Sejumlah perempuan tua menyambut turis di depan pos masuk.
Mereka menjajakan souvenir seperti kain dan gelang. Pengunjung akan mendapat kain dan gelang itu setelah masuk gerbang dan harus mengenakannya.
Ketika masuk, akan terlihat Bale Kambang atau Taman Gili di depan mata. Sebuah bale semi terbuka yang dikelilingi kolam ikan dan lotus. Bale ini menjadi tempat upacara Yadnya oleh keluarga Kerajaan Klungkung.
Area Puri Semarapura yang bermakna cinta dan keindahan ini mempoluerkan Kerta Gosa. Sebuah area berisi bale yang dijadikan tempat mengadili atau mencari keadilan (kerta), berada di salah satu sudut komplek.
Penandanya adalah ada seperangkat kursi dan meja yang konon menajdi tempat para pengadil rapat.
Pemkab Klungkung mencatat bale ini difungsikan sebagai balai sidang pengadilan adat yaitu selama berlangsungnya birokrasi kolonial Belanda di Klungkung (1908-1942) dan periode pendudukan Jepang (1043-1945). Kursi dan meja kayu ini berukir dan berwarna keemasan dicat prade khas Klungkung.
Sayangnya tidak ada informasi tertulis di area ini untuk menambah pengetahuan pelancong.
Hal yang terlihat menjadi ikon adalah lukisan-lukisan khas Wayang Kamasan menutupi seluruh plafon bale Kambang dan bale Kerta Gosa. Pelancong tak bisa memahami secara langsung kisah dan makna lukisan ini. Banyak yang penasaran karena lukisannya menarasikan kisah-kisah.
Apalagi secara visual gambarnya indah sekaligus menarik rasa penasaran. Misalnya ada gambar-gambar raksasa (gigi bertaring, wajah menyeramkan) yang menyiksa warga. Ada yang digiring ke dalam panci panas, ditusuk, dan lainnya. Pada langit-langit bangunan Kertagosa lukisannya mengambil cerita Ni Dyah Tantri, Bima Swarga, Adi Parwa dan lainnya.
Tema pokok dari cerita-cerita itu adalah parwa, Swaragaronkanaparwa yang memberi petunjuk hukum Karmapala (akibat dari baik-buruknya perbuatan yang dilakukan manusia selama hidupnya) serta Reinkarnasi, penitisan kembali ke dunia karena perbuatan dan dosa-dosanya.
Sejumlah tour guide yang menjelaskan pada turis mengenai ini. Banyak yang terlihat berlama-lama mengamati lukisan dibanding jalan-jalan di dalam kompleks yang teduh dan menghijau ini.
Lukisan di langit-langit bangunan Taman Gili berisi tentang cerita Sutasoma, Pan Brayut dan Palalintangan. Pemkab Klungkung menyebutkan lukisan di langit-langit Kerta Gosa dibuat pada kain. Namun pada 1930 dipugar dan dicat pada eternit. Restorasi juga dilakukan pada 1960.
Pada masa pemerintahan Raja Dewa Agung Putra Djambe, Belanda melakukan penyerangan secara besar-besaran. Penyerangan itu disebut mengakibatkan Puri Semara Pura hancur. Hanya ada beberapa bangunan yang tersisa antara lain bangunan Kerta Gosa, Taman Gili dan Pemedal Agung (pintu gerbang Puri).
Penyerangan ini dikenal sebagai “Peristiwa Puputan Klungkung 28 April 1908 di mana Dewa Agung Putra Djambe dan para pengikutnya gugur.
Usai dari Kerta Gosa, turis bisa mengunjungi pusat seniman wayang ini di Desa Kamasan, sekitar 10 menit dari komplek kerajaan ini. Lukisan Kamasan biasanya mengambil epik seperti Ramayana atau Mahabharata sebagai tema lukisan. Di desa ini masih banyak pelukis Kamasan yang bisa dikunjungi di rumahnya masing-masing.
Selain lukisan, juga diaplikasikan untuk produk lain seperti tas dan cangkang telur. [b]