Oleh Luh De Suriyani
Kamis, 25 Oktober kemarin menjadi hari kelahiran kembali Ida Bagus Satriya Sardjana. Master bidang Ilmu agama dan Kebudayaan itu terlahir kembali menjadi Ida Pedanda Gede Putra. Istrinya, Anak Agung Rai pun di-diksa, yang kemudian bernama Ida Pedanda Agung Istri. Inilah nama baru mereka. Sekitar seribu warga dan pejabat pemerintah menyaksikan puncak perayaan lahirnya seorang pemimpin agama Hindu.
Setelah 47 tahun, akhirnya Puri Pemeregan, Pemecutan, Denpasar Barat, kembali melahirkan seorang Ida Peranda, sebutan pemimpin umat Hindu dari strata brahmana. Ditandai dengan upacara Padiksan atau Askara, yaitu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan Dwi Jati atau lahir untuk kedua kalinya.
Lahir pertama adalah dari rahim ibu, dan kedua kalinya dari Sang Guru Suci yang disebut Nabe. Ini adalah puncak kewajiban sebagai manusia, yang telah lepas dari kehidupan duniawai.
Padiksan telah dimulai dini hari. Calon Pendeta yang akan disahkan masiram, melakukan penyucian fisik yang dipimpin oleh Guru Saksi dan Nabe. Kali ini yang menjadi Nabe adalah Ida Pedanda Gede Oka Pinatih dari Karangasem. Kedua calon Pedanda ini kemudian dihias seperti Wiku atau pemimpin suci. Rambutnya digelung ke atas dan menggunakan pakaian serba putih sebatas dada.
Di depan Padmasana, tempat bersembahyang, mereka melakukan sembahyang 12 kali. Selanjutnya, proses Ngaskara yang dipimpin Nabe sebagai simbol Dewa Siwa, sang pelebur dosa. Dalam tahapan yang penuh keheningan ini, Nabe membacakan doa agar nnatinya mantra yang diucapkan calon Pedanda ini mempunyai kekuatan magis.
Selanjutnya, Nabe juga memberikan petuah terakhir untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan kewajiban sebagai pemimpin agama. Diakhiri dengan pemberian nama baru bagi kedua Pedanda ini.
Masyarakat umum biasanya mengundang Pedanda untuk memimpin upacara agama seperti Manusa Yadnya dan Dewa Yadnya. Namun kini, sejumlah Pedanda juga aktif dalam gerakan sosial dan kemanusiaan seperti Ida Pedanda Gede Made Gunung dan Ida Pedanda Ketut Sebali Tianyar Arimbawa.
Umat Hindu mengenal empat tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Pertama, brahmacari atau masa menuntut ilmu, lalu Grahasata masa hidup berumah tangga, kemudian Wanaprasta, masa mempelajari ajaran agama secara intensif. Terakhir dari babak tingkatan hidup adalah Bhisuka Asrama, masa melepaskan hidup dari duniawi.
Pada tahapan ini, kewajibannya adalah melayani kepentingan umat secara ritual maupun moral. Menciptakan ketentraman batin untuk menuju kedamaian.
Ida Pedanda Gede Putra, 51 tahun, tergolong cukup muda untuk memasuki Bhisuka Asrama ini. Oleh keluarganya, ia didukung penuh menjadi generasi pendeta berikutnya karena kegemaran pribadinya pada ilmu agama dan kebudayaan.
“Saudara-saudara kami yang lain lebih menyukai sebagai pegawai atau pengusaha. Saya sendiri hampir 32 tahun bekerja di Jakarta,” kata Ida Bagus Djayapati, kakak Ida Pedanda Gede Putra. Untung saja keresahan keluarga besar wangsa Brahmana ini terobati karena Sardjana dengan ikhlas meretas jalan menuju seorang Pedanda. Djayapati mengatakan keluarganya sangat bahagia setelah 47 tahun, generasi baru Pedanda telah lahir. “Padahal kami, Brahmana, kan dilahirkan menjadi Pendeta,” ujarnya.
Suka cita keluarga besar Puri Pemeregan ini juga menjalar ke sejumlah warga sekitar tempat tinggal mereka, di Banjar Pemeregan, sekitar Jl. Gunung Raung, Denpasar Barat. Selama dua minggu ratusan warga bergantian membantu menyiapkan prosesi Padiksan yang berlangsung sembilan hari.
Sebagian warga menghaturkan berbagai kebutuhan pokok seperti beras, kopi, dan gula. Bayangkan berapa banyak beras, kopi, dan bahan pangan lainnya dibutuhkan untuk melaksanakan ritual dan persiapannya yang memakan waktu hampir sebulan.
“Kami senang ada Ida Peranda di lingkungan ini. Kan jadi mudah minta bantuan untuk memimpin upacara adat,” ujar Kadek Suantini, 30 tahun, pedagang yang hampir dua minggu ikut membantu acara ini.
Menurutnya seorang pedanda adalah pemimpin agama yang paling dihormati karena telah mengalami proses sebagai orang suci. Pedanda juga diyakini mampu meneruskan permohonan keselamatan warga melalui doa-doa yang dipanjatkannya.
Padiksan memang hanya salah satu prosesi dari rangkaian upacara pengangkatan seorang Pedanda. Diawali dengan acara Matur Piuning atau mohon ijin pada Nabe untuk dijadikan murid. Setelah dinilai cukup mendapat pendidikan, Nabe menyatakan upacara Padiksan dapat dilakukan pada hari baik yang ditentukan.
Pada 11 Oktober, persiapan fisik telah dilakukan di tempat upacara yang ditandai dengan memancang atap dari daun kelapa (nanceb tetaring). Selanjutnya dilakukan upacara Memeras dan Negteg Pulu. Memeras adalah prosesi pengangkatan anak dengan banten. Anak angkatnya adalah keponakannya sendiri, anak Djayapati. Dilengkapi dengan upacara simbol ketentraman, Negteg Pulu.
Prosesi yang lebih rileks adalah Diksa Pariksa atau proses testing calon Pedanda oleh Parisadha Hindhu Darma Indonesia (PHDI), lembaga agama Hindu. Seperti halnya calon pegawai, dilakukan proses tanya jawab seputar kesediannya menjadi pendeta. “Saya masih punya hutang kasmaran,” canda Sardjana, yang membuat petugas wawancara tersenyum.
Setelah dinyatakan layak, Sardjana dan istrinya melakukan sembah pamitan pada keluarga yang lebih tua. Sembah pada keluarga ini adalah sembah terakhir kepada orang lain. Selain itu, calon pendeta juga menghaturkan sesajen (Mejauman) ke tempat suci Nabe yang akan memberikan bimbingan.
Sehari sebelum Padiksa, calon pedanda melakukan upacara Nyekes, dengan puasa dan berdiam diri di rumah sehari penuh sebelumnya. Diharapkan mereka melakukan kontemplasi terakhir sebelum menapaki jalan kerohanian menjadi Diksa.
Ketika matahari tepat di atas kepala, dua manusia yang dilahirkan kembali itu Megayot atau ditandu oleh sejumlah pria di sekitar lingkungan Puri Pemeregan. Ratusan warga berbaris di sisi kna kiri jalan yang dilaluinya. Mereka mengatupkan tangannya di dada, tanda hormat pada pemimpin umat baru. Kedua diksa itu pun membalas dengan sikap tangan Amukti Angranasika, tanda awal mulainya perjalanan hidup baru. Meninggalkan kefanaan dunia. [b]