Oleh I Nyoman Winata
Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan seorang budayawan Jawa yang paham dengan Pawukon. Sistem kalender pawukon juga di kenal di Bali yakni wuku mulai dari perhitungan Sinta, landep, ukir, dst. Namun inti diskusi saya bukan masalah pawukon melainkan bagaimana kita bisa melestarikan hasil pemikiran dan ilmu-ilmu milik para pendahulu kita di masa lampau. Saya kemudian teringat pada ilmu “pengleakan” di Bali yang selama ini dikenal sebagai Black Magic.
Menurut saya ilmu ini sepertinya sangat pantas untuk dilestarikan karena semuanya merupakan hasil olah pikiran dan laku para leluhur di masa lalu yang sangat luar biasa. Saya yakin tidaklah mudah menciptakan ilmu pengleakan dan di dalamnya juga bisa jadi telah memiliki struktur pengajaran yang bisa diturunkan kepada siapa saja.
Berbagai rapal mantra, ritual dan rerajahan tentu saja tidak mungkin muncul begitu saja. Ada perjalanan panjang dari para penciptanya sehingga ia mewujud dalam bentuk lontar-lontar atau bentuk-bentuk tradisi lisan yang membuatnya bisa dilihat atau dipelajari. Akan sangat sayang jika semuanya itu suatu saat musnah begitu saja.
Dulu saya punya pemikiran, kenapa tidak ada pihak di Bali yang mencoba untuk melestarikannya dengan membuka perguruan ilmu pengleakan. Namun di sini konteksnya bukanlah mempelajarinya untuk kepentingan pribadi atau kelompok untuk menyakiti atau mengguna-gunai orang lain, melainkan bagaimana ilmu ini bisa tetap lestari dan tidak musnah. Mungkin masalah utamanya adalah pada stigma yang selama ini dilekatkan pada ilmu pengleakan.
Sebagai bentuk ilmu yang diposisikan pada Black Magic, tidak banyak yang berani men”declare” diri menguasai ilmu ini. Apalagi berani membuka perguruan atau kursus yang mengajarkan ilmu pengleakan. Ada beberapa tokoh yang sudah muncul di media sebaga tokoh pengleakan. Tetapi tidak begitu berkembang dan cenderung eksklusif.
Lalu, mungkin akan ada yang bertanya “manfaatnya apa?”. Yang paling panting adalah mempertahankan pengleakan sebagai sebuah ilmu agar tetap hidup dan lestari. Kemudian bisa saja pengleakan dikembangkan menjadi sesuatu yang bisa membantu masyarakat misalnya dalam upaya penyembuhan atau perlindungan. Sepertinya pasti ada hal-hal hebat dari pengleakan yang bisa dikaji secara ilmiah dan akan memberi manfaat positif bagi manusia.
Kalau ide pendirian perguruan pengleakan terlalu ekstrim, mungkin membangun sebuah museum pengleakan bisa ditempuh. Mudah-mudahan ada seseorang atau bisa saja sebuah LSM yang mau mengumpulkan khasanah-khasanah ilmu pengleakan yang ada di seantero tanah Bali. Semuanya didokumentasikan mulai dari lontar-lontar, rerajahan, urutan-urutan ritual sampai dengan mantra-mantranya. Termasuk juga “pekakas” dalam dunia pengleakan Bali.
Meski sering mendengar dari cerita-cerita, orang Bali mungkin tidak pernah melihat langsung yang namanya “sabuk pengleakan” misalnya. Atau bagaimana sebenarnya wujud “lengis colek jaran guyang”? . Selama ini mungkin sudah ada yang memamerkannya, tetapi kepentingannya adalah bisnis sehingga menyebabkan pemilik stand pameran tidak obyektif. Pengunjung pun mungkin saja diberi infomasi yang kurang baik karena keinginannya adalah agar barangnya laku.
Terlepas dari stigma pengleakan sebagai black magic (ilmu hitam) yang dimasyarakat berarti juga sesuatu yang harus dijauhi, hasil olah pikiran dan laku para leluhur orang Bali ini mesti dilestarikan. Syukur-syukur bisa berkembang dan melahirkan jenis-jenis pengleakan yang lebih canggih. [b]