat nyata dirasakan warga.

Model Ekonomi yang Rapuh

Pandemi COVID-19 seakan menjadi alarm dimana mall sepi, tenant bangkrut, dan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Model ekonomi berbasis konsumsi massal ternyata sangat rentan.

Pengalaman kota-kota di Amerika dan Eropa juga memperlihatkan fenomena dead mall dimana gedung besar yang kosong dan mangkrak karena kalah bersaing dengan e-commerce. Mall memang bergantung pada daya beli tinggi dan stabilitas ekonomi. Begitu salah satunya goyah, pusat belanja bisa berubah jadi white elephant yang memakan energi, lahan, dan biaya pemeliharaan.

Bali mungkin belum sampai ke titik itu, tetapi trennya global. Pertanyaannya: siapa yang menanggung beban gedung-gedung kosong itu dalam 10–15 tahun mendatang?

Krisis Identitas Kota

Selain persoalan sosial, mall juga membawa risiko homogenisasi kota. Wajahnya sama di mana-mana: merek global, restoran cepat saji, musik seragam. Perlahan, pasar tradisional, lapangan, dan bale banjar kehilangan peran.

Bayangkan jika kota-kota di Bali terasa generik, sama dengan kota manapun di dunia. Padahal, identitas lokal Bali seharusnya menjadi kekuatan, bukan justru dikorbankan demi kenyamanan instan.

Jejak Energi dan Karbon

Mall adalah mesin energi raksasa: pendingin udara, lampu, eskalator, dan lift bekerja sepanjang hari. Beban puncak listrik Bali kini mencapai 1.189 megawatt, dengan sekitar 32 persen pasokan masih dari PLTU batubara Celukan Bawang.

Setiap mall baru berarti tambahan beban listrik dan emisi karbon. Ironis, di saat Bali sedang menggaungkan pariwisata berkelanjutan dan transisi energi bersih. Tanpa perhitungan matang, kita justru mempercepat jejak karbon kota, membuatnya lebih panas dan rentan banjir.

Gaya Hidup Konsumtif

Mall juga mendorong pergeseran gaya hidup: dari belanja kebutuhan pokok menuju konsumsi gaya hidup. Nongkrong di kafe, membeli barang bermerek, hingga makanan cepat saji menjadi pola normal baru.

Namun, pola konsumsi ini melahirkan limbah baru: plastik sekali pakai, makanan terbuang, dan meningkatnya sampah kota. Pasar tradisional dan usaha kecil semakin tersisih, sementara belanja warga tersedot ke jejaring korporasi besar. Alih-alih memperkuat ekonomi komunitas, mall justru mengalirkan kapital keluar.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Saya tidak anti mall. Kehadirannya bisa memberi manfaat: lapangan kerja, pusat aktivitas, tempat berkumpul. Tetapi kita perlu mengatur agar kota tidak sepenuhnya disetir oleh logika konsumsi. Beberapa langkah strategis:

  • Revitalisasi pasar tradisional agar lebih bersih, nyaman, dan menarik bagi generasi muda.
  • Membangun taman kota dan jalur pejalan kaki yang aman dan gratis, sehingga warga bisa bersosialisasi tanpa syarat konsumsi.
  • Integrasi transportasi publik agar akses kota tidak hanya bergantung pada kendaraan pribadi.
  • Standar pembangunan hijau: sertifikasi green building, penggunaan energi terbarukan, dan analisis dampak sosial yang ketat sebelum mall dibangun.

Kota untuk Semua

Mall memang membawa manfaat, tapi juga ongkos sosial dan ekologis yang nyata. Jika tidak dikelola, Bali bisa kehilangan ruang publik, tersandera kemacetan, dan makin terjebak dalam pola konsumsi boros energi.

Tugas kita bukan menolak mall secara hitam-putih, melainkan memastikan pembangunan kota berpihak pada keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan hak warga atas ruang publik. Tanpa itu, mall hanya akan menjadi monumen konsumsi yang rapuh di atas fondasi sosial yang retak.

kampungbet
situs slot
judi bola
slot gacor
link gacor
kampungbet
kampungbet
kampungbet
toto slot
kampungbet
link slot
kampungbet
kampungbet
kampungbet
situs slot
link slot resmi
situs judi bola
slot gacor hari ini
slot gacor
toto slot
situs toto
link slot
slot gacor
situs slot gacor
toto slot

situs slot

Togel Online

cerutu4d

gimbal4d gimbal4d cerutu4d toto slot
Tags: macet balimall di baliOpini
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Putu Adi Widiantara

Putu Adi Widiantara

Warga masyarakat Bali dengan latar belakang pendidikan di bidang arsitektur yang tertarik pada isu-isu pembangunan dan perencanaan wilayah, khususnya dinamika transisi ruang antara pedesaan dan perkotaan di Bali. Sebagai bagian dari generasi muda Bali, saya percaya bahwa pembangunan harus berlangsung dengan pendekatan yang inklusif, berkelanjutan, dan tetap menghormati nilai-nilai budaya lokal.  

Related Posts

Ancaman Kesehatan Pasca Banjir di Bali

8 October 2025
World Day for Farmed Animals: Merayakan Hewan yang Diternakkan dan Ekosistem

World Day for Farmed Animals: Merayakan Hewan yang Diternakkan dan Ekosistem

7 October 2025
Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

Belajar Kepemimpinan dari Megoak-Goakan

2 October 2025
Dari Lumpur ke Layar: Bagaimana Banjir Menjadi Konflik Horizontal di Media Sosial

Dari Lumpur ke Layar: Bagaimana Banjir Menjadi Konflik Horizontal di Media Sosial

23 September 2025
Sentilan dari Gang Kecil di Kota Denpasar

Bill Kovach dan Wartawan Tenteng Nasi Bungkus

16 July 2025
Dampak Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali Baru Sejauh Ini

Pejabat Rasa Raja

15 July 2025
Next Post
Ke Mahagiri Melihat Keagungan Gunung Agung

Meluruh ulah pati dengan eksistensialisme. “Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?”

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Sanur Masih Belajar Ramah pada Kaki dan Roda 

Sanur Masih Belajar Ramah pada Kaki dan Roda 

9 October 2025

Ancaman Kesehatan Pasca Banjir di Bali

8 October 2025
Ke Mahagiri Melihat Keagungan Gunung Agung

Meluruh ulah pati dengan eksistensialisme. “Haruskah aku bunuh diri, atau minum secangkir kopi?”

7 October 2025
Mural, Suara Protes di Jalanan

Mall Sebagai Cermin Paradoks Bali Modern

7 October 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia