Teks Rika Puspa Astari
Selain bernilai estetis unik, ogoh-ogoh juga menyimpan makna mistis.
“Ogoh-ogoh”, begitu masyarakat Bali biasa menyebut boneka raksasa ini. Dia merupakan simbolis dari raksasa jahat berbadan besar dengan rupa menyeramkan. Sebenarnya, ogoh-ogoh punya satu fungsi pokok yaitu mengusir roh jahat di lingkungannya. Dengan demikian alam semesta akan terbebas dari segala mara bahaya.
Ogoh-ogoh tidak hanya disegani kawula muda. Anak kecil sampai orang dewasa pun tertarik pada ogoh-ogoh. Salah satu alasannya karena bentuknya yang estetis meskipun tampangnya menyeramkan.
Di era sekarang, ogoh-ogoh lebih dominan difungsikan untuk perlombaan karya seni. Tujuannya menggali kreativitas anak muda di Bali atau sekedar untuk arak-arakan penghibur masyarakat menjelang Nyepi.
Menurut I Komang Wijaya, anggota Sekaa Teruna Teruni (STT) Dharma Sentana, Tabanan, Nyepi tanpa ogoh-ogoh tidaklah semarak dan meriah. Di samping itu ogoh-ogoh bisa menjadi media kreativitas anak muda sehingga aspirasi seninya tersalurkan dengan positif.
Meskipun demikian, kata Komang, jika ada upacara besar Hindu sehingga ogoh-ogoh tidak boleh dibuat, maka STT-nya akan mengikuti anjuran tersebut. “Kami membuat ogoh-ogoh bukan untuk ajang urak-urakan tapi memperhatikan juga etika dan fungsi religinya,” tuturnya. Wahh anak muda yang tau etika yah..
Namun, tahukah Anda, ogoh-ogoh ternyata punya sisi mistis tersendiri? Fungsi magis ini sering kali tersingkirkan karena ogoh-ogoh telanjur dikenal untuk perayaan.
Pekak Mangku Jana yang sempat saya temui di Bakisan, Tabanan menuturkan opininya mengenai perkembangan fungsi ogoh-ogoh sekarang. Menurutnya, ogoh-ogoh semestinya dikembalikan lagi ke fungsi dasarnya. Seni dan kreativitas boleh-boleh saja dituangkan dalam ogoh-ogoh tapi tidak menghilangkan makna religinya.
“Sebenarnya sebelum ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa, seharusnya terlebih dahulu dilakukan upacara pasupati,” katanya.
Apa sih yang dimaksud pasupati itu? Pasupati itu sejenis upacara pemberkatan ogoh-ogoh yang sudah rampung dibuat. Tujuannya agar ogoh-ogoh itu memiliki kekuatan magis positif untuk mengusir roh jahat yang disebut “Bhuta Kala”. Ogoh-ogoh yang telah rampung kemudian diarak ramai-ramai diiringi sekaa truni yang membawa obor di depannya.
Hal itu semakin menorehkan kesan bahwa ogoh-ogoh adalah simbolis diaraknya atau kalahnya roh jahat bhuta kala. Usai diarak, dia kemudian dibakar di setra atau perempatan desa. Pembakaran ini mempunyai maksud dilebur dan dimusnahkannya roh bhuta kala baik di alam semesta dan yang terpenting pada diri sendiri.
Sederhananya, arakan ogoh-ogoh bermakna menangnya “Dharma” melawan “Adharma”.
Di tengah sesi pembakaran, biasanya ada saja sekaa teruna truni yang tedun (kesurupan). Hal ini lumrah terjadi. Roh bhuta kala yang kasat mata tersebut bisa saja merasuki jiwa setiap orang. Namun, hal ini segera diatasi dengan pemberian tirta oleh pemangku setempat.
Namun, akhir-akhir ini sering kali saya temui di beberapa daerah, ogoh-ogoh itu hanya di fungsikan untuk arak-arakan penglipur lara masyarakat serta ajang seru-seruan anak muda. Malah kadang dipajang di pinggir jalan sebagai pameran. Hal ini boleh-boleh saja, tapi terkesan menghilangkan kesan magis ogoh-ogoh itu sendiri.
Masyarakat hendaknya memperhatikan nilai magisnya. Ogoh-ogoh dicetuskan dengan suatu makna positif bagi alam semesta. Jadi masyarakat tak boleh salah pengertian. Karena ogoh-ogoh di samping dilihat dari nilai estetikanya juga harus diperhatika fungsi atau makna mistis yang terselip di dalamnya. [b]
Rika Puspa Astari adalah peserta Kelas Jurnalisme Warga angkatan XII di Tabanan.
tentang mengusir roh jahat/bhuta kala
menurut saya Hindu Bali kita tidak [ernaah mengenal konsep “Mengusir”,tp dr beberapa buku jg info yg pernah saya baca dan saya dengar, Konsep kita adalah “Nyomyang Butha” ,bukannya mengusir. tks