Teks dan Foto Anton Muhajir
Lembaga adat di Bali berperan penting dalam mendukung penerapan pertanian organik.
Demikian salah satu pelajaran dari kunjungan lapangan petani ke Subak Abian Pule Sari, Banjar Muntig, Desa Tulamben, Karangasem, Bali Kamis pekan lalu. Kunjungan diikuti sekitar 60 petani dari 11 organisasi petani dari Flores, Timor, Boyolali, Tana Toraja, Polewali Mandar, dan Kalimantan.
Selama satu hari, petani belajar tentang peran organisasi petani termasuk sistem kontrol internal (internal control system), pengolahan mete organik, pembuatan arak berbahan mete, sampai pemanfaataan limbah mete organik menjadi pakan ternak.
Selain berdiskusi di kantor koperasi, petani peserta kunjungan lapangan juga melihat langsung pembuatan bioethanol dari biji mete organik serta pengupasan kulit kacang mete dari bijinya. “Kami salut dengan peran lembaga adat dalam organisasi petani di sini,” kata Baselius Kolo, petani dari Bituna, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Subak Abian Pule Sari merupakan organisasi petani di perkebunan kering (abian) di daerah timur Bali. Petani setempat membudidayakan mete organik sejak sekitar tahun 1976.
Menurut I Nengah Sudarma, Ketua Subak Abian Pule Sari, petani di dusun Muntig mengunakan aturan adat (awig-awig) untuk menerapkan pertanian organik. Misalnya, petani tak boleh menggunakan pupuk kimia untuk menyuburkan pohon mete di kebun mereka. “Kami menggunakan pupuk dari kotoran sapi,” kata Sudarma.
Saat ini ada 62 anggota subak abian yang menerapkan pertanian organik. Mereka menerapkan ICS, di mana pengawasan praktik pertanian organik, dilakukan sendiri oleh sesama anggota. Seluruh anggota subak, kata Sudarma, sudah mendapatkan sertifikasi organik dari Institute of Marketology (IMO) Swiss sejak tahun 2008.
Dengan sertifikasi ini, mete produksi petani subak abian Pule Sari bisa mendapat kepercayan dari pembeli bahwa produk mereka memang organik. “Sertifikasi juga membuat harga produk kami meningkat,” kata I Kadek Suparta, Ketua ICS.
Mete merupakan produk utama petani setempat. Dengan lahan luas sekitar 97,5 hektar, mereka memproduksi 50 ton mete organik per tahun. Mete organik itu dijual dengan harga antara Rp 70.000 hingga Rp 75.000 per kilogram biji kering yang sudah dikupas kulitnya. Pemasarannya, antara lain, ke Jerman.
Praktik pertanian organik oleh petani ini didukung pula oleh sistem adat di Bali di mana setiap warga ikut desa adat. Menurut Suparta, sistem banjar memudahkan petani untuk saling mengawasi sesama anggota. Apalagi aturan itu sudah dibuat dalam bentuk awig-awig.
Salah satu mekanisme yang digunakan adalah adanya denda bagi warga adat yang melanggar awig-awig. “Kalau ada yang melanggar, dia akan didenda secara adat dengan membayar beras pada banjar,” kata Suparta.
Efektifnya aturan adat ini yang menarik bagi petani peserta kunjungan lapangan. “Kalau kami bisa menerapkannya di tempat kami, saya yakin kami akan bisa seperti mereka,” kata Baselius Kolo. [b]